.:. Kata-Kata Mutiara Hari Ini: "Pergilah keluh, ku tak mau berteman dengamu... Silahkan kesah, kau bukan takdirku... Mujahadah adalah temanku, dakwah adalah nafasku dan Allah adalah kasihku... Maafkan segala kesalahan...Bila Allah mengampuni dosa-dosamu, kamu pasti bertobat...Bila Allah menerimamu, kamu pasti bertaqarrub dengan ikhlas kepada-Nya...Bila Allah mengingatmu, kamu pasti berdzikir kepada-Nya...Bila Allah menunjukkan kemuliaan-Nya padamu, kamu pasti merasa hina-dina dihadapan-Nya...Bila Allah hendak mencukupimu, pasti kamu merasa faqir kepada-Nya...Bila Allah menunjukkan kekuatan-Nya padamu, pasti engkau lemah tidak berdaya...Bila Allah menunjukkan kekuasaan-Nya, pasti engkau tak memiliki kemampuan apa-apa...Bila Allah mencintaimu, kamu pasti mencintai-Nya...Bila Allah meridhoimu, engkau pasti ridho terhadap apapun ketentuan-Nya...Bila Allah mengangkat derajatmu, engkau selalu memasuki pintu-pintu taatmu...Bila Allah menghinamu, kamu pasti bermaksiat dan menuruti hawa nafsumu...Taat itu lebih utama dibanding pahalanya...Doa itu lebih utama dibanding ijabahnya...Istiqomah itu lebih utama dibanding karomahnya...Berjuang itu lebih utama dibanding suksesnya...Sholat dua rekaat itu lebih utama ketimbang syurga seisinya...Bertobat itu lebih utama ketimbang ampunan...Berikhtiar itu lebih utama ketimbang hasilnya...Bersabar itu lebih utama ketimbang hilangnya cobaan...Dzikrullah itu lebih utama dibanding ketentraman hati...Wirid itu lebih utama ketimbang waridnya...Jangan menunggu bahagia baru tersenyum, tapi tersenyumlah, maka kamu kian bahagia " .:. ~~

Get Updates Via Email

Dapatkan update terbaru

dari Blog SufiUnderground langsung ke
Email anda!

0 Spiritualitas Perkotaan

Oleh: Anto Dwiastoro
(Alumnus Jurusan Sejarah FSUI, Aktivis Sebuah Jalan Spiritual, Tinggal di Surabaya)

ABAD ke-21 menandai fenomena menarik dalam kehidupan masyarakat kota di Indonesia, yaitu munculnya minat lebih tinggi dari biasanya terhadap jalan spiritual (the spiritual path). Sampai dikatakan, abad ini merupakan abad spiritual. Tampaknya jalan spiritual telah menjadi pilihan ketika manusia modern membutuhkan jawaban-jawaban esensial atas eksistensi dirinya dalam hidup di tengah dinamika perkotaan.

MENGAPA kecenderungan ini terjadi bisa ditelusuri secara historis dan psikologis pada budaya Indonesia secara umum. Namun, pada dasarnya, fenomena yang belakangan ini marak berakar pada gejolak masyarakat perkotaan di Indonesia sebagai akibat krisis berkepanjangan yang menimpa negeri ini. Juga dekadensi moralitas yang memengaruhi gaya hidup orang kota.

SPIRITUALITAS adalah bidang penghayatan batiniah kepada Tuhan melalui laku-laku tertentu yang sebenarnya terdapat pada setiap agama. Namun, tidak semua penganut agama menekuninya. Bahkan beberapa agama memperlakukan aktivitas pemberdayaan spiritual sebagai praktik yang tertutup, khawatir dicap "klenik".

Lokus spiritualitas adalah diri manusia. Bila wilayah psikologi mengkaji jiwa sebagai psyche (dalam terminologi spiritual lebih dikenal sebagai ego), spiritualitas menyentuh jiwa sebagai spirit. Budaya Barat menyebutnya inner self (diri pribadi), sesuatu yang "diisikan" Tuhan pada saat manusia diciptakan. Meski diyakini bahwa agama berasal dari Tuhan, namun spiritualitas adalah area manusia. Spiritualitas adalah sikap yang meyakini adanya kehadiran dan campur tangan Tuhan dalam dirimanusia, meski tidak mesti demikian.


Sering menjadi pertanyaan, mengapa pemberdayaan spiritualitas yang sering dicap klenik dapat mudah dilakukan pada masa perkembangan Islam di Indonesia.

Simuh dalam Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (2002), menjelaskan bahwa kemungkinan itu dapat terjadi karena Islam yang masuk ke Indonesia bukanlah Islam azali, yang berasal langsung dari jazirah Arab, melainkan dibawa oleh pedagang Persia dan Gujarat. Dan Persia, khususnya, adalah sentraperkembangan tradisi tasawuf.

Tasawuf sendiri terbagi menjadi dua: Tasawuf Islam yang mementingkan sikap hidup yang tekun beribadah serta mengacu kepada Al Quran dan Hadis dan Tasawuf Murni atau Mistikisme yang menekankan pada pengetahuan hakikat Tuhan.

Berakhirnya era tasawuf Islam pada tahun 728 M memperkuat dugaan bahwa aliran tasawuf yang masuk pada awal perkembangan Islam di Indonesia bersifat mistikisme. Mengacu pada pengertian "miskisme" sebagai suatu ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan akan hakikat dan tentang Tuhan dapat diperoleh melaluimeditasi atau penyadaran spiritual tanpa melibatkan panca indera dan akal pikir, dapat dimengerti mengapa Islam di Indonesia mampu berkompromi dengan budaya Hindu-Buddha, dan segera berkonsekuensi pada pergerakan mistikisme Jawa atau Kejawen.

Mistikisme subur di masyarakat pedesaan karena pada masa kolonial Hindia Belanda aliran-aliran ini menampilkan figur simbolis Imam Mahdi yang berhasil menyokong semangat rakyat menentang penjajahan. Karena itu, mistikisme lantasdianggap aliran kepercayaan marginal, yang tidak mampu menyokong aspirasi masyarakat perkotaan yang umumnya terpelajar serta lebih rasional.

Baru pada tahun 1920-an hingga 1930-an aliran mistikisme mendapat tempat di hati masyarakat pribumi yang tertekan sebagai akibat depresi besar yang tengah melanda dunia pada saat itu. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari suatu masyarakat yang mengalami gangguan kejiwaan akibat krisis ekonomi. Sementara itu, agama dirasakan tidak mampu membangkitkan kesadaran spiritual masyarakat, yang terutama disebabkan oleh penentangan kaum Muslim azali yang mengedepankan ketaatan lahiriah dan rasional dengan nilai-nilai "pahala-dosa" dan "surga-neraka". Bersamaan dengan itu, bermunculan figur-figur yang mengaku mendapat wahyu dari Tuhan untuk membersihkan dosa-dosa umat menghadapi kiamat-isu yang meluas menyusul kondisi dunia yang kacau-balau diterpa depresi besar.

TERDAPAT dua landasan analisis di balik munculnya tren spiritualitas perkotaan belakangan ini. Pertama, dari sudut pandang psikologi sosial, kebutuhan akan jalan spiritual merupakan konsekuensi penderitaan psikis masyarakat yang tertekan oleh krisis ekonomi. Kedua, dari sudut pandang anti-religious intellectualism yang menganggap tren belakangan ini sebagai upaya popularisasi aliran mistikisme yang esoterik.

Landasan kedua kurang dapat diterima mengingat sejumlah jalan spiritual yang dimasuki masyarakat kota dewasa ini telah eksis di Indonesia sejak lama, meski masih bersifat marginal. "Popularisasi" rasanya kurang tepat, melainkan lebih merupakan "pengadopsian" dampak positif amalan sejumlah konsepsi spiritualitas yang diterima sebagai solusi bagi derita psikis masyarakat kota.

Dalam kaitan kondisi psikologis akibat krisis berkepanjangan, landasan pertama dapat diterima sebagai latar belakang maraknya tren kebutuhan akan Jalan Spiritual di tengah dinamika perkotaan. Di samping itu, juga kemerosotan nilai-nilai moral yang demikian mudah
merembes ke gaya hidup masyarakat kota.

Spiritualitas selama ini termarginalisasi. Dan memang konsepsi penghayatan kepada kekuasaan Tuhan dapat diterima dengan mudah oleh alam bawah sadar masyarakat pedesaan karena hidup mereka yang "apa adanya". Mereka bekerja untuk memenuhi keperluan hidup. Berbeda dengan kecenderungan masyarakat perkotaan yang menjadikan agama sekadar kewajiban, bagi masyarakat desa agama adalah kebutuhan, yang secara praktis (setelah melalui proses pemberdayaan sisi spiritualitasnya) dapat memberi mereka jawaban-jawaban esensial untuk melakoni hidup.

Bagi masyarakat kota, situasi kehidupan materialisme membuat materi menjadi solusi kebahagiaan sehingga penghayatan agama terkesampingkan. Ketika intelektualisme dan materialisme kian mengakar dalam segala segi kehidupan kota, masyarakat mulai gamang, terutama sejak pukulan krisis ekonomi berdampak pada merosotnya nilai materi sebagai solusi kebahagiaan. Intelektualisme pun, pada tingkat tertentu, berbenturan dengan dinding kokoh yang menghalangi jalan manusia menuju Tuhan. Hakikatnya, manusia adalah makhluk spiritual yang hidup di alam materi. Bukan sebaliknya!

Mengapa pemberdayaan spiritualitas dapat dengan mudah dicerap masyarakat kota yang gamang? Sejauh yang dapat diketahui, jalan spiritual jarang menerapkan ketaatan yang dipaksakan atau doktrin dogmatis. Sifat esoterisme jalan spiritual juga mempunyai peran penting dalam memudahkan orang menerima amalan-amalannya. Dalam hal ini, hubungan dengan Tuhan bersifat pribadi, yang menyebabkan proses penyembuhan kejiwaan si pelaku berlangsung relatif mudah karena ia cenderung mematuhi tuntunan diri pribadinya. Sebagai contoh praktis, simak pendekatan-pendekatan yang diterapkan beberapa Jalan Spiritual di bawah ini (yang dipilih karena pengaruhnya yang mendunia).

Tasawuf, merupakan interpretasi transformatif dari Islam. Bagaimanapun, banyak dari para eksponennya menyokong doktrin-doktrin yang dapat dipandang kaum Muslimin sebagai sesuatu yang asing bagi agama mereka. Kawasan perkembangannya terpusat di Timur Tengah dan Asia. Terdapat ribuan tarekat Sufi di seluruh dunia, baik yang eksklusif Islam maupun lintas agama. Aspek-aspek tertentu dari tasawuf belakangan ini mulai merebut perhatian dan popularitas di antara para pencari spiritual, terutama karena upaya-upaya yang dilakukan eksponen terkemukanya di zaman modern ini, yaitu Idries Shah (meninggal tahun 1996).

Penyerahan diri secara langsung kepada Tuhan merupakan tema sentral amalan batiniahnya. Apa yang disinggung oleh para penulis Sufi adalah suatu keadaan yang direpresentasi oleh "kemabukan", "pembebasan", "penyerapan diri ke dalam Sang Kuasa" (imanensi) dan sebagainya, yang timbul sebagai hasil dari kepasrahan sepenuhnya, dan tidak didukung oleh upaya yang bersangkutan. Gagasannya adalah bila kita menyerahkan semua hasrat, harapan, ketakutan dan angan- angan tanpa terkecuali, maka yang tersisa adalah rasa diri yang hakiki.

Pengkajian tasawuf kini banyak dilakukan di dalam pengajian-pengajian eksklusif pengusaha dan selebriti di kota-kota besar. Belakangan malah mewabah diskusi-diskusi wacana "tasawuf modern" atau "tasawuf saintifik" di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Susila Budhi Dharma (Subud), merupakan suatu perkumpulan spiritual yang didirikan oleh Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo.

Yang mengagumkan dari sebuah aliran yang berasal dari Indonesia, yang tidak punya reputasi internasional di bidang spiritualitas, pada tahun 1957 Subud menarik perhatian dan menyebar ke seluruh dunia, dan menarik minat para pengikut spiritual lainnya,t ermasuk para penganut dari semua agama utama. Hingga kini, organisasi internasionalnya beranggotakan hampir tujuh puluh negara.

Di Indonesia sendiri Subud berkembang baik di perkotaan maupun pedesaan dan anggotanya mencakup kalangan intelektual, birokrat, dan pebisnis. Subud mewakili suatu paradigma baru di mana kekuasaan di balik kehidupan manusia dapat diakses langsung oleh semua orang tanpa syarat amalan khusus serta meniadakan ketergantungan murid kepada guru. Meski berasal dari suatu pengalaman spiritual, Subud bukan agama ataupun aliran kepercayaan, sehingga keanggotaannya terbuka bagi semua pemeluk agama, bangsa maupun budaya. Tidak ada teori, ajaran atau pelajaran, maupun tata cara ritual penyembahan.

