Keberhasilan Sanghyang Prabu Borosngora membawa air zam-zam dalam gayung kerancang (bolong dan berlubang-lubang) secara penuh tanpa tercecer keluar, merupakaan ukuran keberhasilan beliau menimba ilmu sebagaimana yang disyaratkan ayahnya. Ilmu yang membawa keberhasilan itu adalah Ajaran Agama Islam. Ajaran Islam yang diperoleh adalah langsung dari Tanah Suci Makkah al Mukarromah, tidak melalui Iran, India atau (Gujarat) atau daerah kultur lain sebagai perantaran.
Pedang yang ia peroleh dari Baginda Ali r-a bertuliskan:
- Laa Fabasirta ‘Ali ya ‘Ali Adz-Dzulfiqor Wa ‘Ali Wasohbihi ajma’iin- Laa Saifa Illaa Dzulfiqoor
- La fata Illaa ‘Aliyy Karomallaahu Wajhahu
(Ini adalah Pedang miliki Sayyidina Ali Karromallaahu Wajhahu)
Diangkatnya Prabu Borosngora sebagi Raja Soko Galuh Panjalu, dan sekaligus sebagai Raja Islam pertama di Kerajaan itu oleh ayahnya Prabu Sanghyang Cakradewa disertai perintah memindahkan Ibu Kota Kerajaan dari Dayeuh Luhur, Legok Pasir Jambu (Situ Lengkong). Panjalu merupakan babak baru perikehidupan warga masyarakat Panjalu.
Ajaran Islam menjadi pedoman tingkah laku segenap aspek kehidupan, sejak Prabu Borosngora menetapkan Ajaran Islam sebagai pedoman dan Papagon Kerajaan. Syi’ar Islam dilakukan secara damai (Fentration Fasifique) dalam berbagi cara dari atas (keraton) ke bawah (warga masyarakat) baik melalui dakwah pendidikan dan pengajaran (perguruan, padepokan) maupun melalui struktur birokrasi serta langkah yang terakhir ini lebih efektif, karena disamping ajaran Kerahayuan mengandung dasar-dasar filosofis yang bersesuaian dengan Ajaran Islam, kesederhanaannya konsep-konsep ajaran Islam yang terintegrasi dalam praktek kehidupan merupakan petunjuk yang gampang dicerna warga (tidak rumit). Fleksibel dengan keunggulan-keunggulan tertentu yang dapat dialami langsung oleh warga.
Melalui jalur birokrasi pemerintahan, dibangun lembaga-lembaga yang dalam struktur dan fungsinya berlandaskan Ajaran Islam. Raja tidak diberdayakan sebagi manusia yang istimewa, figur yang otoriter, penguasa tunggal pemegang tahta dari langit, melainkan manusia biasa yang sederhana, zat yang memiliki hak dan kewajiban tertentu karena kemampuannya yang lebih dari yang lain.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan musyawarah disamping sebagai raja, beliau juga sebagi ulama yang memiliki kekayaan ilmu dengan kredibilitas tinggi di mata masyarakat Panjalu.Untuk kepentingan syi’ar Islam dan tatanan struktural pemerintahan, didampingi oleh Kampuh Jaya sebagai Ulama Kerajaan dan Bhumi Sakti (Kyai Jagabaya Dwisakti), segala hal yang berhubungan dengan keputusan-keputusan kerajaan diserahkan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan musyawarh (Babad Panjalu 1905).
Prabu Borosngora termaksud Raja yang sangat menghargai jasa dan perjuangan pendahulunya, dengan kreatif meneladani perjuangan leluhurnya itu. Pedang dan ciss pemberian Baginda Ali-r-a dimaknai symbol-simbol perjuangan, bukan hanya perjuangan untuk mendapatkan ajaran Agama Islam berikut benda-benda itu sebagi tanda mata, melainkan pula pemakaian Pedang dan Ciss sebagai alat Syi’ar Islam ditambah genta (lonceng kecil) yang bermakna musyawarah. 3 (tiga) barang tersebut dimakmanai sebagi benda Pusaka Panjalu (babad Panjalu 1905).
