.:. Kata-Kata Mutiara Hari Ini: "Pergilah keluh, ku tak mau berteman dengamu... Silahkan kesah, kau bukan takdirku... Mujahadah adalah temanku, dakwah adalah nafasku dan Allah adalah kasihku... Maafkan segala kesalahan...Bila Allah mengampuni dosa-dosamu, kamu pasti bertobat...Bila Allah menerimamu, kamu pasti bertaqarrub dengan ikhlas kepada-Nya...Bila Allah mengingatmu, kamu pasti berdzikir kepada-Nya...Bila Allah menunjukkan kemuliaan-Nya padamu, kamu pasti merasa hina-dina dihadapan-Nya...Bila Allah hendak mencukupimu, pasti kamu merasa faqir kepada-Nya...Bila Allah menunjukkan kekuatan-Nya padamu, pasti engkau lemah tidak berdaya...Bila Allah menunjukkan kekuasaan-Nya, pasti engkau tak memiliki kemampuan apa-apa...Bila Allah mencintaimu, kamu pasti mencintai-Nya...Bila Allah meridhoimu, engkau pasti ridho terhadap apapun ketentuan-Nya...Bila Allah mengangkat derajatmu, engkau selalu memasuki pintu-pintu taatmu...Bila Allah menghinamu, kamu pasti bermaksiat dan menuruti hawa nafsumu...Taat itu lebih utama dibanding pahalanya...Doa itu lebih utama dibanding ijabahnya...Istiqomah itu lebih utama dibanding karomahnya...Berjuang itu lebih utama dibanding suksesnya...Sholat dua rekaat itu lebih utama ketimbang syurga seisinya...Bertobat itu lebih utama ketimbang ampunan...Berikhtiar itu lebih utama ketimbang hasilnya...Bersabar itu lebih utama ketimbang hilangnya cobaan...Dzikrullah itu lebih utama dibanding ketentraman hati...Wirid itu lebih utama ketimbang waridnya...Jangan menunggu bahagia baru tersenyum, tapi tersenyumlah, maka kamu kian bahagia " .:. ~~

Get Updates Via Email

Dapatkan update terbaru

dari Blog SufiUnderground langsung ke
Email anda!

0 𝓢𝓨𝓔𝓘𝓚𝓗 𝓐𝓑𝓤𝓛 𝓗𝓐𝓢𝓐𝓝 𝓐𝓢𝓨-𝓢𝓨𝓐𝓓𝓩𝓘𝓛𝓘𝓨 𝓓𝓐𝓝 𝓚𝓞𝓟𝓘

Suatu ketika Syaikh Abul Hasan mendatangi kediaman gurunya, Syaikh Abdullah Al-Masyisy, di puncak suatu bukit untuk keperluan meminta ijazah doa untuk diwiridkan. Akan tetapi, oleh sang guru yang juga seorang wali yang keramat itu justru diperintahkan untuk menemui sahabat beliau, yang juga seorang wali yang keramat di Desa Syadzil.

Mendapat perintah itu, Syaikh Abul Hasan segera pamitan dari gurunya. Pada awalnya ia bermaksud untuk langsung pergi ke desa yang membutuhkan waktu satu bulan perjalanan kaki tersebut pada hari itu juga. Akan tetapi, karena ada perhitungan lain, akhirnya ia pergi pada keesokan harinya. Hal ini rupanya sudah diketahui oleh gurunya di Syadzil. Keesokan harinya, sampailah ia di Syadzil. Jarak satu bulan perjalanan, dengan karomahnya, ia tempuh tak lebih dari beberapa jam.

"Hai Abul Hasan, sebenarnya sudah sejak kemarin saya tunggu kamu datang," demikian sang syaikh membuka penjelasan, "wirid yang kamu inginkan itu cara mengamalkannya cukup berat, tetapi saya selalu sesuaikan dengan keadaan orang yang akan mengamalkannya. Kamu saya anggap cukup kuat, oleh karenanya, kamu saya buatkan syarat, amalkan wirid ini selama 40 malam berturut-turut tanpa batal wudlu. Dan kamu akan saya berikan kenang-kenangan. Namamu akan saya tambah dengan nama negeri ini menjadi ' Abul Hasan Asy-Syadzili '."