Di Subud unsur yang konstan dan aktif adalah latihan berserah dirinya yang dikenal sebagai latihan kejiwaan, suatu bentuk pelatihan pada isi dari diri. Latihan kejiwaan merupakan suatu keadaan penyerahan diri secara ikhlas di mana di dalamnya akan terasa suatu energi. Energi ini memotivasi seorang peserta sesuai dengan kondisinya pada waktu itu. Penyerahan diri di Subud dilakukan langsung kepada kekuasaan Tuhan tanpa upaya atau perantaraan apa pun. Mengadakan upaya atau perantaraan justru bertentangan dalam konteks ini.

Aliran eklektis (electic movements)-disebut demikian karena aliran-aliran esoteris tersebut menyempal dari tradisi keagamaan yang sudah mapan dan mencampuradukkan gagasan-gagasan dari agama atau kepercayaan yang lain. Pergerakan biasanya dipelopori pendeta, imam atau pemimpin pada institusi keagamaan yang disempalinya. Faktor penyebabnya, pada umumnya adalah terabaikannya pemberdayaan spiritualitas dalam praktik-praktik ibadahnya serta ketidakpuasan terhadap doktrin-doktrin dogmatis yang menjunjung rasionalisme. Zen dan Scientology adalah contoh dari pergerakan ini.

Beberapa ashram Yoga juga berimplementasi menjadi aliran pemberdayaan spiritualitas dengan mengadaptasi filsafat etika Hindu. Kebanyakan aliran eklektis memakai pendekatan teosofi (paduan teologi dan filsafat) serta meditasi transendental dalam membawa pengikutnya ke jalan spiritual. Di Amerika Serikat dan Eropa banyak pengikut aliran eklektis berasal dari kalangan selebriti, intelektual, dan pejabat pemerintahan.

MASA depan keberlangsungan spiritualitas perkotaan susah ditebak. Semuanya tergantung pada kondisi mental spiritual masyarakat dan perkembangan sosial, ekonomi, dan politik. Sampai beberapa waktu lalu, pendidikan agama lebih ditekankan pada pengembangan nalar sehingga manusia sibuk berintelektualisasi dan berasionalisasi, tapi kurang mengembangkan spiritualitas. Padahal dalam diri manusia terdapat potensi dan kecenderungan yang berorientasi pada obyek pemikirandan kontemplasi pada realitas di luar wilayah materi, yang biasa disebut realitas spiritual.

Dalam otak manusia terdapat apa yang disebut Danah Zohar (Spiritual Intelligence: The Ultimate Intelligence, 2000) sebagai God spot. Seiring kenyataan ini, bisa dikatakan bahwa kebutuhan akan spiritualitas bagi masyarakat perkotaan akan semakin signifikan. Spiritualitas masyarakat kota dewasa ini di mana nilai-nilai, tujuan hidup, dan kesadaran bahwa diri mereka adalah bagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar sebagai ciptaan Tuhan, telah menjadi dasar dari pengembangan kepribadian yang sangat menentukan kebahagiaan hidup lahir dan batin mereka di tengah dinamika perkotaan.


2 Bir Hitam Bukan Gedebog




By: Yahya Cholil Staquf

Arus utama fiqih menyatakan bahwa bir itu haram. Dalam bahasa kitab kuning, pendapat ini punya derajat al adhhar atau al ashahh. Kalau ada yang adhhar (lebih jelas; red) berarti ada yang dhahir (jelas;red); kalau ada yang ashahh (lebih valid) berarti ada yang shahih (valid). Namun, demi ketakwaan harus saya sampaikan peringatan ini: janganlah engkau mengikuti pendapat fiqih yang tidak populer kecuali engkau memahami benar seluk-beluk istinbat (kesimpulan;red) nya.

Banyak orang berhusnudh dhonn (bersangka baik;red) bahwa Kiyai Hamim Jazuli almarhum (Gus Mik) adalah waliyyullah, sementara beliau konon penggemar bir hitam. Hal ini sedikit banyak menimbulkan kontroversi: bagaimana mungkin seorang wali menggemari minuman haram? Saya sendiri beranggapan bahwa Gus Mik, bahkan dalam kegemarannya minum bir hitam, tetap setia kepada syari’at. Hanya saja, beliau mungkin mengambil pendapat fiqih yang tidak populer. Saya percaya bahwa Gus Mik itu orang ‘alim yang sudah memahami segala aqwaal ulama.

* * * * *

Seorang seniman besar yang banyak menampilkan tanda-tanda kecenderungan sufi kebetulan bersahabat dengan Gus Mik. Sebagaimana halnya banyak orang lain, seniman kita ini juga mengalami kebingungan dalam menyikapi kegemaran Gus Mik akan bir hitam. Demi membela Gus Mik dari celaan mereka yang tidak menyukainya dan terutama untuk menenteramkan kebingungannya sendiri, seniman kita ini lantas secara asal-asalan –dan keliru—memasukkan fenomena bir-hitam- Gus-Mik itu kedalam kategori khorqul ‘aadah (penyimpangan dari kalaziman) yang sering ditemui pada para wali.

Dalam satu kesempatan ngobrol bersama seniman-seniman lain – diantara mereka ada Gus Mus, Sutardji Calzoum Bachri, dan lain- lain—seniman kita pun menggeber apologinya. “Gus Mik itu wali”, katanya lantang, “kalaupun beliau minum bir hitam, bir itu langsung berubah jadi air begitu menyentuh lidahnya!” Sutardji, Sang Presiden, melirik dengan penuh wibawa. “Kalau gitu sama dong ame lo!” sergahnya. “Sama gimana?” “Cewek lo timpe jadi gedebog pisang!”

0 Ini Budi



Ini bapak budi
Ini ibu budi
Adik budi namanya ani
Bapak budi menyapa ibu budi
Jadilah budi Pekerti


Ibu budi menyapa bapak budi
Jadilah Nurani
Budi Pekerti dan Nurani gotong royong di kota
Membangun bangsa memangsa ilmu
Menuju abadi di Hakekat diri


Ini budi
Ini ani
Ini budi pekerti
Ini Nurani
Budi Pekerti dan Nurani
Berbakti pada keluarga, agama dan Negri

0 MENGENAL PANJALU (2): Bangunan Dan Prasasti Wangsit Panjalu Di Nusa Gede


Dalam upaya melindungi warga dan keutuhan Negara dibangun system keamanan yang menyatu untuk menghadapi musuh dari luar maupun dari dalam, baik itu musuh yang sifatnya nyata maupun musuh yang bersifat halus. Dalam kaitannya dengan musuh yang halus dikenal peranapa yang disebut Warga Panjalu sebagai Batara

Salapan (9 Batara) nama dan tempat kedudukannya adalah sebagai berikut:
1. Sri Manggelong, di Kubangan, Rinduwangi
2. Sri Manggulang, di Cipalika Bahara
3. Kebo Pepengel, di Muara Cilutung, Hujung Tiwu
4. Sikeukeuh Sacuker Weuluh, di Ranca Gaul Tengger
5. Lembu Dulur, di Giut Tenjo Laya
6. Sangbukas Tangan, di Citaman Citatah Sangtaman
7. Batara Terus Patala, di Ganjah Ciroke Goak
8. Sang Ratu Lahuta, di Gajah Agung, Cilimus Jaya Giri
9. Sri Pakentila, di Curug Goong, Maparah

Di tempat yang disebut Cikabuyutan Pameungpeuk, Desa Maparah dikenal sebagai musyawarah Batara Salapan. Perhatian utama Prabu Sanghyang Cakradewa pada kesejahteraan rakyatnya yang hakiki dan abadi berdasarkan nilai-nilai ajaran Karahayuan (Keselamatan, Kebajikan Hidup) serta perhatian pada kehidupan generasi
mendatang. Relevan dengan apa yang tercantum dalam Prasasti Astana Gede, Kawali (15 km Panjalu).


Pada prasasti tersebut antara lain tertulis: “Ayama nu Pandeuri, Pakena Gawe Rahayu Pakeun Heubeul Jaya Dina Buana”. (Semoga Generasi Kemudian Hari Berperilaku Berbuat Kebajikan, Agar Selamanya Memperoleh Kejayaan Hidup Di Dunia.

Masalah mendasar dari pandangan dan harapan beliau diatas adalah pemegang tahta Kerajaan nanti dimasa-masa mendatang, Prabu Cakradewa dikaruniai enam orang anak: tiga orang putera dan tiga orang puteri, yaitu:
1.Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II
2.Prabu Sahyang Borosngora
3.Sanghyang Panji Barani /Kiyai Santang
4.Ratu Mamprang Kancana Artaswayang
5.Ratu Pundut Agung
6.Ratu Anggarunting

Diantara putra-putrinya itu Prabu Borosngora dipandang memiliki bakat dan keperibadian yang layak memegang tahta kerajaan. Disadari bahwa ilmu dan pengalaman
putranya itu belum matang untuk memikul beban dan tanggung jawabnya sebagi raja, karena itu beliau mengharapkan calon pewaris/penerima tahta ini dapat membina
diri. Memiliki ilmu yang berguna bagi anak cucu generasi mendatang, yakni ilmu hakiki (sejati) yang dapat membawa keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia
dan akhirat.

Semula Prabu Borosngora diberi tugas ayahnya sebagi Senopati kerajaan yang bertanggung jawab atas keamanaan, ketertiban dan keutuhan di wilayah kerajaan.
Tugas tersebut dijalankan Prabu Borosngora dengan baik dan mendapat sanjungan dari berbagi pihak terutama dari kalangan keraton.Dalam pada itu Prabu Sanghyang Cakradewa terdorong usia lanjut serta keinginan bertapa meninggalkan segala kehidupan duniawi, bermaksud turun dari tahta kerajaan. Beliau memanggil Prabu
Borosngora serta kemudian memerintahkan untuk segera berangkat mencari ilmu membina diri sebagai syarat bekal tanggung jawabnya sebagi raja. Atas petunjuk dan restu dari ayahnya segera Prabu Borosngoro berkemas pergi meninggalkan keraton berkelana mendatangi berbagi perguruan di tatar pulau Jawa.

Dalam menjalankannya ini beliau teringat akan tugasnya saat ini sebagi senopati kerajaan, beliau berpandangan bahwa untuk keperluan melindungi rakyat dan negara
dari berbagi rupa ancaman musuh, harus memiliki ilmu-ilmu kesaktian yang unggul yang disegani lawan. Dengan dasar pandangan itu ia kemudian mandatangi
perguruan-perguruan terkemuka, pendeta-pendeta linuhung, dan resi-resi termasyhur . Selanjutnya beliau membina diri dengan mengkombinasikan ilmu-ilmu tersebut
dengan pengembangan potensi dirinya. Hasil kreasi mandiri hingga menyatu sebagai kekuatan tunggal dirinya.

Kemampuan itu ia uji sendiri dengan menjajal siapapun yang dianggap orang paling sakti baik itu kesaktria, pendekar ataupun para pendeta dan para resi di seantero
Tatar Pulau Jawa.Setelah tak seorangpun para pendekar mampu menghalangkan barulah ia merasa puas dan bermaksud pulang ke Negeri Panjalu.Karena diyakini bahwa apa yang diharapkan ayahnya telah dapat ia penuhi. Kedatangan Prabu Boronsngora disambut gembira ayahnya (Prabu Cakradewa), keluarga dan kerabat keraton dan termaksud para kepentingan-kepentingan ksatria kerajaan.

Sebagai ugkapan kegembiraan dalam acara tahunan kerajaan digelar pesta dan menampilkan berbagai atraksi antara lain : Atraksi “Baksa” diselingi demonstrasi latih tanding keterampilan beladiri para ksatria. Pada acara ini Prabu Borosnongora diberi kesempatan pertama bersama kakaknya Prabu Lembu Sampulur II, maju ke gelanggang latih tanding. Dengan disaksikan para keluarga, kerabat keraton dan tamu undangan yang hadir. Dua ksatria kakak beradik ini menampilkan teknik-teknik bela diri “tingkat-tinggi” yang memukau. Sorak sorai dan tepuk tangan yang meriah. Rasa gembira kerabat keraton terhenti, ketika pada satu gerakan tertentu Prabu Borosngora menarik kain yang dipakainya telihat pada betis kirinya suatu rajah (tato) sebagi tanda (cap) Perguruan Kesaktian (Kewedukan dan kedugalan) dari Ujung Kulon Banten Selatan.

Setelah acara selesai, diantara kerabat keraton, mengadukan kejadian ini kepada Raja Prabu Cakradewa. Segera Prabu Cakradewa memanggi Prabu Borosngora untuk meminta pejelasan tentang kebenaran laporan pengaduan tersebut itu dihadapan ayahnya Prabu Borosngora mengakui adanya tanda rajah (tato) itu segera menyadari kealpaannya. Selanjutnya ia mengutarakan maksud pemilikan ilmu itu tak lain hanya untuk kepentingan bela Negara.

Dengan arif bijaksana Prabu Cakradewa memaklumi apa yang diutarakan putranya prabu Borosngora itu namun segera beliau jelaskan, bahwa memiliki ilmu dan kesaktian lahiriah (kedugalan, kewedukan) apapun jenis, sifat dan tujuannya adalah terlarang bagi warga Panjalu. Karena bertentangan dengan ajaran (papagon) Kerahayuan. Dijelaskan pula bahwa ilmu yang harus dimiliki adalah ilmu sempurna yang hakiki (sejati) yang hanya memiliki pemahaman dan pengalaman, dengan ilmu itulah kesejaahteraan hakiki yang abadi dapat tercapai dan ilmu itu pula yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan generasi umat mendatang.