Ajaran Kerahayuan (Kepanjaluan) yang diajarkan leluhur Raja-raja Panjalu, digunakan oleh Prabu Borosngora sebagi jaringan Syi’ar Islam hingga kemudian mewujudkan papagon-papagon baru yang berlandaskan nilai-nilai kehidupan Islam, seperti:
A. “Mangan karana halal, Pake karana suci, Ucap lampah sabenere” (Makan-makanan yang halal, kepribadian yang berperilaku berdasarkan hati yang bersih/suci, perkataan dan perbuatan yang benar)
B. B. Uriwah (gorejat, kreatif, semangat tinggi)
–Uriyah (bodoh katotoloyo,pinter kabalinger)
- Matanya (kaum adma:laki-laki)
-Baganya(kaum hawa/wanita)
Artinya: Perilaku harus kreatif, inovatif dengan semangat kerja tinggi jangan bodoh dan kebelinger, antara laki-laki dan perempuan harus saling menghargai, saling asah-asih serta saling tolong menolong.Sesuai dengan petunjuk Baginda Ali r-a serta wejangan ayahnya yang berhubungan dengan kewajiban syi’ar yang integral menyeluruh bagi setiap umat.
Prabu Borosngora berniat turun tahta karena panggilan syi’ar Islam tersebut diatas. Beliau merencanakan pergi ke Jampang, Sukabumi dan kewilayah-wilayah lainnya di Tatar Sunda.Berdasarkan hasil kesepakatan musyawarah para tokoh terkemuka kerajaan, beliau menyerahkan tahta Kerajaan kepada anak sulungnnya Prabu Hariang Kuning, sedang adik Prabu Hariang Kuning yang bernama Prabu Hariang Kancana ikut menyertai beliau ke Jampang Sukabumi.
Dalam acara serah terima kerajaan ini beliau memberikan pesan-pesan kepada Warga Panjalu, terutama kepada pemegang tahta kerajaan mengenai pengalaman dari papagon-papagon yang telah disampaikannya itu. Khusus mengenai benda Pusaka Panjalu (Pedang, Ciss dan Genta/lonceng kecil) diamankan untuk dilestarikan maknanya, disimpan dan dirawat agar dapat diketahui oleh generasi mendatang, wujudnya mengenai benda pusaka itu beliau berpesan:
a. Siapa saja anak cucu aku ingin ziarah kepadaku nanti, tak perlu mencari makam aku, tapi cukup menyaksikan benda pusaka ini. Bukan aku menjelma pada benda ini, tetapi pikirkan benda pusaka itu tanda hasil perjuanganku mencari ilmu dan menyebarkan agama Islam.
b. Siapa saja anak cucu keturunanku nanti, yang hidup dan kehidupannya mengingkari Papagonku, maka ia tak akan selamat.
Demikian Prabu Borosngora akhirnya berangkat ke Jampang Manggung Sukabumi untuk memenuhi syi’ar Islam. Ditempat itu beliau dikenal sebagai Sanghyang Jampang Manggung. Dari Jampang Manggung beliau melanjutkan perjalanannya ke daerah Banten dan membuka perguruan di Pamarayan (Gebang) sehingga ia dikenal sebagai Sanghyang Pamarayan atau Syech Pamarayan.
Di Banten dalam wirid tersebut berturut-turut disebutkan Nabi Muhammad Rasulullah SAW, Abubakar Siddiq, Umar bin Khoththob, Usman bin ‘Affan, ‘Ali Bin Abi Thalib, Hasan-Husen, Syech Panjalu, Syech Abdul Qodir Jaelani dan sebagainya.
Prabu Borosngora juga datang ke daerah Pantai Utara Jawa Barat. Di wilayah Purwakarta dan Karawang beliau dikenal dengan nama Syeh Abdul Imam. Sepeninggalan Prabu Borosngora, Kerajaan Soko Galuh Panjalu berada dalam keadaan sugih mukti, makmur sejahtera sampai dengan terjadi kesalahpahaman antara Prabu Hariang Kuning sebagai Raja Panjalu dan adik kandungnya Prabu Hariang Kancana yang datang ke Panjalu atas undangan Raja mewakili ayahnya (Prabu Borosngora) di Jampang Sukabumi.
Pertentangan kakak beradik ini dapat dilerai atas prakarsa Ulama Kharismatik Kampuh Jaya atau yang kemudian dikenal sebagi Guru Aji, tangan kanan Prabu Borosngora. Akibat peristiwa itu Prabu Hariang Kuning turun tahta, digantikan oleh Prabu Hariang Kancana. Dibawah pemerintahan Prabu Hariang Kancana kerajaan mengalami masa keemasan, ia didampingi 2 penasehat yakni Guru Aji (Kampuh Jaya) dan Bhumi Sakti. Dua penasehat itu berperan memberi penyeimbangan menyeluruh dalam setiap kebijakan-kebijakan kerajaan.