Syaikh Abul Hasan menerima anugerah dari gurunya yang karomah itu -- dalam buku sumber tulisan ini tidak disebutkan namanya -- dan langsung mohon diri.

Sewaktu ia mengamalkan wirid itu, ia merasa lain dari biasanya. Wirid yang diijazahkan gurunya itu ternyata sangat berat diamalkan, tidak seperti mewiridkan doa-doa yang lain. Kadang-kadang pada malam terakhir ia tak tahan ngantuk lalu tertidur, dan karenanya ia harus memulainya lagi dari malam pertama. Begitu berulang-ulang. Akhirnya ia melaksanakan salat hajat mohon kepada Allah supaya bertemu dengan Baginda Nabi Muhammad saw. Doanya makbul, mimpinya didatangi Rasulullah.

"Wahai Rasulullah, saya diberi wirid oleh guru saya, tetapi sampai sekarang saya belum bisa menyelesaikan cara pengamalannya. Saya mohon petunjuk," demikian katanya di dalam mimpi kepada Baginda Nabi saw.

0 Jangan Salah Duga Dengan Limpahan Materi

Semua perintah agama dan anjuran Allah Rabbul ‘Izzah harus kita songsong dengan penuh keyakinan, gembira, kita patuhi dan kita jalankan penuh ikhlas. Keyakinan itulah yang mengahantarkan kita dapat naik kepada kesadaran ruhani yang lebih tinggi. Hati kita akan lebih terikat kepada Allah dan kebergantungan kita pada-Nya akan semakin kuat. Sehingga kita dapat terselamatkan (merdeka) dari musuh-musuh (nafsu dan setan; red) yang ingin memperbudak kita pada diri, harta dan dunia.

Penjelasan diatas jangan disalah pahami bahwa kita tidak boleh mencari kekayaan, harta atau kedudukan. Juga jangan disalah pahami bahwa kita tidak boleh menjadi orang yang melimpah secara materi atau menduduki jabatan tinggi. Tidak ! Jangan disalah pahami !

Kita dapat melihat para milyurner yang barada disekeliling Nabi Muhammad Saw. Para Milyuner di sekitar Rasulullah Beberapa Sahabat Rasulullah,antara lain :

1.  Abu Bakar r.a.
Ibnu Umar r.a. mengatakan, diawal keislaman Abu Bakar menghabiskan dana sekitar 40.000 Dirham untuk memerdekakan budak. Jika harga 1 Dirham Perak saat ini adalah Rp. 67.500, itu artinya yang dibayar oleh beliau setara dengan Rp 2,7 Miliar. 

2.  Umar bin Khaththab r.a.
Di dalam Kitab Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih, karangan Ibnu Abdil Barr, menerangkan bahwa Umar ra. telah mewasiatkan 1/3 hartanya yang nilainya melebihi nilai 40.000 (dinar atau dirham), atau totalnya melebihi nilai 120.000 (dinar atau dirham). Jika dengan nilai sekarang, setara dengan Rp. 284,4 Milyar (dinar) atau Rp. 8,1 Milyar (dirham).

3.  Utsman bin Affan r.a.
Saat Perang Tabuk, beliau menyumbang 300 ekor unta, setara dengan nilai Rp. 3 Milyar, serta dana sebesar 1.000 Dinar Emas, yang setara dengan Rp. 2,37 Milyar.

Ubaidullah bin Utbah memberitakan, ketika terbunuh, Utsman r.a. masih mempunyai harta yang disimpan penjaga gudangnya, yaitu: 30.500.000 dirham (setara dengan Rp. 2,05875 Trilyun) dan 100.000 dinar (setara dengan Rp. 237 Milyar).

4.  Abdurrahman bin ‘Auf r.a.
Ketika menjelang Perang Tabuk, Abdurrahman bin ‘Auf mempelopori dengan menyumbang dana sebesar 200 Uqiyah Emas atau setara dengan Rp. 3,5 Milyar. Menjelang wafatnya, beliau mewasiatkan 50.000 dinar untuk infaq fi Sabilillah, atau setara dengan nilai Rp. 118,5 Milyar.