Prabu Cakradewa selanjutnya memerintahkan Prabu Borosngora untuk kembali berangkat dan mencari ilmu yang dimaksud hingga tercapai, dimanapun ilmu itu berada.
Prabu Cakradewa menyatakan bahwa ilmu itu ada, dan putranya bisa mencarinya. Menyusul perintah itu Prabu Cakradewa memberikanan Gayung Bungbas (gayung kerancang / gayung lobang-lobang pada alasannya) kepada Prabu Borosngora dengan perintah bahwa ia (Prabu Borosngora) tidak boleh pulang sebelum mampu membawa air secara penuh pada gayung bungbas tersebut. Demikianlah perintah itu mengandung arti mencari ilmu dengan kriteria keberhasilannya diukur oleh kemampuan membawa air pada gayung yang berlubang-lubang disekelilingnya secara penuh tanpa tercecer setetespun.

Perintah itu disampaikan Prabu Cakradewa dengan penuh rasa kasih sayang, harapan dan keyakinan akan keberhasilannya. Dengan membawa gayung bungbas disertai restu ayahnya maka berangkatlah Prabu Borosngora kembali menjelajahi tatar pulau Jawa, mendatangi para Resi dan Pendeta Sakti berbagai perguruan termasyhur, namun tak satupun diantara mereka yang mampu memberi ilmu sebagimana yang diamanatkan ayahnya, bahkan ilmu-ilmu yang mereka meliki ternyata dibawa kemampuan Prabu Borosngora sendiri.

Beliau berpandangan bahwa pada orang yang mampu mengalahkannya saja ia akan beguru serta memperoleh keterangan tentang ilmu sejati yang ingin dipelajari itu, percobaan mengambil air dengan Gayung Bungbas itu melalui pergerakan segenap kesaktiannya tidak pernah berhasil, air tercecer mengalir deras hingga habis.

Kebuntuan langkah terbayang menganggu pikiran dan perasaannya, namun keyakinan berhasil sesuai petunjuk ayahnya mendorong semangat dan tekad Prabu Borosngora untuk berjuang mencari dan memiliki ajaran ilmu yang dimaksud, kapan dan dimanapun serta dengan konsekuensi apapun yang akan terjadi pada dirinya.

Dari Pulau Jawa ia menyeberangi Selat Sunda menuju Pulau Sumatera dan melalui jalur hubungan internasional ia sampai di Asia Barat serta selanjutnya ia terdampar di Padang Arafah, Saudi Arabia. Menghindari sengatan terik matahari ia berlindung pada suatu cekungan batu besar. Sambil beristirahat ia bersemedi memohon kepada Tuhan agar diberi petunjuk dan jalan kemudahan untuk memperoleh ilmu yang diharapkannya. Rasa frustasi kembali timbul, namun ia yakin tidak akan mungkin ayahnya akan mencelakakannya, sehingga semangatnya tumbuh dan sampai kemudian ia ditegur seorang tua berpakaian putih bersih dihiasi rambut dan janggut yang putih bersih pula.

Pandangan orang tua itu terpancar penuh rasa kasih sayang dengan tongkat ditangannya yang tertancap di pasir itu. Beliau menyapa Prabu Borosngora. Dengan serta merta Prabu Borosngora mengutarakan maksudnya mencari orang yang mampu mengalahkannya serta mencari petunjuk ilmu sejati orang yang mampu mengalahkannya serta mencari petunjuk ilmu sejati(hakiki) yang ia inginkan memilikinya.

Menanggapi sikap dan pemaparan Prabu Borosngora disambut orang tua itu dengan anggukan dan senyumnya kasih sayang. Dan segera beliau mengajak Prabu Borosngora menuju tempat tinggalnya. Baru beberapa langkah beliau menghentikannya diri dan melihat kebelakang karena tongkat yang dipegangnya tadi ketinggalan tertancap di tanah pasir itu. Prabu Borosngora memahami dengan segera mengambil tongkat tersebut dengan sebelah tangan, tetapi tak bisa dicabut, ia merasa heran dan setelah melihat penampilan orang tua itu yang malah tersenyum, sadarlah Prabu Borosngora bahwa ia kini telah diuji kesaktiannya. Prabu Borosngora kemudian mengerahkan segenap kemampuannya mencabut tongkat itu sehingga keluar butir-butir darah. Baginda Ali (Rodiallaahu ‘Anhu), Khalifah Ke IV setelah Nabi Besar Muhammad SAW. Prabu Borosngora mengutarakan maksudnya kedatangan akan kisah perjalanan di Jazirah Arab ini.

Baginda Ali r-a memahami apa yang diutarakan Prabu Borosngora dan menjelaskan bahwa ilmu sejati yang dimaksud adalah ilmu-ilmu ajaran Islam. Sejak saat itu Prabu Borosngora Borosngora memeluk agama Islam dan mempelajari ilmu-ilmu ajaran Islam. Ia bermukmin di Makkah Al-Mukaromah atas petunjuk Sayidina Ali r-a.

Sementara di Panjalu, Prabu Sanghyang Cakradewa merasa resah berhubung kepergiaan Prabu Borosngora telah begitu lama belum juga kembali. Beberapa ksatria keraton termaksud adiknya Sanghyang Panji Barani diperintahkan untuk mencari tahu keberadaan Prabu Borosngora. Mereka berpencaran keseluruhan pelosok tatar Pulau Jawa, namun tak dirimukan petunjuk keberadaannya, meskipun demikian Sanghyang Cakradewa yakin bahwa Prabu Borosngora masih dan akan kembali ke Panjalu. Keinginan Prabu Sanghyang Cakradewa untuk turun tahta dan pergi bertapa tak dapat menunggu kedatangannya Prabu Borosngora. Beliau pergi pergi bertapa membangun tempat pertapaan di Cipanjalu sekitar 4 km arah utara kota Panjalu sekarang. Tahta kerajaan untuk sementara diserahkan kepada Prabu Lembu Sampulur.

Di Makkah setelah dipandang cukup menekuni ajaran dan ilmu-Ilmu keislaman, Prabu Borosngora bermaksud pulang ke Panjalu. Niatnya ini disampaikan kepada Baginda Ali r-a kemudian Cis dan pakaian kehajian pemberian Sayyidina Ali r-a dibawa ke Panjalu. Baginda Ali r-a memberi nama kehajian kepada prabu Borosngora yakni H. Abdul Iman lengkap dengan seperangkat pakaian kehajiannya.

Kedatangan Prabu Borosngora dengan ilmu ajaran Keislaman yang diperolehnya disambut gembira dan perasaan bangga oleh PrabuCakradewa yang kemudian memerintahkannnya untuk segera meletakkan dasar-dasar ajaran Keislaman sebagai pedoman hidup dan falsafah Kerajaan. Perintah itu diwujudkan dengan pengangkatan Prabu Borosngora sebagai Raja Soko Galuh Panjalu, disertai kelengkapan tugasnya memindahkan Ibu Kota Kerajaan dari Dayeuh Luhur ke areal Situ Lengkong Panjalu sebagimana terungkap pada Titah Sanghyang Cakradewa. Demikian sejak itu Prabu Borosngora sebagi Raja Soko Galuh Panjalu, sedang Prabu Lembu Sampulur II diserahi tugas memegang kekuasaan di wilayah Gunung Tampomas Sumedang hingga kemudian menurunkan raja-raja Sumedang sebelum keruntuhan Pajajaran.

Petunjuk yang diberikan Baginda Ali r-a kepada Prabu Borosngora adalah segera pulang ke Panjalu dan ajarakan Agama Islam. Sebagai “tand mata” Baginda Ali r-a memberikan barang perkakas berupa Pedang dan Ciss (tombak bermata dua) kepada Prabu Borosngora sebagai kelengkapan tugas dan perjuangannya menyebarkan Agam Islam. Selanjutnya Bagi Ali r-a menyuruh Prabu Borosngora untuk mengambil air zam-zam dengan gayung bungbas yang dibawanya. Ternyata atas izin Allah Swt, air zam-zam dapat ditampung dengan gayung tersebut. Atas petunjuk dan nasihat Baginda Syayidina Ali r-a berangkatlah Prabu Borosngora ke Panjalu.

Setibanya di Panjalu ternyata ayahnya Sanghyang Cakradewa telah meninggalkan Kerajaan di Dayeuh Luhur dan bertapa di Panjalu. Atas petunjuk dan saran Prabu
Lembu Sampulur II, Prabu borosngora kemudian berangkat menemui ayahnya dipertapaan Cipanjalu dengan membawa Gayung Bungbas yang penuh berisi air zam-zam dan pedang. Langkah pertama yang dilakukan Prabu Borosngora yaitu membendung Areal Legok Pasir Jambu hingga menjadi Situ (Danau) serta mencurahkan air zam-zam menyatu dengan air danau tersebut. Tanah yang tak terbendung berwujud Nusa (pulau Kecil) ditengah danau.

Terdapat tiga buah nusa pada areal situ lengkong yang masing-masing berfungsi sebagai bangunan kraton (Nusa Gede). Lokasi kepatihan dan Paseban Kraton(Nusa Hujung) dan taman buah-buahan di Nusa Pakel. Dari keraton Kepatihan dibangun jembatan penghubung yang terbuat dari balok-balok kayu yang dinamakan Cukang
Padung. Bagian Ibu Kota Kerajaan Panjalu yang dibangun Prabu Borosngora sebagimana berikut:
A.Istana Kerajaan, dikelilingi rumah para menteri dan punggawa Keraton nusa gede
B.Kepatihan dan Paseban Keraton di Nusa Pakel
C.Taman buah-buah di nusa Pakel
D.Jembatan Cukang Padung dengan dua Gerbang

0 PREDATOR RUHANI


Harus segera diwaspadai, bahwa tata ruhani kita sekarang ini ada dalam wilayah yang berbahaya. Jika kita tidak segera mengembangkan fungsi kerohanian, diri kita hanya akan makin menambah deretan panjang korban akibat kerapuhan ruhani yang menjalar menjadi kerapuhan sosial.

Kita akan mudah terpana pada ajaran-ajaran baru yang semula kita sangka ajaran masa depan yang memberikan harapan. Seandainya pun kita dapat selamat dari bujuk rayu ajaran-ajaran baru, masih menganga dihadapan kita godaan dengan menganggap hidup ini tak berharga lalu dengan mudah pula kita melakukan tindak bunuh diri sebelum mematikan pihak lain.

Itulah karenanya......


Itulah karenanya kita perlu memahami lebih utuh siapa dan dari mana kita berasal serta akan kemana kita berpulang, agar matarantai ruhaniyah yang kita miliki tak menjadi distorsi hingga membuat kita meronta-ronta dengan caranya sendiri ketika tekanan baik dari dalam mapun luar datang menekan. Orang-orang akan makin mudah membunuh dirinya sendiri, dan bagi pihak yang telah tidak menganggap berharga hidupnya, ia akan menjadi mudah pula mematikan pihak lain.

Sehingga sulit membayangkan tokoh besar seperti Nelson Mandela, tumbuh sebagai legenda kemanusiaan jika ia tidak pernah (mowo beo) dipenjara demikian lamanya. Sulit membayangkan pelawak Tukul Arwana selucu sekarang ini, jika ia tidak pernah (mowo beo) menjadi sopir, miskin dan dihina.

Itulah agaknya selalu ada godaan untuk terpana pada ajaran-ajaran baru yang mereka sangka ajaran masa depan dan yang menjadi letak sebuah harapan. Orang-orang itu bukan lahir begitu saja. Ia adalah produk ruhani yang distortif. Ada jenis mata rantai kehidupan yang mereka tersangkut didalamnya. Ia bagian yang tak terpisah dari sebuah system ruhaniah, sehingga meronta-ronta dengan caranya. Pemberontakan itu bisa berupa pegawai yang indisiplin, tentara yang disersi, polisi yang main tembak dan orang awam yang menjadi kriminal.

Pada hakekatnya seseorang yang hidup didalam sistem pun akan menjadi sumber jika sistem itu penuh tekanan diluar yang semestinya. Tekanan itu bisa berasal dari aturan kerja yang terlalu menekan, gaji yang rendah, hingga kepemimpinan yang buruk
mutunya.

Kepemimpinan inilah akhirnya yang menjadi segala muara, karena sistem yang tidak baik akan menjadi baik ditangan pemimpin yang baik. Dan system yang sempurna akan menjadi percuma ditangan pemimpin yang cacat perilaku ruhaninya.

Keteladanan pemimpin itulah yang kharismanya akan jauh melampaui batas-batas system yang ada. Karena jika negara belum memiliki peraturan yang seksama negara itu akan ditertibkan cukup dengan kebijaksanaannya. Jika sebuah kantor belum memiliki aturan yang jelas tentang sesuatu hal ditangan kepala kantor yang bijak, sebuah ketidak jelasan akan menjadi jelas dengan kemuliaan.

Kemuliaan akan menjadi hukum yang memancar begitu saja, yang orang akan merasakan keadilannya, merasakan kesungguhannya tanpa memerlukan redaksional yang jelas bunyinya. Ia sangat berbeda dengan sebuah peraturan yang jelas bunyinya, tetapi
tanpa kebaikan didalamnya. Maka sebuah peraturan yang baik pun akan menjadi jahat jatuhnya.

