Umumnya kegitan bertapa atau bermeditasi itu dilakukan ditempat sunyi, di gunung, di gua, di pedesaan, atau di tempat-tempat yang terisolasi dari hubungan dengan manusia lain. Berbagai tempat sepi itu dipilih karena disanalah, menurut anggapan yang galib, orang bisa mengkonsentrasikan pikiran, beribadah secara khusyuk, dan memiliki gagasan-gagasan segar. Di wilayah seperti inilah dan dilokasi yang jauh dari keramaian, sekali lagi berdasar keyakinan beberapa orang, keintiman dan kedekatan dengan Tuhan bisa tercipta.
Persoalan muncul ketika pemilihan tempat yang “terasing”itu dihadapkan dengan peran manusia sebagai makhluk sosial. Posisi itu menuntut mereka untuk selalu berkomunikasi dengan sesamanya. Bahkan, ada jenis komunitas masyarakat tertentu yang detik demi detik dari kehidupannya merupakan proses komunikasi sosial. Komunikasi baginya adalah profesi, pekerjaan, penghidupan, sesuatu yang mesti dilakukan, sine qua non, untuk menyambung eksistensinya. Pada situasi seperti ini, akankah ‘menyepi” menjadi kegiatan yang perlu? Pertanyaan yang lain yang cukup penting adalah, apakah kadar kekhusyukan dan ketekwaan seseorang ditentukan oleh tempat dan situasi? Apakah kita tidak bisa bertapa di tempat yang ramai (tapa ing rame) ?
Memang, secara spiritual pada saat-saat tertentu manusia perlu melakukan disengagement atau melepaskan diri dari kehidupan sehari-hari, supaya manusia membuat jarak lagi dengannya dan kita bisa melihat kehidupan dengan lebih benar. Inilah diantaranya kenapa nabi memberi perintah untuk melakukan zikir, i’tikaf, dan beliau sendiri pernah melakukan khalwat di gua Hira. Ini pula mengapa Rasul SAW memerintahkan umatnya untuk melakukan tahajud dimalam yang sunyi, fatahajjad bihi nafilatan laka (bertahajudlah kamu sebagai suatu hal yang terpuji untukmu). Ini pula yang diajarkan oleh Al-Ghazali dengan konsep uzlah. Maksud dari tahajud, ‘uzlah, dzikir, dan i’tikaf adalah bahwa pada saat-saat tertentu manusia harus disengaged dari kehidupan sehari-hari supaya ia mampu merekonstruksi keadaan dengan lebih jujur dan objektif. Seperti kalau kita ingin tahu rumah kita, ya kita keluar dulu sebentar, lalu kita lihat dari luar.
Islam sebagai agama tidak hanya menerangkan ibadah yang bersifat individual, ia justru lebih berkonsentrasi pada transformasi sosial. Karenanya, sebuah ritus personal dan ajaran spiritual dalam Islam tidak akan pernah bisa dipisahkan dari konteks keduniaan. Peformasi yang dibawa bersamaan dengan kehadiran Muhammad hendak menolak penekanan ajaran spiritual, separti zikir, i’tikaf, tahajud, yang berhenti pada pengalaman batin atau “pertemuan“ dengan Tuhan. Sementara pertanyaan, “setelah bertemu Tuhan, what shall we do next?” tidak diperhatikan. Tasawuf Islam bukan tasawuf aksesif, maka setelah melakukan disengagement atau setelah keluar dari rumah, manusia harus kembali lagi kerumahnya dan membangun kehidupan yang sejahtera. Dan lebih penting dari itu, aktualitas makna spiritual mesti lebih berarti bagi pengembangan nilai kemanusiaan.
Ketika Allah menjabarkan tanda-tanda umat yang menyertai Baginda Rasul Muhammad, Allah menggambarkan dengan kalimat: “tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.” (Q.S. Al-Fath (48): 29)
Bahwa yang dimaksud dengan "min-atsaris sujud" sebagai bukti bahwa seseorang banyak beribadah kepada Allah bukanlah bekas luka hitam pada kepala karena seringnya jidat “digosokkan” ke sajadah. Tapi yang dimaksud dengan "atsaris sujud" bagi orang yang banyak bersembayang adalah dalam bentuk konkret, seperti, bangunan, karya tulis, pemikiran dan sebagainya.
Sekali lagi. Jika kita telisik hikmah ibadah dalam Islam adalah sarana pendidikan Ilahi untuk menanamkan tanggungjawab pribadi. Pengertian "tanggungjawab" itu sendiri mengisyaratkan adanya aspek sosial dalam perwujudan pada kehidupan nyata di dunia ini. Oleh karena itu para ulama senantiasa menekankan bahwa salah satu hikmah ibadah ritual ialah penanaman rasa solidaritas sosial. Dengan mudah hal itu dibuktikan dalam kenyataan bahwa ibadah ritual selalu disertai dengan anjuran untuk berbuat baik sebanyak-banyaknya, terutama perbuatan baik dalam bentuk tindakan menolong meringankan beban kaum fakir miskin, yaitu zakat, sedekah, infaq, dll.
Kalau perhatikan lebih dalam lagi penjelasan diatas nyatalah bahwa Allah memang “tinggal” bersama mereka; para fakir-miskin dan sebagai khalifah-Nya kitapun wajib tinggal bersama mereka, memperhatikan nasib bahkan sehidup semati dengan mereka, persis seperti yang telah dilakoni Rasullah saw: “Carilah aku diantara orang-orang yang lemah diantara kalian!” Ya, kalau rasul sebagai manusia yang paling agung itu merupakan penjelmaan (locus/majla) Tuhan, kita memang harus mencari Tuhan diantara mereka, terutama di hari-hari bulan Ramadhan yang kita lalui.
Dalam sebuah ritus individual seringkali muncul sebuah “utopia” perjumpaan dengan Tuhan, sebuah ekstase spiritual. Dalam tradisi sufi hal ini sangat mungkin terjadi, namun seorang salik mesti waspada, sebab tak jarang setan menggoda manusia dengan mengaku bahwa dirinya adalah sosok Tuhan yang dicari salik. Kita tentu tidak ingin terjebak pada “pertemuan” dengan Tuhan yang semu. Sebab memang sangat tipis batas antara bertamu Tuhan dengan bertemu setan. Sebagai misal, tak jarang ajaran spiritual yang berkembang dimasyarakat menawarkan janji-janji untuk membawa manusia pada pengalaman batin atau kedamaian dalam “pertemuan’ dengan Tuhan. Dengan merenung, berdiam diri, dan berkonsenterasi, atau dengan tarian-tarian tertentu seorang peserta kelompok spiritual diajak untuk bersatu “dengan Tuhan. Sepertinya begitu mudah berjumpa Tuhan “hanya dengan menari”.
Ada berpuluh-puluh ajaran yang mirip dangan kejadian di atas, yang mengajak manusia “damai” bersama Tuhan. Alih-alih bertemu Tuhan, justru tidak menutup kemungkinan yang ia jumpai adalah setan yang mengaku Tuhan.
Meditasi Di Tengah Keramaian
By Unknown on Kamis, 22 April 2010
Suka dengan artikel ini? Silahkan bagikan.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.