Dari Ayyub (As-Sakhtiyani) dari Muhammad (bin Sirin), memberitakan ketika Abdurrahman bin Auf r.a. wafat, beliau meninggalkan 4 istri. Seorang istri mendapatkan warisan sebesar 30.000 dinar emas. Hal ini berarti keseluruhan istri-nya memperoleh 120.000 dinar emas, yang merupakan 1/8 dari seluruh warisan.

Dengan demikian total warisan yang ditinggalkan oleh Abdurrahman bin Auf ra, adalah sebesar 960.000 dinar emas, atau jika di-nilai dengan nilai sekarang setara dengan Rp. 2,2752 Trilyun.

5.  Abdullah ibnu Mas’ud r.a.
Menurut Zurr bin Hubaisy Al-Kufi, Ibnu Mas’ud ra. ketika meninggal dunia mewariskan harta senilai 70.000 dirham, atau saat ini senilai Rp. 4,725 milyar.

6.  Hakim bin Hizam r.a.
Urwah bin Az-Zubair berkata bahwa Hakim bin Hizam telah mensedekahkan 100 unta, atau saat ini senilai dengan Rp. 1 Milyar.

7.  Thalhah bin Ubaidillah r.a.
Menurut Musa bin Thalhah, Thalhah bin Ubaidillah ketika meninggal mewariskan harta berupa 200.000 dinar emas, atau saat ini senilai Rp. 474 Milyar.

8.  Sa’ad bin Abi Waqqash r.a.
Menurut Aisyah binti Sa’ad, ketika Sa’ad bin Abi Waqqash r.a.meninggal dunia, beliau mewariskan 250.000 dirham, atau pada saat ini senilai Rp. 16,875 Milyar.

9. Ibnu Umar r.a.
Ibnu Umar pernah menjual tanahnya seharga 200 ekor unta. 
Lalu, separuhnya dia gunakan untuk membekali pasukan mujahid. Jika satu ekor unta saat ini senilai 4.000 riyal dan 1 riyal = Rp. 2.500, maka jumlah yang telah di-sumbangkan Ibnu Umar adalah sebesar Rp. 1 Milyar (50% x 200 x 4000 x Rp. 2500).

0 KERINDUAN

Oleh: Muhammad Shobari

Aku ini manusia, rindu rasa, rindu rupa, Amir Hamzah. Getaran dalam dalam jiwa nya mungkin seperti hasrat Musa di bukit Tursina, Ibrahim yang berkelana atau Hamzah Fansuri yang merasa hampa didepan ka'bah dan Amir Hamzah yang rindu rasa, rindu rupa. Mereka para pencari sejati.

Juga murid yang satu ini, meskipun tentu saja mereka tak berada dimaqam yang sama, memang tidak sama, ia cuma mewakili gambaran umum, dongeng-dongeng orang biasa. Inilah dongeng tentang dia; seorang laki-laki yang pernah menginjak lingkungan budaya bernama sekolahan. Tapi pernah beberapa lama menjadi murid seorang guru sufi yang menuntunnya secara pribadi, setindak demi setindak memasuki wilayah hidup kerohanian. Dan yang berhasil, alhamdulillah, membuatnya menjadi lebih peka pada baik-buruk, halal-haram, luhur-nista, bahagia-merana.

Aturan, nilai, etika hidup dan kepantasan dalam tata pergaulan dengan sesama dirumah atau dengan tetangga. Dan dalam lingkungan yang lebih luas menjadi patokan yang diam-diam dipatuhi dengan rasa sangat ringan.

Sang guru, pendeknya, mungkin telah mengantarkannya kesebuah lorong didalam jiwanya sendiri dan ia asik disana. Maka pelan-pelan sang guru mengasahnya bagaikan seorang empu membakar, mimipihkan dan menempa besi porosane untuk dibikin sebilah keris bertuah.