Menjadi jelas karena Indonesia membutuhkan peraturan yang lebih baik, tetapi jauh lebih mendesak adalah kebutuhan akan kepemimpinan yang lebih baik. Kebaikan inilah yang kita harapkan akan segera menjadi peredam bagi tingkat kesabaran publik yang
terus menipis bagi kesalehan ruhani yang terus mengalami degradasi.

Hanya kesalehan ruhani ini, yang akan menyelamatkan kita dari ancaman wabah predatorik yakni penyakit yang menempatkan manusia cenderung memaknai orang lain sebagai mangsanya. Dan kesalehan ruhani itu harus muncul pertama dari pribadi para pemimpinnya.

Meski demikian, untuk memiliki kesalehan ruhani, setiap kita tak perlu menunggu para pemimpin memilikinya terlebih dahulu.

1 Tembang Legenda


jika tubuh hanya pinjaman
ia dapat ku tanggal dan ku kenakan
andai di izinkan
biar ku taruh tubuh ini di hamparan zaman

ia menambah beban saja
meminta selalu untuk diperhatikan senantiasa

tak sekedar ini
di ujung sana tubuh lainnya menagih tagih
membuatku letih
tuk percaya pada suara hati
dan
kini aku tak lagi mengimani kata hati
sebab ada kata hati lain yang lamat menyerupai nurani


ah....!
seperti majnun yg cuma memetik laila diantara ribuan jelita
dari hati biar yang ku raih hanya cinta-Nya saja
tuk menemani hari-hari di lorong yang sunyi dan senyap
tuk menyelimutiku ketika dingin datang menyiksa

sungguh.....
aku rindu.....
aku rindu.....
pada nyanyian yang pernah aku dendangkan
dihadapan-Nya
hanya untuk-Nya

ya...
tembang hingga kini masih melegenda
tembang yang tidak ada pada satu tempat
tembang yang tidak pada hari kemarin, esok dan lusa
tembang yang melewati semua batasan waktu dan ruang

tembang.....balaa'....balaa'....ya...ya...
tembang syahidnaa..syahidnaa...syahidnaa.....
tembang kesaksian keesaan-Nya
tembang pengakuan kemanunggalan cinta-Nya
balaa'.............. syahidnaa.............

tanah abang
tengah malam
medio malam minggu 15 mei 2010

0 Si Miskin


By: Ahmad Sobari

Kita sudah terlanjur berjanji memberi perlindungan kepada semua orang miskin dan anak-anak terlantar. Dan karena itu kita merawat dan menyantuni mereka dengan layanan profesional seperti yang dilakukan Departemen Sosial untuk memberi seluas mungkin peluang sosial ekonomi kepada kaum miskin agar mereka mampu bergulat secara nyata dan bersungguh-sungguh mengentaskan diri mereka sendiri dan bukan dientaskan oleh pihak lain dari jerat kemiskinan itu.

Si Miskin itu juga manusia seperti kita, warga Negara yang punya hak dan kewajiban sama seperti kita. Mereka berhak hidup mentereng, berhak menjadi anggota DPR dan punya mobil mewah dan dompet tebal. Dan karena itu kita hormati harkat dan martabat mereka sebagai orang-orang terhormat. Santunan, bantuan, layanan dan segala macam kewajiban sosial, kewajiban politik dan moral, terutama kewajiban keagamaan yang harus kita tunaikan kepada mereka tak boleh menyinggung dan melukai harga diri mereka.

Kaum Muslimat dan Muslimin yang shaleh dan tulus diundang Tuhan secara khusus untuk lebih mengasah kepekaan jiwa dan meningkatkan kepekaan sosial dan, kalau bisa, diharap bersikap asketik atau zuhud, sikap hidup hemat didunia demi tabungan akherat. Ikut menikmati dunia tapi tak didikte oleh dunia yang ibarat kata cuma sekejap mata karena ada janji alam keabadian atau hidup kekal dibalik dunia fana ini.


Muslimin dan Muslimat yang shaleh, tulus dan zuhud, diketuk hatinya oleh Tuhan untuk menoleh kekiri dan kekanan, kesemua tempat dimana si miskin bermukim. Dan mereka pun diingatkan bahwa dalam kekayaan mereka terdapat hak si miskin yang tak bisa mereka ingkari.

Terhadap KPK saya menyampaikan rasa hormat karena control yang mereka berikan akan mengurangi kemungkinan orang untuk menggelapkan kekayaan Negara dan untuk memperkaya diri sendiri yang akibatnya bisa membikin miskin pihak-piahk yang lain.

Tuhan tak pernah tidur dan komputernya tetap menyala terus bukan cuma 24 jam melainkan sepanjang masa yang tak kita ketahui berapa milyar tahun lamanya. Dan Dia
yang tak pernah tidur itu pula yang diam-diam bersembunyi dibalik singgasana kemiskinan umatnya itu rupa-rupanya Tuhan berpihak pada si miskin. Tentu saja ini
merupakan ungkapan metaforis dari pada ungkapan dalam arti sebenarnya.

Dan karena itu metafora kaum sufi selalu menyebutkan bila hendak bertemu Tuhan carilah ditengah rombongan si miskin yang mungkin diam-diam tanpa dikomando,
tanpa diberi aba-aba oleh siapapun mereka serempak memuji asma dan sifat-sifatNya tidak dengan pujian verbal seperti orang-orang latah melainkan dengan degup
jantung dan getaran jiwa mereka yang tulus, bahkan lebih tulus dari orang-orang disekitar kita yang merasa berhak atas sebutan sebagai orang yang tulus.

Astaghfirullaah, maa-syaa-allah ! ampunilah kami ya Tuhan yang Maha Pengampun bila diam-diam adakalanya kami merasa seangkuh itu karena hal itu berarti bahwa kami lebih dungu dan lebih bebal secara spiritual dari pada si miskin.

Maka bila sekedar karena terlanjur atau karena bergurau orang berpendirian bahwa kemiskinan itu suci tentu saja miskin dalam katagori Depsos saya tak akan memberi
komentar apa-apa pun. Kalau begitu adakah katagori kemiskinan yang lain ? jawabnya "ada", namanya kemiskinan jiwa.

Orang yang hidup materialnya berlimpah boleh jadi mereka terserang kemiskinan jiwa itu. Para konglomerat dan para pejabat tinggi kita banyak yang mengidap kemisikinan jiwa. Ibarat orang minum air laut, setelah dua-tiga teguk air diminum perbawa haus semakin menerpa tenggorokan mereka, hingga dalam bayangan mereka berpuluh-puluh drum air tak bakal bisa membikin mereka puas. Semua orang dihadapan Tuhan hakikatnya hanyalah sekeping jiwa telanjang dan barangkali buruk dan hina, miskin dan papa. Maka tak salah bila didepan Tuhan manusia mengeluhkan kemiskinannya dan memohon petunjuk jalan pembebasan yang mesti mereka tempuh.

Tapi bila didepan Tuhan pun mereka ibaratnya bersikap angkuh, merampok uang rakyat dan sembunyi-sembunyi mengamankan harta rampokan itu agar tak dikenai pajak, tak wajib bayar zakat mal dan terutama buat menghindarkan diri dari keharusan mengakui terus terang pada publik berapa kekayaannya, maka orang seperti itu bukan cuma miskin melainkan, saya kira, rajanya semua orang yang miskin secara kejiwaan.

Si Miskin dalam kategori ini bisa juga disebut "si gila harta". Saya suka sekali dengan ungkapan sufi besar kita, Jalaluddin Rumi, dalam kitabnya Kearifan Cinta, ketika ia menyebutkan: "Bila ada orang yang gila harta menderita, maka orang suci akan datang untuk menyembuhkannya. Namun bila yang menderita itu adalah orang-orang
suci, demi Allah, siapa bisa menyembuhkannya ?"

Ungkapan ini bisa kita modifikasi untuk memberi kita gambaran mengenai jiwa-jiwa keserakat, fakir dan papa yang tampil sebagai orang-orang gila harta, yang membuat
negeri kaya ini hancur lebur menjadi debu dan hina dimata bangsa-bangsa lain di dunia.

Karena hancurnya negeri ini, disebabkan oleh ulah para pemimpin bangsa kita sendiri maka ungkapan kita bisa berbunyi begini: "Bila ada maling mencuri milik orang lain, maka polisi akan datang untuk menangkapnya dan menyerahkannya pada jaksa. Tapi bila yang maling itu polisi, jaksa dan para pejabat tinggi lain, duh Gusti, siapa yang bisa menangkapnya ?, terutama jika wakil rakyat pun kebagian dan dengan gigih mereka bahkan membelanya."

Dalam pusisi Pelacur dan Biniku, penyair legendaris kita, Khairil Anwar,menggambarkan kebimbangan orang yang hendak melacur karena ingat akan isterinya. Barah menganga, melayang ingatan ke biniku, ngeri, ini luka terbuka, sekali lagi, terpandang.

Ada kekuatan kontrol sosial dan kontrol moral yang masih berfungsi pada penyair ini. Pejabat kita, karena kepejabatannya, merasa tak ada lagi kekuatan lebih unggul.
Selingkuh, atau bahkan memperkosa ibu pertiwi mereka sendiri tak membuat orang-orang itu malu atau rikuh. Mungkin malu dan rikuh bukan isu moral yang relevan karena mereka sudah terlanjur merosot ke tahap yang sulit digambarkan.

Betapa rendahnya, mereka mentereng dan berduit, tapi hidup sebagai si miskin yang hina. Dan tampaknya mereka sadar, telah melecehkan harkat hidup mereka sendiri.

1 SETAN UNTUK PARA SUFI


Ada jalan syetan yang jalurnya melintas melalui syaraf dan darah kita. Bujuk rayunya yang penuh janji, tetapi menjurumuskan terselip di celah-celah jiwa kita. Bahkan syetan masuk melalui salah satu elemen dari DNA manusia, agar kelak lahir generasi-generasi syetan. Hanya ada satu golongan ummat manusia yang tidak bisa disentuh oleh syetan. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang sudah melampaui tahap ikhlas dan Allah menyebut mereka sebagai Mukhlashin.

Oleh karena Allah telah menjadikan syetan sebagai Common Enemy (musuh bersama) hamba-hamba Nya, tidak sedikit jalan-jalan Ilahi yang tergelar untuk menghalau
jalur lintas para syetan yang berserakan disana-sini. Dan strategi spiritual merupakan salah satu jalan utama dalam melakukan perlawanan. Untuk itu Dunia Sufi
membangun benteng-benteng kokoh agar setiap hamba Allah tak tersentuh oleh sifat-sifat yang ditebarkan melalui virus syetan. Meski demikian, ya meski demikian,
tidak berarti para penempuh jalan Sufi akan lepas dari cengkraman dan bayang syetan. Tidak juga berarti para penempuh jalan Sufi bebas dari gulungan kegelapan yang dipintal tangan-tangan syetan disaat para penempuh jalan Sufi tak rampung-rampungnya diguyur terang.


Ketika seorang Sufi hendak menempuh jalan Allah, dan punya tekad semata bagi Allah, syetan melalui nafsu manusia menghembuskan kabar, bahwa kelak anda akan menjadi orang hebat, orang suci, dan kelak pula anda akan dipuja-puji. Teruskanlah jalan anda, sebab anda akan dikenal sebagai Sufi besar, yang bisa memiliki banyak fasilitas, kehormatan, kedudukan, dan kata-kata anda dipatuhi ummat.

Ketika para penempuh sedang menikmati nuansa Sufi, tiba-tiba syetan membisikan: “Nah, Allah sudah memberikan kehebatan kepada anda, dan anda sudah sampai kepada Allah. Kalau anda sudah sampai kepada-Nya, anda bebas berbuat apa saja, termasuk melanggar hal-hal yang selama ini dilarang. Sebab larangan itu hanyalah pendidikan bagi orang awam. Anda sudah bukan orang awam lagi. Tapi anda tergolong khos.” Ketika para penempuh itu merasakan betapa Allah maha ampun, dan ia mulai menikmati Mahabbatullah, tiba-tiba syetan mulai berbisik lagi, “berbuat salah itu kan manusiawai. Selali dua kali tidak mengapa. Allah Maha Ampun. Jika ditimbang dosa anda dengan ampunan Allah tak ada artinya. Ampunan Allah lebih besar. Melanggar kecil-kecil nggak apa-apalah…”

Syetan juga mulai berbisik pada Sufi lainnya, “Anda kan sudah dikenal banyak orang sebagai Sufi. Makanya anda harus menggunakan pakaian yang compang camping agar anda disebut orang aneh dan orang Sufi. Apalagi anda jauh dari pergaulan. Maka, berbanggalah dengan compang-camping itu. Karena dengan begitu identitas anda jelas.”

Syetan juga merekadaya Sufi dengan kata-katanya, “Semua itu dari Allah, dan kelak kembali kepada Allah. Karena itu, semua hamba Allah pasti bisa kembali kepada Allah, walau pun di dunia bergelimang dosa dan maksiat. Masa, Allah akan tega menyiksa hamba-NYa sendiri, hasil Cipta-KarsaNya…- Karena itu, katakan pada dirimu sendiri, bahwa semua ini Allah, dan anda juga sudah menyatu dengan Allah. Lalu tebarkanlah kepada siapa saja tanpa pandang bulu, semuanya adalah Allah. Jadi Anda sudah merdeka dari segala perintah dan larangan Allah…” Dan yang cukup menggetarkan biasanya Syetan masuk dalam bentuk cahaya yang bertuliskan huruf Allah, lalu ia mengatakan, “Wahai hambaku, kamu sudah berada dalam derajat paling tinggi. Kamu tidak perlu beribadah dengan segala syari'at yang aku perintahkan.