Guru Aji (Kampuh Jaya) adalah seorang Ulama terkemuka yang membantu Prabu Borosngora dalam kegiatan syi’ar Islam di Jampang Sukabumi. Semula ia ditugaskan untuk melerai pertikaian antara Prabu Hariang Kuning dan adiknya Prabu Hariang Kancana serta memberi pertimbangan hukum untuk menentukan siapa yang bersalah untuk selanjutnya diberi wewenang memberi langkah tindakan seperlunya dengan suatu ketentuan yang bersalah harap dibawa serta dihadapkan kepada Prabu Borosngora di Jampang untuk diberi hukuman yang setimpal.
Dan bila PrabuHariang Kuning yang bersalah maka ia dinyatakan tidak layak memegang tahta kerajaan. Dalam pertikaian itu tak ada siapapun yang berani melerai, termasuk Senopati dan Patih kerajaan yang bernama Bhumi Sakti. Namun tatkala Kampuh Jaya hadir di arena pertikaian itu, serentak pertikaian terhenti, dua putra sang Prabu itu bersimpuh menyesali dan menyadari segala kekhilafannya, serta keduanya bersedia menerima hukuman.
Pertimbangan hukum dilakukan untuk mengambil putusan terhadap mereka yang keduanya mengaku bersalah itu. Dari sejumlah buku yang ada, akhirnya diputuskan Prabu Hariang Kuning yang bersalah, keputusan ini diterima semua pihak termasuk oleh Prabu Hariang Kuning yang dengan tulus hati ia mengundurkan diri dari tahta kerajaan yang digantikan adiknya Prabu Hariang Kancana, seorang putra mahkota yang berbakat, berbudi pekerti luhur, memiliki dedikasi tinggi terhadap kesejahteraan warga masyarakat.
Lebih dari seratus tahun Prabu Hariang Kancana memegang tahta kerajaan. Setelah meninggal ia dimakamkan
dipelataran Kraton Nusa Gede Situ Lengkong. Pengganti Prabu Hariang Kancana adalah putranya yang bernama Prabu Hariang Kuluk Kunang Teko yang setelah meninggal dimakamkan di Cilanglung Simpar Panjalu. Berturut-turut raja Panjalu yang memegang tahta kerajaan setelah Prabu Hariang Kuluk Kunang Teko adalah Prabu Hariang Kadali Kancana, Prabu Hariang Kada Cayut Martabaya, dan terakhir Prabu
Hariang Kunang Natanabaya.Pada sekitar tahun 1200 pemerintah Kerajaan Panjalu berakhir, setelah itu Kerajaan Panjalu berubah status sebagai Pemerintahan Kabupaten dibawah Kesultanan Cirebon. Prabu Hariang Kunang Natanabaya memiliki 3 orang putra yakni: Sembah Dalem Sumalah, Sembah Dalem Aria Sacanata alias GendaKerta alias Aria Salingsingan dan Sembah Dalem Dipanata. Berturut turut sebagai Dipati Panjalu adalah : Sembah Dalem Sumalah, Sembah Dalem Aria Sacanata Gandakerta (Aria Salingsingan), Dalem Wirabaya (putra Dalem Sumalah).
Dalem Wiradipa (putra Aria Sacanata), Dalem Cakranagara I (putera Dalem Wiradipa, cucu Aria Sacanata), Dalem Cakranagara II dan terakhir Dalem Cakranegara III. Dalem Cakra Nagara III lahir tahun 1765 diangkat jadi Bupati Panjalu tahun 1789, selanjutnya berhenti jadi Bupati tahun 1819. Setelah itu Panjalu berubah status jadi Distrik (Kewedanaan) di wilayah Kabupaten Ciamis.
Dalem Cakranagara III berputra 12 (dua belas) orang. Salah satu diantara putra bungsunya bernama Demang Prajadinata. Dia adalah pemilik Situ Lengkong terakhir sebelum berangkat ke Mekah dalam rangka menunaikan Ibadah Haji ia menjariahkan Situ Lengkong sebagia barang Nakulah, air dan ikannya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat Warga Panjalu dan keturunanya sebagi kuncen (pemegang kunci pengelola) ditunjukan Pemerintah Desa Panjalu. Demang Prajadinata sendiri meninggal di Mekah tahun 1908.
Situ Lengkong kini merupakan salah satu dari situs peninggalan Sejarah Panjalu, dimana Ibu kota Kerajaan Soko Galuh Panjalu masa lalu dibangun oleh pendirinya tokoh kharisamatik Raja Islam pertama yaitu Prabu Sanghyang Borosngora. Bukti sejarah dari perjuangan beliau dalam mencari, menyerap dan mengamalkan ajaran Islam adalah barang miliknya berupa benda Pusaka Panjalu yang disimpan di museum Bhumi Alit Panjalu diatas. Setiap akhir bulan Maulud Benda Pusaka ini digelar dalam upacara
peruwatan yang disebut Nyangku.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.