Murid itu menjadi lebih kritis secara spiritual dan sikap kritis itu membuatnya gelisah setiap kali bersentuhan dengan beragam fenomena hidup yang tak selamanya mudah dipahami. Baginya, hidup begitu memprihatinkan terutama karena kekerasan demi kekerasan dan tipu menipu, jegal menjegal, bunuh membunuh sudah menjadi suguhan rutin sehari-hari seperti hidup didalam rimba raya.

Ia banyak bertanya dan pertanyaan-pertanyaannya seperti suara yang datang dari tempat yang jauh, asing, sayup-sayup dan lenyap. Ia sering merasa terbanting-banting dibatu cadas, menyaksikan ironi demi ironi dalam hidup yang ukurannya serba benda, mengagungkan kekayaan, menyembah kemewahan dan ibaratnya, manusia sudah menilai setinggi langit kemenangan membela atau memanjakan samudera keserakahan yang tak bertepi.

Sang guru, yang diam-diam merasa bangga akan muridnya yang satu ini, pada suatu malam mengangguk-angguk dengan rasa syukur mengetahui pendirian sang murid. Ia tahu, sang murid ibarat lahan subur untuk kehidupan rohani dan menyimpan potensi nyaris tanpa batas.

Malam itu sang guru duduk didepannya, disebuah dataran ketinggian tempat mereka sering duduk-duduk memenuhi dorongan untuk bisa merasakan kesendirian yang tak sepenuhnya sendiri dan lama mereka membisu.

Bunyi riak air diantara bebatuan di kali kecil dibawah mereka terdengar gemericik menjadi selingan deru angin yang sebentar terdengar, sebentar surut kembali. "Mau kau menerima ilmu istimewa ?," Tanya sang guru. "Ilmu apakah itu guru ?"  "ilmu berhutang, tanpa membayar." "Saya tidak mengerti guru" "Kau bisa hutang uang, misalnya, pada seseorang dan kau tak usah membayar karena orang itu akan lupa hampir dengan sendirinya atau dia akan melupakannya." "Ooo, terimakasih guru, saya tidak berani," jawab si murid dengan tegas.

0 JEJAK LAHIR TAREKAT

Oleh: Ahmad Nabhani
Carl W. Ernst dalam buku The Sambala Guide to Sufism  (shambala; Boston dan London, 1997) menuturkan tentang asal-usul lahirnya sebuah tarekat. Ia menyebutkan,  “What was at first a fairly private movement of like-minded people in the early Islamic centeris eventually grew into a major social force that permeated most Muslim societies” 

Pada awalnya tarekat itu merupakan bentuk praktik ibadah yang diajarkan secara khusus kepada orang tertentu. Misalnya, Rasulullah mengajarkan wirid atau zikir yang perlu diamalkan oleh Ali  bin  Abi Thalib. Atau, Nabi Muhammad Saw memerintahkan kepada sahabat A untuk banyak mengulang-ulang  lafal tahlil dan tahmid. Pada sahabat B, Nabi Muhammad Saw memerintahkan untuk banyak membaca ayat tertentu dari surat dalam Al-Quran. Ajaran-ajaran khusus Rasulullah itu disampaikan sesuai dengan kebutuhan penerimanya, terutama berkaitan dengan faktor psikologis.

Pada tahapan selanjutnya, ajaran khusus Rasulullah itu lantas disebarkan secara khusus pula oleh beberapa sahabat penerima. Meski tak semua orang dianggap pantas menerima ajaran tertentu tersebut, namun biasanya jumlah penerima selalu bertambah. Hingga akhirnya menjadi komunitas tertentu, perkumpulan khusus, atau lahir sebuah tarekat.  Marsahal Hodg-son mengatakan, “A tradition of intensive interiorization reexteriorized its results and was finally able to provide an important basis for social order.” 

Jika proses lahirnya sebuah tarekat hanya merupakan proses nyambung-menyambung pada dari suatu ajaran khusus, lantas apa peran orang yang disebut sebagai pendiri tarekat? Mengapa orang semisal Naqsabandi, Jalaluddin Rumi dan Asy-Syadzili disebut sebagai pendiri jika peran mereka sekadar sebagai salah satu dari rangkaian silsilah ajaran?