Kamu tidak perlu shalat, puasa, zakat maupun haji. Mereka yang melakukan itu semua karena mereka belum sampai kepadaku. Kalau sudah sampai, semua itu sudah tidak perlu lagi.” Na’udzubillahi Minasyaithaani-Rajiim !.

0 NATO dan Omdo


By: SAMUEL MULIA

Saya baru selesai membaca sebuah artikel di sebuah majalah wanita, judulnya ”NATO a.k.a. Omdo”. Yang dimaksud NATO itu adalah no action talk only dan omdo itu adalah omong doang. Lucu artikelnya dan ”kena” banget buat saya. Beberapa hari sebelum membaca artikel itu, saya mendapat pesan lewat BlackBerry (BlackBerry Messenger/BBM) dari seorang teman, berbunyi seperti di bawah ini—sudah saya persingkat.

”Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang, tidak dapat mengekang diri, lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Allah, ... ” dan seterusnya, dan seterusnya. Kiriman BBM itu diakhiri dengan ajakan demikian. ”Mari kita renungkan satu per satu sikap di atas, jangan-jangan itu kita”.

BBM

Tepat satu hari setelah Hari Kartini, teman saya itu mengirimkan BBM lagi. Karena panjang sekali, saya singkat juga. ”Pertama, inginkah kita kembali kepada kehidupan lama kita? Kedua, tidakkah kita bisa sedikit lebih setia pada Tuhan? Ketiga, pilihan ada di tangan kita”.


Saya ini tersinggung bukan karena pesannya, melainkan karena kondisi orang yang mengirimkannya. Sesama manusia error, kok, saling menasihati. Saya tulis kekesalan itu di status Facebook begini. ”Kalau seorang pezinah menganjurkan orang lain untuk hidup di dalam kebenaran, si pezinah ini maunya apa, ya?”

Di lain pihak, peristiwa di atas mengingatkan saya pada aktivitas yang sama, yaitu mengirimkan pesan mulia, yang saya lakukan nyaris setiap pagi kepada kira-kira seratusan orang, bertahun lamanya, dari zaman belum ada BlackBerry. Sampai akhir tahun lalu, saya putuskan tidak lagi untuk melakukannya.

Saya mengirimkan pesan mulia dalam kondisi sebagai manusia yang maha tak mulia. Jadi kalau dipikir sekarang ini, edan juga, saya ini, kok, berani-beraninya menganjurkan orang lain untuk tidak error di saat saya tengah menikmati ke-error-an yang saya buat sendiri, di tengah saya tidak dapat mengekang diri, saat saya lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Sang Pencipta.

Kan, katanya, seorang dokter harus mencerminkan dunia yang sehat. Tentu sangat ironis kalau ada dokter merokok. Bagaimana mau memercayai petuah sehat dari mulut seorang yang tidak sehat? Maka, benarlah kalau dikatakan, manusia itu dihakimi dari buah yang dihasilkannya.

Tak lama setelah peristiwa di atas, seorang teman lain mengirim BBM. Bunyinya begini. ”Tegur aku jika aku mulai sombong, tegur aku jika aku mulai angkuh, tegur aku jika aku mulai salah karena aku masih sangat butuh sahabat seperti kamu, hari ini, esok, dan selamanya.”

Nah, karena pesannya demikian, seorang teman dalam satu grup menegurnya tanpa tedeng aling-aling. Setelah kejadian itu, lama saya tak bertemu siapa-siapa, sampai pada suatu hari, gendang telinga ini mendengar bahwa si pengirim pesan mulia itu mengundurkan diri dari kelompok pertemanan yang sudah sekian tahun kami jalankan.

Menurut ”Loh”?

Saya mendapat pelajaran berharga. Mungkin sebaiknya kalau mau mengirim pesan yang mulia, saya perlu berpikir ulang. Kelihatannya sepele, hanya soal memencet kata forward di peranti telekomunikasi. Padahal, di balik kesepelean itu, ada tanggung jawab dan konsekuensinya. Maka, sebaiknya sebelum memencet, saya perlu bertanya, apakah saya memang pantas mengirimkan atau meneruskan pesan mulia itu?

Dengan IQ jongkok yang saya punya, saya berpikir, kalau seseorang hidup benar mengirimkan kalimat mulia kepada si pezinah macam saya, itu tak akan jadi masalah. Tetapi, saya sebagai pezinah, mesti berpikir sejuta kali untuk melanjutkan pengiriman ke tempat lain, terutama kepada sesama pezinah. Nanti yang menerima malah menjadi kesal dan bukan malah berterima kasih. Saya sudah mengalami sendiri, bahkan sampai hari ini.

Omong doang itu paling mudah, sama mudahnya dengan membalikkan tangan dan mengirimkan pesan tadi. Tetapi, walk the talk itu susahnya setengah mati. Sekarang saya mengerti bahwa doa-doa saya selama ini tak dijawab, mengapa hidup saya cuma segini-segini saja, itu juga karena andil saya yang cuma mau percaya adanya Tuhan, tetapi tak mau menjalankan persyaratannya.

Saya itu omong doang mau setia dengan Sang Khalik. Kenyataannya? Saya senang kembali pada masa lalu, senang mengasihani hawa nafsu sendiri. Kesetiaan saya hanya separuh. Termasuk separuh hati.

Dan curangnya, saya hanya mengabdi 50 persen, tetapi mau menerima permohonan doa yang 100 persen. Berhubungan dengan Sang Khalik itu tak bisa sembarangan. Itu harus dilakukan di jalur-Nya, bukan di jalur yang saya buat untuk-Nya. Nurani saya langsung nyamber: ”Menurut loh?”

Saya memang tak akan sempurna, tetapi saya harus berhenti berpikir bahwa saya bisa tetap jadi pezinah, jadi koruptor, menyumbang dana haram ke rumah ibadah, dan menjadi mulia hanya karena saya menjadi messenger yang menggemakan kemuliaan-Nya. Hidup ini bukan soal ngomong doang, tetapi soal mengontrol omongan yang doang itu.

(Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/02/0259207/nato.dan.omdo)

0 Keutamaan Dzikir "Allahu Akbar"


Menurut Imam Ibnu Athaillah As Sakandary Dzikir "Allahu akbar", di dalamnya ada lima perspektif:

Pertama: Dalam "Allahu Akbar" ada penyebutan Allah Ta'ala pada diriNya Sendiri, pentauhidan, pengagungan dan penghormatan atas keagunganNya, yang lebih agung dan lebih besar dibanding penyebutan makhlukNya yang lemah, sangat butuh, dan pentauhidan makhluk kepadaNya. Karena Allah swt-lah Yang Maha Mencukupi dan Maha Terpuji.

Kedua: Dzikir dengan Nama tersebut lebih agung dibanding dzikir dengan Asma'-asma'Nya yang lain.

Ketiga: Bahwa Dzikirnya Allah Ta'ala pada hamba-Nya di zaman Azali sebelum hamba-Nya ada, adalah Dzikir teragung dan terbesar, yang menyebabkan dzikirnya hamba saat ini. Dzikirnya Allah Ta'ala tersebut lebih dahulu, lebih sempurta, lebih luhur, lebih tinggi, lebih mulia dan lebih terhormat. Dan Allah Ta'ala berfirman : "Niscaya Dzikirnya Allah itu lebih besar."


Keempat: Sebenarnya mengingat Allah Swt, di dalam sholat lebih utama dan lebih besar dibanding mengingat-Nya di luar sholat. Menyaksikan (musyahadah) pada

Allah Ta'ala (Yang Diingat) di dalam sholat lebih agung dan lebih sempurna serta lebih besar ketimbang sholatnya.

Kelima: Bahwa mengingat Allah atas berbagai nikmat yang agung dan anugerah mulia, serta dorongan-Nya kepadamu melalui ajakan-Nya kepadamu agar taat kepada -Nya, adalah nikmat paling besar dibanding dzikir anda kepada-Nya, dengan mengingat nikmat-nikmat itu, karena anda semua tidak akan pernah mampu mensyukuri nikmat-Nya. Karena itu Nabi Muhammad saw, bersabda: "Aku tidak mampu memuji pada-Mu, Engkau, sebagaimana Engkau memuji-Mu atas DiriMu."

Artinya, "aku tidak mampu," padahal beliau adalah makhluk paling tahu, paling mulia, dan paling tinggi derajatnya dan paling utama. Justru Nabi saw, menampakkan kelemahannya, padahal beliau adalah paling tahu dan paling ma'rifat - semoga sholawat dan salam Allah melimpah padanya dan keluarganya -.

Setelah kita mentauhidkan Allah Swt, yang dinilai lebih agung ketimbang sholat, sehingga sholat menjadi rukun Islam yang kedua. Dalam sabda Rasulullah Saw:
"Islam ditegakkan atas lima: Hendaknya menunggalkan Allah dan menegakkan sholat… dst". Takbiratul Ihram dijadikan sebagai pembukanya, Allahu Akbar. Allah tidak menjadikan salah satu Asma-asma'Nya yang lain, untuk Takbirotul Ihrom, kecuali hanya Allahu Akbar. Karena Nabi saw, melarangnya , demikian juga untuk Lafadz Adzan, tetap menggunakan Takbir tersebut, begitu pun setiap takbir dalam gerakan sholat. Jadi Nama agung tersebut lebih utama dibanding Nama-nama lainnya, lebih dekat bagi munajat-munajat, bukan hanya dalam sholat atau lainnya.

Dalam hadits disebutkan:
"Aku berada pada dugaan hamba-Ku apabila hamba berdzikir pada-Ku. Maka apabila ia berdzikir kepada-Ku dalam jiwanya, Aku mengingatnya dalam Jiwa-Ku. Dan

jika ia berdzikir padaKu dengan kesendirianNya, maka Aku pun mengingat dengan KemahasendirianKu. Dan jika ia berdzikir di tengah padang (keramaian) maka Aku
pun mengingatnya di keramaian lebih baik darinya." Allah swt. Berfirman:"Dzikirlah kepada-Ku maka Aku berdzikir kepadamu."

Hal yang menunjukkan keutamaan dzikir dibanding sholat dari esensi ayat tersebut, yaitu firman Allah Swt: "Sesungguhnya sholat itu mencegah keburukan dan kemungkaran."
Yang walau demikian merupakan dzikir teragung, namun Dzikir "Allah" itu lebih besar dari pada sholat dan dibanding setiap ibadah. Abu Darda' meriwayatkan dari Nabi
Saw, beliau bersabda : "Ingatlah, maukah aku beri kabar kalian tentang amal terbaikmu dan lebih luhur dalam derajatmu, lebih bersih di hadapan Sang Rajamu, dan
lebih baik bagimu ketimbang memberikan emas dan perak, dan lebih baik ketimbang kalian bertemu musuhmu lalu bertempur di mana kalian memukul leher mereka
dan mereka pun membalas memukul lehermu?" Mereka menjawab, "Ya, kami mau.." Rasulullah saw, bersabda, "Dzikrullah."

Juga dalam hadits yang diriwayatkan Mu'adz bin Jabal :
"Tak ada amal manusia mana pun yang lebih menyelamatkan baginya dari azdab Allah, disbanding dzikrullah."

Makna Dzikrullah bagi hamba-Nya adalah bahwa yang berdzikir kepada-Nya itu disertai Tauhid, maka Allah mengingatnya dengan syurga dan pahala. Lalu Allah Swt berfirman: "Maka Allah memberikan balasan kepada mereka atas apa yang mereka katakana, yaitu syurga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya."

Dengan dzikir melalui Ismul Mufrad, yaitu "Allah", dan berdoa dengan ikhlas kepadaNya, Allah swt berfirman:
"Dan apabila hamba-Ku bertanya kepada-Ku tentang Aku, maka sesungguhnya Aku Maha Dekat…"

Siapa yang berdzikir dengan rasa syukurnya, Allah memberikan tambahan ni'mat berlimpah :
"Bila kalian bersyukur maka Aku bakal menambah (ni'matKu) kepadamu…"
Tak satu pun hamba Allah yang berdzikir melainkan Allah mengingat mereka sebagai imbalan padanya.

Bila sang hamba adalah seorang 'arif (orang yang ma'rifat) berdzikir dengan kema'rifatannya, maka Allah Swt, mengingatnya melalui penyingkapan hijab untuk musyahadahnya sang 'arif.

Bila yang berdzikir adalah mukmin dengan imannya, Allah Swt, mengingatnya dengan rahmat dan ridlo-Nya.

Bila yang berdzikir adalah orang yang taubat dengan pertaubatannya, Allah Swt, mengingatnya dengan penerimaan dan ampunan-Nya.

Bila yang berdzikir adalah ahli maksiat yang mengakui kesalahannya, maka Allah Swt, mengingatnya dengan tutup dan pengampunan-Nya.

