NATO dan Omdo
By Unknown on Kamis, 13 Mei 2010
By: SAMUEL MULIA
Saya baru selesai membaca sebuah artikel di sebuah majalah wanita, judulnya ”NATO a.k.a. Omdo”. Yang dimaksud NATO itu adalah no action talk only dan omdo itu adalah omong doang. Lucu artikelnya dan ”kena” banget buat saya. Beberapa hari sebelum membaca artikel itu, saya mendapat pesan lewat BlackBerry (BlackBerry Messenger/BBM) dari seorang teman, berbunyi seperti di bawah ini—sudah saya persingkat.
”Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang, tidak dapat mengekang diri, lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Allah, ... ” dan seterusnya, dan seterusnya. Kiriman BBM itu diakhiri dengan ajakan demikian. ”Mari kita renungkan satu per satu sikap di atas, jangan-jangan itu kita”.
BBM
Tepat satu hari setelah Hari Kartini, teman saya itu mengirimkan BBM lagi. Karena panjang sekali, saya singkat juga. ”Pertama, inginkah kita kembali kepada kehidupan lama kita? Kedua, tidakkah kita bisa sedikit lebih setia pada Tuhan? Ketiga, pilihan ada di tangan kita”.
Saya ini tersinggung bukan karena pesannya, melainkan karena kondisi orang yang mengirimkannya. Sesama manusia error, kok, saling menasihati. Saya tulis kekesalan itu di status Facebook begini. ”Kalau seorang pezinah menganjurkan orang lain untuk hidup di dalam kebenaran, si pezinah ini maunya apa, ya?”
Di lain pihak, peristiwa di atas mengingatkan saya pada aktivitas yang sama, yaitu mengirimkan pesan mulia, yang saya lakukan nyaris setiap pagi kepada kira-kira seratusan orang, bertahun lamanya, dari zaman belum ada BlackBerry. Sampai akhir tahun lalu, saya putuskan tidak lagi untuk melakukannya.
Saya mengirimkan pesan mulia dalam kondisi sebagai manusia yang maha tak mulia. Jadi kalau dipikir sekarang ini, edan juga, saya ini, kok, berani-beraninya menganjurkan orang lain untuk tidak error di saat saya tengah menikmati ke-error-an yang saya buat sendiri, di tengah saya tidak dapat mengekang diri, saat saya lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Sang Pencipta.
Kan, katanya, seorang dokter harus mencerminkan dunia yang sehat. Tentu sangat ironis kalau ada dokter merokok. Bagaimana mau memercayai petuah sehat dari mulut seorang yang tidak sehat? Maka, benarlah kalau dikatakan, manusia itu dihakimi dari buah yang dihasilkannya.
Tak lama setelah peristiwa di atas, seorang teman lain mengirim BBM. Bunyinya begini. ”Tegur aku jika aku mulai sombong, tegur aku jika aku mulai angkuh, tegur aku jika aku mulai salah karena aku masih sangat butuh sahabat seperti kamu, hari ini, esok, dan selamanya.”
Nah, karena pesannya demikian, seorang teman dalam satu grup menegurnya tanpa tedeng aling-aling. Setelah kejadian itu, lama saya tak bertemu siapa-siapa, sampai pada suatu hari, gendang telinga ini mendengar bahwa si pengirim pesan mulia itu mengundurkan diri dari kelompok pertemanan yang sudah sekian tahun kami jalankan.
Menurut ”Loh”?
Saya mendapat pelajaran berharga. Mungkin sebaiknya kalau mau mengirim pesan yang mulia, saya perlu berpikir ulang. Kelihatannya sepele, hanya soal memencet kata forward di peranti telekomunikasi. Padahal, di balik kesepelean itu, ada tanggung jawab dan konsekuensinya. Maka, sebaiknya sebelum memencet, saya perlu bertanya, apakah saya memang pantas mengirimkan atau meneruskan pesan mulia itu?
Dengan IQ jongkok yang saya punya, saya berpikir, kalau seseorang hidup benar mengirimkan kalimat mulia kepada si pezinah macam saya, itu tak akan jadi masalah. Tetapi, saya sebagai pezinah, mesti berpikir sejuta kali untuk melanjutkan pengiriman ke tempat lain, terutama kepada sesama pezinah. Nanti yang menerima malah menjadi kesal dan bukan malah berterima kasih. Saya sudah mengalami sendiri, bahkan sampai hari ini.
Omong doang itu paling mudah, sama mudahnya dengan membalikkan tangan dan mengirimkan pesan tadi. Tetapi, walk the talk itu susahnya setengah mati. Sekarang saya mengerti bahwa doa-doa saya selama ini tak dijawab, mengapa hidup saya cuma segini-segini saja, itu juga karena andil saya yang cuma mau percaya adanya Tuhan, tetapi tak mau menjalankan persyaratannya.
Saya itu omong doang mau setia dengan Sang Khalik. Kenyataannya? Saya senang kembali pada masa lalu, senang mengasihani hawa nafsu sendiri. Kesetiaan saya hanya separuh. Termasuk separuh hati.
Dan curangnya, saya hanya mengabdi 50 persen, tetapi mau menerima permohonan doa yang 100 persen. Berhubungan dengan Sang Khalik itu tak bisa sembarangan. Itu harus dilakukan di jalur-Nya, bukan di jalur yang saya buat untuk-Nya. Nurani saya langsung nyamber: ”Menurut loh?”
Saya memang tak akan sempurna, tetapi saya harus berhenti berpikir bahwa saya bisa tetap jadi pezinah, jadi koruptor, menyumbang dana haram ke rumah ibadah, dan menjadi mulia hanya karena saya menjadi messenger yang menggemakan kemuliaan-Nya. Hidup ini bukan soal ngomong doang, tetapi soal mengontrol omongan yang doang itu.
(Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/02/0259207/nato.dan.omdo)
Suka dengan artikel ini? Silahkan bagikan.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.