Untuk membuat gambaran yang gamblang tentang kontribusi yang mereka perankan sehingga pantas di sebut sebagai pendiri tarekat, agaknya perlu kita bawa kepada kasus disekitar kita. Di Indonesia ada berpuluh-puluh pondok pesantren, pondok Darus Salam Gontor dan pondok Lirboyo adalah diantaranya. Dua pondok ini masing-masing memiliki ciri khas. Meski keduanya sama-sama mengajarkan tentang agama Islam, namun metode yang digunakan berbeda.

0 KADER



By: Ahmad Shobari

Apa kerjanya orang-orang di Dewan Pimpinan Pusat Partai-partai Politik kita ? Merancang strategi menyeluruh, tetapi bertahap, untuk membangun kader militant dan patriotik yang menekankan bahwa hidup berarti perjuangan dan menuntut keprihatinan mendalam demi partai dan buahnya demi perbaikan terhadap hidup rakyat secara menyeluruh ? Bukan, itu ketinggian !

Membangun system pengkaderan disegala lapisan dan kelompok-kelompok masyarakat untuk mengingatkan kembali bahwa cita-cita proklamasi terlantar selama lebih setengah abad dan bahwa akibatnya derita rakyat berkepanjangan ? Masih ketinggian ! Menyadarkan publik bahwa kita belum merdeka ? Kelewat pro aktif dan bisa dituduh anarkhi !

Mengembangkan kembali gagasan dan kesadaran bahwa kodrat kultural kita sangat plural, kaya warna dan nuansa, dan karena itu diperlukan ide-ide mengembangkan akomodasi yang lebih lapang, adil dan demokratis, dan bahwa tak ada pihak lebih tinggi dari pihak lain ? Itu agak lebih baik tapi kedengarannya seperti suara gulungan teks book tinking yang menghafal rumus-rumus relasi antar budaya dalam payung multi kulturalisme.

Ah, kalau gitu yang ini ! Feminisasi orientasi sikap dan program partai tanpa melupakan kenyataan bahwa partai terlalu miskin program aksi buat mencerdaskan para pendukungnya maupun rakyat pada umumnya. Ini agak bagus ! Oh, tapi masih kurang ? Iya ! apanya yang kurang ? Perlu ditegaskan bagaimana sikap para elit partai. Mereka kebanyakan teladan kata-kata tapi tanpa teladan laku. Dengan kata lain, teladan kemunafikan toch maksudnya ? Bukan cuma itu, mereka elitis dan pada dasarnya berwawasan sentralistik seperti Gusti Pangeran dan Raden Ayu yang tak pernah tahu kenyataan hidup di daerah. Mereka tak bisa memberi ruh atas otonomi daerah. Ini juga bagus ! ada yang lain lagi ?

Tokoh-tokoh lapis atas partai kita bukan pejuang tulen, melainkan orang-orang yang mengutamakan tampang klimis dan berbusana rapi dengan mentalitas selebriti yang sibuk main sinetron cengeng dan dangkal. Sifat pemikiran mereka kurang reflektif dan tak memberi inspirasi apa pun.

Saya menyimak dialog serius ini. Memang saya bukan orang partai, tak tertarik gaya hidup partai dan belum pernah bercita-cita mendirikan partai. Gelombang semangat untuk menjadi presiden yang begitu menggebu, sehingga tampak bahwa barang apa yang bisa merayap semuanya bernafsu menjadi presiden. Bagi saya tidak lebih dari cermin sifat ambisius dan hasrat akan kekuasaan yang tidak pernah ditopang kemampuan dan instrument yang cukup memadai.

Saya kira fenomena buruk ini sangat menarik. Kita patut bertanya, mengapa tampilan kita seburuk ini ? Partai-partai kita memang buruk sumber daya manusiawinya. Golongan yang terpelajarpun rakus dan tidak memulai kepemimpinannya dengan gairah perjuangan yang tulus dan gigih menyambung cita-cita revolusi kita. Seolah kita ini manusia asing, tak ada hubungannya dengan Bung karno, tak ada hubungan dengan Bung Hatta dan Bung Syahrir dan Tan Malaka maupun Khairil Anwar, Jenderal Sudirman dan tentara-tentara patriot kita serta semua pejuang yang pernah membikin negeri ini menjadi ada.