Jika yang berdzikir adalah sang penyimpang dengan penyimpangan dan kealpaannya, maka Allah Swt mengingatnya dengan adzab dan laknat-Nya.

Bila yang berdzikir adalah si kafir dengan kekufurannya, maka Allah Swt, mengingatnya dengan azab dan siksa-Nya.

Siapa yang bertahlil pada-Nya, Allah Swt, menyegerakan Diri-Nya padanya
Siapa yang bertasbih, Allah Swt, membagusinya
Siapa yang memuji-Nya Allah Swt, mengukuhkannya.
Siapa yang mohon ampun padaNya, Allah Swt, mengampuninya.
Siapa yang kembali kepadaNya, Allah Swt, menerimanya.

Kondisi sang hamba itu berputar pada empat hal :
Pertama: Ketika dalam keadaan taat, maka Allah Swt, mengingatkannya dengan menampakkan anugerah dalam taufiq-Nya di dalam taat itu.
Kedua: Ketika si hamba maksiat, Allah Swt mengingatkannya melalui tutup dan taubat.
Ketiga: Ketika dalam keadaan meraih nikmat, Allah Swt mengingatkannya melalui syukur kepadaNya.
Keempat: Ketika dalam cobaan, Allah mengingatkannya melalui sabar.

Karena itu dalam Dzikrullah ada lima anugerah :
1. Adanya Ridlo Allah Swt.
2. Adanya kelembutan qalbu.
3. Bertambahnya kebaikan.
4. Terjaga dari godaan syetan.
5. Terhalang dari tindak maksiat.

Siapa pun yang berdzikir, Allah pasti mengingat mereka.
•Tak ada kema'rifatan bagi kaum a'rifin, melainkan karena pengenalan Allah Swt kepada mereka.
•Dan tak seorang pun dari kalangan Muwahhidun (hamba yang manunggal) melainkan karena ilmunya Allah kepada mereka.
•Tak seorang pun orang yang taat kepada-Nya, kecuali karena taufiqNya kepada mereka.
•Tak ada rasa cinta sang pecinta kepada-Nya, kecuali karena anugerah khusus CintaNya kepada mereka.
•Tak seorang pun yang kontra kepada Allah Swt, kecuali karena kehinaan yang ditimpakan Allah Swt, kepada mereka.
•Setiap nikmat dari-Nya adalah pemberian. Dan setiap cobaan dari-Nya adalah ketentuan. Sedangkan setiap rahasia tersembunyi yang mendahului, akan muncul secara
nyata di kemudian hari.

Perlu diketahui bahwa kalimat tauhid merupakan sesuatu antara penafiaan dan penetapan. Awalnya adalah "Laa Ilaaha", yang merupakan penafian, pembebasan,
pengingkaran, penentangan, dan akhinya adalah "Illallah", sebagai kebangkitan, pengukuhan, iman, tahid, ma'rifat, Islam, syahadat dan cahaya-cahaya.

"Laa" adalah menafikan semua sifat Uluhiyah dari segala hal yang tak berhak menyandangnya dan tidak wajib padanya. Sedangkan "Illallah" merupakan pengukuhan
Sifat Uluhiyah bagi yang berhak dan wajib secara hakikat.

Secara maknawi terpadu dalam firman Allah Swt :
"Siapa yang kufur pada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka benar-benar telah memegang teguh tali yang kuat."

"Laa Ilaaha Illallah", untuk umum berarti demi penyucian terhapad pemahaman mereka,.dari kejumbuhan khayalan imajiner mereka, untuk suatu penetapan atas
Kemaha-Esaan, sekaligus menafikan dualisme.

"Laa Ilaaha Illallah", bagi kalangan khusus sebagai penguat agama mereka, menambah cahaya harapan melalui penetapan Dzat dan Sifat, menyucikan dari perubahan
sifat-sifat baru dan membuang ancaman bahayanya.

"Laa Ilaaha Illallah", untuk kalangan lebih khusus, justru sebagai sikap tanzih (penyucian) terhadap perasaan mampu berdzikir, mampu memandang anugerah serta

fadhal dan mampu bersyukur, atas upaya syukurnya.

0 IDKHOOLUS SURUUR ATAWA KIYAI SUPERMAN


By: Yahya Cholil Staquf

dkholus suruur adalah sebentuk akhlak mulia yang amat dianjurkan, tapi bukannya tanpa resiko salah paham.

Di akhir pengajian suatu malam, Mbah Kusnan sang tuan rumah menjamu Mbah Bisri Mustofa dengan berbagai hidangan makan larut malam yang lezat-lezat. Mbah Bisri, beberapa santri pendhereknya dan sejumlah tamu undangan pun menikmati pesta dengan lahapnya. Habis nasi di piring Mbah Bisri dan teh manis pun telah diminum pula, Mbah Kusnan buru-buru menyodorkan setandan pisang kehadapan kiyai pujaannya itu. Meskipun sudah merasa kenyang, Mbah Bisri ber-idkhoolus suruur kepada Mbah Kusnan. “Waahh!” serunya dengan suara riang, “sampeyan kok tahu saja kesukaan saya!” Keruan, Mbah Kusnan merasa amat bahagia khidmahnya diterima.

Esok harinya, sebelum Mbah Bisri selesai mengaji waktu dluha, telah datang kiriman setandan pisang. “Dari Mbah Kusnan”, kata santri yang menerima, melaporkan. Esoknya lagi, pada waktu yang sama, setandan pisang datang lagi. Dan besoknya lagi, dan besoknya lagi…. Hingga berminggu-minggu Mbah Kusnan beristiqomah mengirim tandan pisang setiap harinya. Sampai-sampai, Mbah Bisri pun mblêngêr. “Kang Kusnan ini gimana?” keluhnya, “apa dikiranya aku ini ménco?”
* * * * *


Idkholus surur juga terkadang tidak mudah.

Kiyai Ahmad Abdul Hamid, Kendal, Rois Syuriyah PWNU Jawa Tengah waktu itu, terkenal sebagai penggemar olah raga. Walaupun sudah sepuh, beliau tetap aktif dalam berbagai kegiatan olah raga, dari jogging sampai dengan sepak bola. Kiyai Ahmad juga senantiasa membina hubungan baik dengan segala kalangan. Tidak aneh jika, ketika seorang pengusaha setempat berisnvestasi membangun kolam renang publik, Kiyai Ahmadlah yang diminta meresmikannya.

Karena Kiyai Ahmad adalah seorang olah ragawan –dan untuk memenuhi unsur entertainment—maka diagendakan bagi beliau untuk melakukan “lompatan pertama” dari
menara kolam. Tak tanggung-tanggung, sang pengusaha menghadiahkan sepotong celana renang untuk beliau kenakan bagi keperluan itu. Jelas, ini situasi yang sulit.

Demi idkholus surur, Kiyai Ahmad merasa tak sampai hati menyingkirkan celana renang pemberian si pengusaha. Tapi, celana itu tak cukup panjang untuk menutupi auratnya. Apa akal?

Pada waktu yang ditentukan untuk acara peresmian itu, Kiyai Ahmad tampil di puncak menara kolam, bercelana panjang, dengan celana renang dikenakan diluarnya laksana Superman!
____________________
Catatan tambahan:
Sayang sekali saya tak punya fotonya Almarhum Mbah Kiyai Ahmad Abdul Hamid. Ada yang bisa bantu?

0 "..KAU ADA SAAT DIBUTUHKAN dan TIDAK.."


By: Ambarsari. Setiadi

Yaa Ilahi Rabbi..
Kau selalu ada saat dibutuhkan dan tidak dibutuhkan...
Kau selalu hadir saat dibutuhkan dan tidak dibutuhkan insani..
Dan Kau ada saat susah dan senang, sengsara dan sendu..

Karena…
Kau selalu ada bila diminta dan tak diminta pertolongan..
Kau selalu mendengar permintaan setiap hamba-hamba`Mu..
Dan Kau ijabah doa setiap insan yang khyusuk dalam berdoanya..
Dan Kau tak ijabah doa setiap insan yang terselubung hawa nafsunya..


Rabb..
Semua yang Kau sediakan sudah dalam kesediaan`Mu..
Semua yang Kau berikan sudah ada dalam perhitungan`Mu..
Semua yang tersaji sudah ada dalam komposisi`Mu..

Masihkan harus meminta yang sudah tersedia dari`Mu..
Masihkah harus memohon lebih apa yg tersuguhkan dari`Mu..
Dan masihkah harus melengkapi memenuhi segala hawa nafsu itu...

Ilahii Rabbi…
Kau selalu ada saat dibutuhkan dan tidak...
Saat manusia melupakan apa yg Kau beri..
Saat manusia hilang ingatan bahwa semua tersedia untuknya dari`Nya....
Saat manusia alpha tak mengingat pemberiannya berasal dari mana sumber`Nya..

Rabb…
Kau selalu ada saat dibutuhkan dan tidak...
ketika ia sadar bahwa rezeki hanya kuasa`Nya..
Ketika ia meyakini bahwa takdir sudah dalam aturan`Nya..
Ketika ia insyaf bahwa ia hidup sudah dalam matematika hitungan`Nya..

Apapun keberadaan insani ..
Apapun kekhilafan insani..
Apapun kesadaran insani...
Kau selalu ada saat dibutuhkan dan tidak dibutuhkan...
Kau ada saat iman dan taqwa insani jatuh terperosok..
Dan Kau selalu hadir dlm iman dan taqwa itu membumbung tinggi...

Rabb...
Ada dan tiadanya Engkau adalah bukti kekuasaan atas kuasa`Mu..
Ada dan tiadanya Engkau adalah suatu kebenaran yang menyalahi ketidak benaran..
Ada dan tiadanya Engkau adalah saat semua melupakan bahwa kau memang ada...

Adanya Engkau karena bukti kehidupan insan manusia..
Adanya Engkau karena cinta`Mu pada insan makhluk yang tercipta karena..
Kau ada saat dibutuhkan dan tidak.....

DIA tidak pernah melupakan`mu..
DIA tidak pernah alpha dari`mu..
DIA tidak pernah lupa akan hamba-hamba`Nya..
Sekali lagi..
DIA selalu ada bila kau lupa atau tidak lupa bahwa..
DIA memang ada diantara kita dan makhluk-makhluk lainnya…

Wahai Makhluk…, ”Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan, Dan gunung-gunung sebagai pasak?, Dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan,dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat,d an Kami jadikan malam sebagai pakaian, dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan, dan Kami bina di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh, dan Kami jadikan pelita yang amat terang (matahari), dan Kami turunkan dari awan air yang tercurah,supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan,dan kebun-kebun yang lebat?..(QS. an-Naba' (78) : 6-16)

Sadarlah wahai makhluk…bahwa, “…Sesungguhnya Hari Keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan, yaitu suatu hari (yang pada waktu itu) ditiup sangkakala lalu kamu datang berkelompok-kelompok, dan dibukakan langit, maka terdapatlah beberapa pintu, dan dijalankanlah gunung-gunung maka menjadi fatamorganalah ia. Sesungguhnya neraka Jahannam itu (padanya) ada tempat pengintai, lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang 'MELAMPAUI BATAS', mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya, mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang mendidih dan nanah, sebagai pembalasan yang setimpal. Sesungguhnya mereka tidak takut kepada hisab, dan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dengan sesungguh-sungguhnya. Dan segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu kitab. Karena itu rasakanlah. Dan Kami sekali-kali tidak akan menambah kepada kamu selain daripada azab.” (QS. an-Naba' (78) : 17-30)

Dan…”..Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa mendapat kemenangan, (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur,.." (QS. an-Naba' (78) : 31,32)

Dan..”..Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula perkataan) dusta. Sebagai balasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak,”..(QS. an-Naba' (78) : 35,36)

Dan..”Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata: "Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah". QS. an-Naba' (78) : 40)..

Janganlah berlebih mengingat yang tidak bisa menolong`mu..
Janganlah melampaui batas yang bukan haq atas hidup`mu..
Istiqomahlah dalam mengingat`Nya dalam susah, senang, sedih...dan sendu...Amin..

Subahanallah walhamdulilah wala ilah ha illahallah allahu akbar ….

0 LATHIIFAH-LATHIIFAH


Malam hening....
tanpa hujan setetes butir air menghampiriku
cericit burung menghampiriku tanpa ia ada di dekatku
keduanya menyapaku dengan sapaan Zulaikha kepada Yusuf

Hai engkau sahabat
mari menari diatas pelangi yang merangkai tujuh asma cahaya mulia
salaam, 'aliim, haliim, hakam, adzhiim, kariim, muqoddim
dan

degup Allah....Allah...Allah....menjadi rempak menambah kudus gemulai mega tujuh rupa

Ah ! tak ada gemuruh diujung tarian ini
sampai Kau membimbingku bak seorang resi yang bersimpuh pada kaki dengan hati

Dalam Lathiifah Qolbiyyah aku mati membawa mata yang buta, lidah yg kelu dan telinga yang tak meraba
Amboi....
aku bak seonggok golek ditangan sang dalang
yang tak berapa lama kemudian....
Kau bangkitkan aku....Kau bimbing aku pada Lathiifah Ruuhiyyah dan Kau letakkan nestapaku pada bingkai Hayat-Mu

Amboi...
ada getar cinta Majnun pada Layla
ada getar kerinduan Layla pada Majnun
disaat Kau rebahkan diri ini pada hamparan Lathiifah Sirriyyah

Allaaaaaahhhh........!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
ku teriakkan asma' itu menembus cakrawala
dan.....
menjadi hening ...bening...tatkala Kau pindahkan aku di kedalam Lathiifah Akhfaa'
tak ada isi, tak
tak ada bahasa, tak
tak ada kata, tak
disini

Amboi....
fana', baqo', baqo', fana', fana', baqo'.....membawaku
membawaku pada kelindan Farqu, Jam'u
pada kelindan Jam'u, Farqu

2 Tiga Kiai Pelacur


By: Emelham

Kyai Khoiron, sudah populer sebagai kiainya para pelacur di Surabaya. Sehari-hari ia menjadi guru ngaji, konsultasn psikhologi dan bapak, kakak, sahabat yang sangat akrab dengan gemuruh jiwa para pelacur yang bergolak. Dua puluh tahun silam, diam-diam ia dirikan sebuah pesantren di komplek pelacuran terbesar di Surabaya. Dan saat ini ada tujuh ratus anak-anak pelacur itu nyantri di pesantrennya.