0 PETUAH GIBRAN



Oleh: Muhammad Shobary.
Penyair, sekaligus filusuf, Khalil Gibran bercerita didalam Sang Musafir tentang raja yang bijak dan rendah hati. Suatu hari raja ini didemo rakyatnya, tapi sang raja tetap kalem menghadapi mereka. Hal ini membuat rakyat terpengaruh. “Kawan-kawan ku, yang tak akan menjadi kawanku lagi..,” kata sang raja.” Dengan ini kuserahkan mahkota dan tongkat kerajaanku, aku akan segera menjadi salah seorang diantara kamu..,” katanya lagi. Rakyat diam. Suasana gemuruh mendadak berubah menjadi senyap. Alam penuh pesona ketulusan yang memancar dari jiwa sang baginda.

“kini..,” kata sang raja, “rakyatlah yang menjadi raja.” Baginda siap bekerja keras diladang anggur seperti orang lain agar hidup menjadi lebih enak bagi semua kalangan. Terus terang rakyat menyatakan kekaguman mereka. Tak disangka, begitu mudah raja menyerahkan mahkota dan tongkat kerajaannya. Aneh, kini baginda bekerja seperti mereka diladang. Aneh sekali ! Tetapi tanpa raja, keadaan tetap muram. Kabut kekecewaan tetap menggantung diatas negeri itu. Keadaan kacau lagi. Rakyat gemuruh, mereka mencari sang raja lagi. Kali ini urusannya jelas, raja dinaikkan tahta kembali.

“ Perintahlah kami dengan kekuasaan dan keadilan !,” teriak mereka. Baginda pun berkuasa lagi. Keadaan memang berubah. Hawa keadilan berhembus ke seluruh pelosok negeri. Tiap ada pengaduan rakyat bahwa aparat kerajaan menyimpang, baginda bertindak tegas dan adil. Ukuran keadilan ditentukan atas dasar berapa kadar kejujuran dan pemihakan kepada rakyat. Tiap penyimpangan diluruskan. Para punggawa yang turut dilepas dari jabatannya, rakyat sungguh berdaulat, suara mereka didengar. Mereka puas.

Tapi suatu hari rakyat gemuruh lagi dibawah menara istana. Mereka menyebut-nyebut nama baginda. Dengan anggun baginda muncul didepan mereka. “apa lagi yang hendak kalian inginkan ?,” kata baginda. “tahtaku ingin kalian rebut kembali ?” “Tidaaak, bukan itu..!!!,” teriak mereka. suara gemuruh menggema kelangit. “Engkaulah raja kami, engkaulah teladan membersihkan negeri kita dari ular-ular berbisa dan dari srigala. Maka kami menghadapmu buat menghadiahkan lagu terimakasih. Mahkotamu mulia !, tongkatmu agung !,” teriak rakyat dalam nada suka cita.    

0 FAKTA CINTA KITA KEPADA RASULULLAH S.A.W



Seorang pemuda bertanya setelah membaca beberapa hadis tentang keharusan mencintai Rasulullah Saw, "Saya ingin mencintai Nabi saw., tetapi saya tidak tahu bagaimana caranya. Kalau saya merindukan seorang gadis, saya membayangkan wajahnya: bibirnya, pinggulnya, jemarinya, atau betisnya. Seperti apakah saya harus membayangkan Nabi saw?"

Pertanyaan ini menunjukkan dua hal:

Pertama, kemampuan kita mencintai sesuatu biasanya terbatas hanya pada hal-hal material, konkret, dapat diraba, dapat dilihat. Keindahan hanya terdapat pada kenampakan lahiriah. Karena itu umumnya kita suka gunung karena kehijauan pepohonannya dan kesejukan udaranya; bukan karena ketenangan dan misterinya. Kita senang buku hanya karena jenis kertas dan mutu cetaknya; bukan pada kandungan isinya. Menurut Alquran, kebanyakan kita memang terpesona pada bentuk-bentuk luar saja:

"Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia, sedang mereka alpa dari kehidupan akhirat."  (QS. Ar-Rum (30):7).


Dalam beragama kita sering mengukur kesalihan dari gambaran ritualnya tidak pada efek sosialnya. Dalam berdoa kita hanya memohon kekayaan yang luas atau umur panjang, tidak pada posisi ubudiyahnya. Dalam berpolitik kita hanya mengutamakan pestanya ketimbang demokrasinya, pemilihannya ketimbang umumnya, dewan perwakilannya ketimbang rakyatnya. Dalam bercinta kita mendahulukan hubungan biologisnya dan mengesampingkan hubungan psikologisnya. 


Mungkin karena terpenjara oleh hal-hal sensual, kita kehilangan kepekaan pada stimulasi ruhaniah. Kita tak mampu lagi mendengar suara batin kita, Apalagi jeritan hati orang lain. Kita tidak arif lagi menangkap isyarat-isyarat halus yang diungkapkan dalam eufemisme. Ketika mendengar bahwa Nabi saw. mencintai tiga perkara (perempuan, parfum, dan salat), kita sibuk memperbincangkan pernikahan badani, keharuman tubuh, dan fikih salat. Ibn 'Arabi mengajarkan pada kita bahwa ketiga kata itu mengungkapkan secara simbolis pengalaman ruhaniah yang agung.


Kedua, cinta sensual menunjukkan tahap perkembangan kejiwaan yang paling rendah. Jika kita hanya dapat melakukan salat yang khusyuk dengan mencitrakan Tuhan dalam benak kita, atau hanya bisa mencintai Nabi saw. dengan membayangkan ketampanan wajahnya, kita belum bergerak dari tahap anak-anak (bahkan boleh jadi masih merangkak pada tingkat hewani). Cinta sensual, yang lahir karena atraksi fisik, bukan keutamaan tetapi penyakit, bukan love, tetapi lust. Bukan cinta, tapi nafsu birahi.

Pada tingkat manakah mau kita letakkan kecintaan kita kepada Rasulullah saw.? Tentu saja, tidak pada tingkat erotis. Mana mungkin kecintaan kita kepada beliau kita samakan dengan kecintaan kita kepada seorang gadis? Untuk mencintai Nabi saw., yang harus kita bayangkan bukan citra fisiknya, tetapi keagungan kepribadiannya. Pertama-tama, belajarlah menggabungkan diri kita secara rohaniah dengan Rasulullah saw., para Nabi, dan orang-orang saleh.


"Barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul, maka ia akan bersama orang-orang yang telah Allah berikan kenikmatan kepada mereka, yakni para Nabi, orang-orang benar, syuhada, dan orang-orang salih. Alangkah bagusnya bergabung bersama mereka." (QS. An-Nisa' (4):69).
 
Tragedi demi tragedi yang ditunai umat Islam, mulai dari bencana dimana-mana hingga, ketika negeri-negeri Islam diserang oleh Amerika Serikat dan sekutunya, lalu berujung pada penghinaan terhadap Nabi. Karikatur, relief, gambar Nabi, telah menyeruak kemarahan umat seluruh dunia, ternyata bermuara dari persoalan sebagian kita yang tak mau belajar menggabungkan diri secara ruhaniyah bersama Rasulullah Saw.


Negeri-negeri Islam yang membujur di belahan selatan dunia, yang dikategorikan negeri miskin, ditengah arus globalisasi, semakin termiskinkan. Kekalahan structural dalam berbagai piranti, infrastruktur dan tekhnologi telah membuat umat Islam hanya menjadi sasaran konsumen negara-negara industri. Belum lagi mafia yang menguasai separo aktivitas internasional, yang menghalalkan segala cara.
 
© 2010 SUFI UNDERGROUND powered by Blogger
Template by Fresh Blogger Templates | Blogger Tutorial | Re-Designed by: X-Lab Project