Jika senja mulai tiba, gincu-gincu mengoles bibir para pelacur itu, dengan segala sapaan manja pada hidung belang, sementara suara musik keras mendentang memenuhi komplek pelacuran itu, di sudut komplek pelacuran itu terdengar suara bocah-bocah mengaji, meneriakkan shalawat Nabi dan berzanji (rawi; red) . Keduanya berjalan damai. “Saya tidak pernah melarang mereka melacur. Saya juga tidak memarahi mereka. Saya hanya menyiapkan ruang jiwa mereka. Sebab mereka melacur paling lama sepuluh tahun. Setelah? Mereka pasti berhenti. Mereka perlu kesiapan mental, keimanan dan sikap optimis kepada Tuhan,” katanya.
“Pesantren anda ini?” “Memang, pesantren ini saya konsentrasikan untuk membina anak-anak mereka yang tak berdosa. Mereka harus tumbuh dengan jiwa yang merdeka, tanpa konflik, tanpa masa lalu dan trauma-trauma.”


Lain lagi dengan seorang Kiai di dekat kota Madiun. Kiai Madun, sudah dikenal sebagai seorang kiai Thariqat dengan jama’ah ribuan. Suatu hari ia tertimpa gejala psikhologi yang begitu aneh: Rasa takut mati yang berlebihan. Selama enam bulan ia terus menerus menangis, seakan-akan Malaikat Maut membuntutinya. Ia juga heran kenapa harus takut mati ? Saking takutnya, Kiai Madun mendatangi guru Mursyidnya. Dengan serta merta gurunya menyambut dengan sambutan yang cukup kontroversial. “Soal penyakitmu itu gampang obatnya. Mulai besok kamu pergi saja setiap hari ke komplek pelacuran!”

“Bagaimana pak Kiai ini, kok saya malah harus main-main dengan pelacur. Apakah ini tidak bertentangan dengan syari’at?” kata Kiai Madun dalam hatinya. Belum sempat ia meneruskan fantasinya, gurunya sudah memotong: “Dun!, Lihatlah mulutku ini!” Begitu melihat mulut gurunya, yang tampak adalah lautan luas tak bertepi. Kyai Madun hanya terperangah. Diam-diam ia menyesal. Kenapa soal-soal hakikat kehidupan harus ia pertanyakan lewat syariat kepada gurunya? Diam-diam pula hatinya menangis. Tapi juga muncul rasa ngeri, kenapa harus main-main dengan pelacur?

Tapi Kyai Madun tidak mau membantah perintah gurunya. Pagi-pagi Kiai ini sudah menghilang dari rumahnya. Ia cari komplek pelacuran yang jauh dari daerahnya.
"Jalan penyembuhan” ini ia lakukan hampir setiap hari, sampai pelacur seluruh komplek itu kenal benar dengan Kyai Madun. Bahkan kadang, seharian penuh ia berada di tengah para perempuan penghibur itu, sambil mengingat-ingat, apakah rahasia dibalik perintah gurunya itu.

Suatu pagi, ketika ia datang ke komplek langganannya, tiba-tiba ada kakek-kakek tua, baru saja keluar dari sebuah kamar pelacur. Ia sangat kaget, melihat kakek yang sudah uzur, dan mendekati ajal itu, masih sempat ke komplek pelacuran. Bahkan dengan wajah berseri, riang gembira, layaknya anak muda, sang kakek penuh percaya diri layaknya anak muda. “Iya, ya. Kakek ini sudah tua renta, kok tidak takut mati. Bahkan ia jalani kehidupan tanpa beban. Saya yang masih muda kok takut mati. Kualitas iman macam apa yang saya miliki ini?” kata Kiai Madun dalalam hati.

Dengan wajah terangguk-angguk, Kiai Madun merasa mendapat pelajaran dari Kakek tua renta itu. Dan seketika pula rasa takut matinya hilang begitu saja. Sembuh!

0 WACANA SENI ISLAM: MUSIK, RELIGIUSITAS DAN SPRITUALITAS

Perdebatan tentang boleh tidaknya musik dalam Islam telah berlangsung lama. Secara perdebatan-perdebatan tersebut lebih banyak didasarkan atas hadis-hadis tertentu, yang bilangannya tidak cukup besar. Padahal tidak kalah besar pula bilangan hadis yang membolehkan penggunaan musik dan seni suara, baik dalam rangka syiar Islam maupun dalam rangka perkembangan kebudayaan Islam. Di tengah pertentangan dan perdebatan itu pula muncul kecenderungan ekstrim, dalam arti langsung menetapkan halal dan haramnya seni dalam Islam, termasuk musik dan seni suara. Berkaitan dengan sikap seperti itu, tidak sedikit orang lupa bahwa hukum Islam tidak hanya berada di antara dua kutub yang berlawanan, yaitu halal dan haram. Di antara keduanya terdapat kutub-kutub lain seperti sunnah, mubah dan makruh.

Kecuali itu ada kecenderungan yang umum dalam masyarakat, yaitu sangkaan bahwa yang disebut ‘seni’ itu ialah musik dan lagu-lagu hiburan, serta seni popular lainnya. Karena ketiadaan pengetahuan tentang seni dan estetika serta sejarah seni, khususnya sejarah seni Islam, maka apabila berbicara tentang seni Islam yang lazim dijadikan titik tolak ialah pengalaman dan pengetahuannya yang terbatas itu. Mereka lupa bahwa khazanah seni Islam -- kesusastraan, seni rupa, arsitektur, seni musik dan seni suaranya, serta ragam estetikanya – sedemikian kaya.

Karangan ini ditulis dengan tujuan memberikan apresiasi tentang seni musik dan suara dalam peradaban Islam. Sebelum membicarakan perdebatan berkenaan dengan boleh tidaknya musik dalam Islam, akan dikemukakan dulu bahwa pertentangan atau perdebatan yang timbul selama ini tidak menyangkut persoalan intrinsik musik itu sendiri. Melainkan berkenaan dengan pengertian tentang musik, sebagai seni atau sekadar ungkapan kesedihan dan hura-hura. Dalam sejarah Islam, untuk menyebut musik seperti yang diartikan sekarang ini, digunakan perkataan handasah al-sawt yang artinya ialah seni suara atau nyanyian. Sedangkan istilah al-musiqa (musik) digunakan untuk menyebut segala jenis musik bersifat hiburan (entertainment, pelipur lara). Sedangkan lagu atau nyanyian hiburan lazim disebut al-ghina’.

Yang terakhir ini secara umum merujuk pada musik atau nyanyian profan, yang tidak punya kaitan langsung dengan kehidupan keagamaan. Bahkan pada masa awal digunakan untuk menyebut nyanyian yang diiringi musik untuk memanggil jin atau roh halus sebagaimana dilakukan ahli-ahli sihir Arab jahiliyah atau dukun-dukun Yahudi yang disebut kahin. Misalnya seperti dilakukan orang-orang Arab Utara sebelum datangnya Islam, dalam upacara mengelilingi batu suci (nushb) yang dimeriahkan dengan nyanyian keagamaan yang disebut nashb (Farmer 1988).


Tradisi yang berkaitan dengan penggunaan musik dan nyanyian dlam upacara memanggil jin atau kekuatan gaib dapat dibaca dalam kitab `Iqd al-farid (abad ke-10 M). Di situ dikisahkan juga bagaimana Nabi Daud a.s. memainkan mi’zaf, alat musik sejenis harpa, untuk menyaingi kemahiran dukun-dukun Yahudi dalam memanggil setan melalui musik dan nyanyian. Berdasarkan cerita ini maka sampai sekarang seorang pemain musik disebut `azzaf.

Musik dan Handasah
Ismail dan Lois Lamnya al-Faruqi (1992:463-501) mengatakan bahwa musik yang diterima dalam Islam, yang disebut handasah al-sawt (selanjutnya ‘handasah’ saja) ialah seni yang dipandang sebagai pernyataan estetik yang bersumber dari tradisi Islam, yang kaidah dan pelaksanaannya berakar dalam estetika al-Qur’an atau seruan al-Qur’an. Bagaimana kita memahami seni suara dan musik yang demikian? Pertama, dengan cara melihatnya dari sudut pandang sosiologi; dan kedua, melihatnya dari sudut pandang teori, yaitu sistem estetikanya sendiri.

Secara sosiologis, seni yang diterima dalam istiadat Islam ialah seni yang mengakibatkan pelaku dan menikmatnya memandangnya dan mempergunakannya dengan cara-cara unik dan khusus Islami. Ini berkenaan antara lain deengan cara-cara penyajiannya. Seni suara dan bunyi digunakan dalam salat, upacara keagamaan dan
majlis-majlis di luar itu dapat dimasukkan ke dalam handasah. Misalnya bacaan ayat suci dan doa dalam salat, seruan azan, takbir, tahmid, zikir, wirid, tahlil, tilawah dan qira’a atau pembacaan ayat suci al-Qur’an yang dilagukan seindah dan semerdu mungkin dan lain-lain. Secara estetik pola nada dan lagu dari seni-seni yang telah
disebutkan ini bersumber dari pola musik dan nada ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri, begitu pula cara penyajiannya dimaksudkan untuk menghidupkan suasana keagamaan.

Di luar handasah semacam ini terdapat nyanyian yang tema syairnya bersifat keagamaan seperti qasida, ghazal (di Iran), nefes dan sugul (Turki), muwashshah dini (Maroko), nasyid dan marawis (Asia Tenggara) dan lain-lain. Atau handasah yang perannya memberikan suasana keagamaan, misalnya inprovisasi bunyi atau intrumentalia dan improvisasi vokal seperti taqasim, layali dan qasidah di Turki, awaz di Iran, shakl di Afghanistan, sayil dan baqat di Indonesia dan Malaysia.

Secara umum handasah atau musik dan seni suara yang diterima dalam Islam dapat dibagi menurut keperluan dan tatanan estetiknya sebagai berikut:

1. Jenis seni suara yang sepenuhnya tunduk pada estetika al-Qur`an seperti tilawah, qira’ah dan lain-lain. Karena berkaitan langsung dengan penyampaian wahyu ilahi maka seni semacam ini menempati urutan pertama dalam kehidupan estetis kaum Muslimin

2. Urutan berikutnya ialah handasah yang berkitan dengan seruan salat dan ibadah seperti azan; atau yang dimaksud sebagai bagian dari ibadah seperti tahmid, takbir, zikir, wirid dan lain-lain. Puncak dari jenis handasah seperti ini ialah sama’, konser keruhanian sufi yang dilengkapi dengan orkestra, pembacaan puisi dan gerak tari tertentu. Pembacaan Kasidah Burdah, Kasidah Barzanji, Rampai Maulid (di kalangan orang Melayu) dan lain-lain, yang dinyanyikan dengan indah dan sering disertai iringan musik, termasuk dalam urutan ini sebab isinya adalah lantunan puji-pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan karenanya mengandung seruan ibadah.

Dalam kenyataan pembacaan kasidah semacam ini bermula dari kaum sufi dan memainkan peranan penting dalam penyebaran agama Islam di Asia Barat, Asia Tengah, India, Asia Tenggara dan Afrika. Pembacaan Salawat Badar yang dinyanyikan dengan indah termasuk pula di dalamnya.

3. Urutan ketiga ialah seni improvisasi bunyi dari alat musik tertentu atau instrumentalia dan suara. Misalnya seperti dilakukan dalam sama’, atau pemukulan rebana dalam upacara keagamaan dan kemasyarakatan. Misalnya seni Rebana Biang dan banyak jenis seperti itu ditemukan dalam kehidupan masyarakat Muslim.

4. Lagu-lagu dengan tema keagamaan, perjuangan menegakkan agama; lagu-lagu dengan tema falsafah atau tema keislaman secara umum. Tari Seudati yang heroik di Aceh, yang dahulunya disertai pembacaan Hikayat Perang Sabil, termasuk dalam jenis ini.

5. Musik atau nyanyian hiburan (al-ghina’) yang mengandung unsur pendidikan dan tidak mendorong pendengarnya untuk melalaikan kewajiban agama.

Melalui penjelasan ini kita dapat memahami bahwa, walaupun terdapat sejumlah ulama yang keberatan terhadap musik, akan tetapi musik dan seni suara ternyata berkembang marak dalam sejarah kebudayaan Islam. Tepat seperti dikatakan Seyyed Hossein Nasr (1993:165) bahwa yang diperlukan orang untuk menyadari pentingnya musik dalam kehidupan orang Islam ialah hanya kesediaan mempelajari sejarah kebudayaan dan sosial Islam. Pada masa pemerintahan Umayyah (654-750 M), beberapa kota kaum Muslimin seperti Madinah dan Damaskus telah merupakan pusat kegiatan seni musik yang penting di Asia Barat.

Musik dan seni suara semakin marak pada zaman Abbasiyah (750-1256 M) yang memerintah di Baghdad, perkembangan yang diikuti pula di Andalusia pada masa yang sama. Pada masa itu para sultan, amir, bangsawan, filosof, cendekiawan dan sufi terkemuka tampil ke depan sebagai pelindung, penggalak dan penjaja kegiatan seni musik dan suara. Begitu pula pada zaman-zaman sesudahnya, ketika wilayah penyebaran agama Islam semakin luas meliputi hampir separuh benua Afrika di Barat dan sebagian negeri Cina, kepulauan Melayu Nusantara di Asia Tenggara. Lebih jauh Ismail R. Al-Faruqi (1992) mengemukakan daftar yang cukup panjang tentang tokoh-tokoh yang aktif menulis risalah dan buku berkenaan dengan musik dan seni suara di kalangan filosof, ulama, sastrawan, budayawan dan ahli tasawuf sejak abad ke-9 hingga abad ke-19 M. Semua itu menambah bukti bahwa orang-orang Islam memberi perhatian besar pada musik, dan bahkan teori musik yang dikemukakan mereka berpengaruh bukan saja di kalangan orang Islam, tetapi juga di Eropah dan India.

Buku-buku yang ditulis para cendekiawan Muslim itu mencakup masalah pengertian yang luas tentang musik, asas-asas estetika Islam, teori musik, uraian tentang instrumen musik dan penggunaannya, tilawah dan qira’ah, tata tertib sama’ (konser musik keruhanian), puisi karya para penyair terkenal yang telah dinyanyikan dan dibuatkan lagunya, dan lain sebagainya.

Di antara tokoh-tokoh terkenal yang menulis buku tentang peranan penting musik dalam kehidupan ialah Ibn Kurdadhbih, Ibn al-Qutaybah, al-Jahiz, al-Kindi (abad ke-9 M); Al-Farabi, al-Isfahani, al-Khwarizmi, Mas’udi (abad ke-10 M), al-Sulami, Imam al-Ghazali, al-Zamaksyari (abad ke-11 M), Ibn `Arabi, Ibn Khalliqan, Suhrawardi, Ruzbihan al-Baqli, Jalaluddin Rumi (abad ke-12 dan 13 M). Buku tentang musik juga tetap ditulis pada abad-abad selanjutnya.

Di antara penulis abad ke-19 yang teorinya masih berpengaruh hingga kini ialah al-Bulaqi dari Kairo menulis tentang adab menyanyi dan menggunakan instrumen dan Masaqah dari Damaskus yang menulis teori Musik; al-Hijazi dari Mesir yang menulis teori musik dan al-Alawi dari Maroko yang menulis tentang tatatertib sama’, konser keruhanian sufi.

Di Jawa para wali abad ke15 dan 16 M, juga membangun teori musik dan estetika Islam. Yang terkenal di antaranya ialah Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Dengan menerapkan asas-asas estetika sufi ke dalam penggunaan instrumen gamelan, Sunan Bonang umpamanya berhasil menjadikan gamelan sebagai sarana kontemplasi (tafakur) dan pembebasan jiwa (tajarrud) dari kungkungan dunia material. Lantas sejak itu gamelan Jawa dan Madura berbeda dari gamelan Bali, yang bertahan sebagai gamelan Hindu.

Maraknya kegiatan musik di kalangan orang Islam di Barat maupun di Timur dapat dilihat betapa dalam setiap perayaan keagamaan dan upacara kemasyarakatan tidak
pernah tidak disertai nyanyian dan musik. Pada bulan Ramadhan hampir di seluruh negeri Islam terdapat kebiasaan membangunkan orang untuk bersahur dengan menggunakan musik dan nyanyian. Sejak lama pula setiap pemberangkatan tentara Islam menuju medan perang selalu diiringi bunyi-bunyian yang menggugah keberanian. Salah satu musik militer yang terkenal di dunia adalah Mars Turki, yang dicipta pada masa kekuasaan Bani Usmaniah abad ke-15 sampai 19 M.

Semua itu telah menjawab keraguan sebagian orang bahwa musik sukar berkembang dalam Islam karena adanya semacam larangan. Dalam menjawab keraguan itu pula Seyyed Hossein Nasr (1992:168) mengemukakan bahwa “sebaiknya persoalan-persoalan yang berhubungan dengan musik dicari dalam tasawuf dan falsafah; sebab persoalan tentang arti penting musik bukanlah persoalan hukum atau fiqih, melainkan berkenaan dengan psikologi dan keruhanian yang merupakan lapangan pembahasan ahli tasawuf dan filosof.”

Di antara arti penting musik dalam kehidupan dikemukakan oleh Ruzbihan al-Baqli dalam bukunya Risalat al-Quds. Menurut Ruzbihan al-Baqli musik keruhanian mampu
membantu jiwa mempertahankan kelangsungannya, sebab ia merupakan makanan yang sehat bagi jiwa. Musik berperan menentramkan pikiran dan membebaskannya dari beban dunia, serta memberi hiburan. Ia adalah perangsang mata hati untuk menyaksikan rahasia ketuhanan. Bagi sementara orang, musik merupakan godaan dan gangguan disebabkan ketidaksempurnaan jiwa mereka sendiri. Sedangkan bagi orang lan, yang telah mencapai kesempurnaan jiwa, musik merupakan perumpamaan dan tangga naik menuju alam malakut. Peranan penting musik yang lain, menurut Ruzbihan, adalah tajarrud, membebaskan jiwa dari hal-hal yang bersifat material melalui yang material itu sendiri, yaitu menjadikan nada, irama dan bunyi yang berasal dari alam dunia.

Kendati demikian kita juga tidak dapat mengabaikan begitu saja adanya pertentangan pendapat seperti sering kita dengar. Bagaimana sebenarnya duduk persoalannya dan apa dasar yang membuat larangan terhadap musik berkembang dalam kehidupan orang Islam?


By: Dr. Abdul Hadi W. M.

1 MENGENAL PANJALU (1); PANJALU JAMAN KUNO


By: R.Harris. Cakradinata, SE

Sejak jaman purba, masa-masa awal pengaruh Hindu, di Panjalu telah berdiri suatu Kerajaan dengan pusat pemerintahan di Karantenan, suatu daratan di lereng Gunung
Syawal, sekitar 7 km arah selatan Kota Panjalu sekarang. Pendiri kerajaan ini adalah tokoh leluhur Panjalu bernama Prabu Batara Tisnajati, beliau dikenal dengan sebagai seorang raja yang berilmu tinggi, mengajarkan “Sajatining Hirup” dan “Sajatining Manusa”, mengupas tentang hakikat manusia dan alam lingkungan serta bagaimana manusia harus hidup di dunia berdasarkan jatidirinya itu. Pada awal pendiriannya Kerajaan Karantenan lebih bersifat Padepokan (perguruan) tempat orang menuntut ilmu dan syi’ar keagamaan yang diajarkan Prabu Batara Tisnajati dan sebagai pusat kegiatan politis.

Sepeninggal Prabu Batara Tisnajati dikenal beberapa tokoh terkemuka penguasa Kerajaan ini seperti: Batara Raya, Karimun Putih, Marangga Sakti, hingga kemudian
Prabu Rangga Gumilang.

Dalam pada itu di gunung Bitung bertahta Ratu Galuh Pusaka bernama Prabu Sanghyang Cipta Permana Dewa, Raja Galuh Nyakrawati Ing Nusa Jawa. Beliau memiliki tiga orang anak, ketiganya lahir di Ciriung Cipanjalu, salah satu putri dan dua orang putra yaitu: Sanghyang Ratu Permana Dewi, Sanghyang Ponggang Sang Rumahyang dan Sanghyang Bleg Tambleg Raja Gulingan. Ketiganya memiliki ilmu (ajaran) yang berbeda serta sepakat untuk mengembangkan ajaran-ajaran yang dimilikinya itu, khususnya di wilayah Kerajaan Galuh.


Ratu Ponggang Sang Rumahyang dengan Aji (ilmu) kedugalan dan kewedukan (kesaktian) pergi ke Telaga. Bleg Tambleg Raja Gulingan dengan Aji (ilmu) keduniawian (materialis) berangkat menuju Kuningan. Sedangkan Sanghyang Ratu Permanadewi dengan membawa Aji (ilmu) kerahayuan tinggal di Panjalu.

Di Panjalu, Ratu Permanadewi diperistri oleh Prabu Rangga Gumilang, pemegang tahta Kerajaan Panjalu lama di Karantenan Gunung Syawal. Dengan hubungan perkawinan itu, bertemulah nila-nilai ajaran-ajaran Galuh Pusaka dengan nilai-nilai ajaran Panjalu lama yang dirintis Prabu Batara Tisnajati diatas.

Bersama Prabu Rangga Gumilang, Ratu Permanadewi kemudian memindahkan Ibu Kota Kerajaannya dari Karantenan (Batu Datar Gunung Syawal) ke Citatah Dayeuh Luhur Panjalu5 km araj utara Kota Panjalu sekarang. Pemindahan Ibu Kota Kerajaan tersebut didaarkan atas pertimbangan untuk mengembangkan erajaan, termasuk upaya dalam menjalin kerjasama luar, seperti dengan Talaga, Kuningan, Cirebon, Kawali dan Bojong Ciamis.

Bersama dengan pemindahan Ibu Kota Kerajaan Panjalu diatas mulailah Ratu Permanadewi merintis dan membangun tatanan Kerajaan baru dengan meletakkan dasar-dasar Kerahayuan sebagai pedoman hidup warga dan Filsafat Kerajaan. Kerajaan inilah yang kemudian dinamakan Kerajaan Soko Galuh Panjalu, dengan Ibu Kota Kerajaan ini Dayeuh Luhur terletak didataran tinggi diatas Kota Panjalu sekarang.

Dikenal 3 (tiga) bagian Kerajaan Galuh yakni Soko Galuh (Panjalu Kawali), Galuh Tengah (Bojong Ciamis) dan Sirah Galuh (Bagalo, Kalipucang, Ciamis Selatan). Identitas Ratu Permanadewi dengan ajaran Kerahayuannya itu antara lain tertulis pada Prasasti Wangsit Sanghyang Ratu Permanadewi di Nusa Gede Situ Lengkong Panjalu. Pada Prasasti Wangsit tersebut tertulis:

“Sing Hirup Hayodyaning Gusti Samawing Hanung Raratu Pramanadewi Sang Nunggal Sumara Bumi, Kawiwitan Putra Saka Galuh, Bagja Hamuyut Nuka, Sing Sirah Makaliung, Hanurata Cungcurap Laras, Cewang Ka Kabeh Hincu, Matang Aji Sakaning Dunya, Titis Bumi Panjalu Hanyakraning Dewi, Suga, Laras, Mulya.”

Sepeninggal Ratu Permanadewi, dan Prabu Rangga Gumilang, ajaran Karahayuan kemudian dikukuhkan menjadi papagon oleh putranya yang bernama Prabu Sanghyang Sampulur. Raja Panjalu Luhur atau yang kemudian disebagai “Prabu Lembu Sampulur I”. Sejak itu ajaran Karahayuan juga disebut ajaran Ka-Panjaluan.

Masa keemasan Kerajaan diperoleh ketika tahta dipegang oleh puteranya Lembu Sampulur I yang bernama Prabu Sanghyang Cakradewa, raja yang terkenal arif bijaksana, teguh melaksanakan Papagon atau Ajaran Karahayuan, serta memiliki kemampuan membaca tanda-tanda jaman menangkap firasat hal-hal yang bakal terjadi (weruh sadurung winara, waspada permana tinggal). Sebagai Raja linuhung (berilmu tinggi) dan Pinandita (bersifat Wiku) ia berpendirian, bahwa tujuan hidup manusia memperoleh keselamatan dan kesejahteraan hidup yang hakiki (sejati) pula, adalah suatu kewajiban warga Panjalu untuk memiliki ilmu tersebut, bukan hanya untuk dipahami dan diyakini, melainkan harus digunakan dalam kehidupan, ia harus membagi dalam diri dan dilakukan dalam perbuatan (Pakena Gawe Rahayu).

Prabu Sanghyang Cakradewa adalah Raja yang menaruh perhatian besar terhadap nasib generasi mendatang supaya mensejahterakan rakyatnya dipandang sebagai kesejahteraan yang langgeng sepnkang masa, dari generasike generasi. Karena itu ia mendambakan tahta kerajaan nanti dipegang oleh orang yang memiliki ilmu yang berguna bagi kesejahteraan generasi dikemudian hari.

 
© 2010 SUFI UNDERGROUND powered by Blogger
Template by Fresh Blogger Templates | Blogger Tutorial | Re-Designed by: X-Lab Project