.:. Kata-Kata Mutiara Hari Ini: "Pergilah keluh, ku tak mau berteman dengamu... Silahkan kesah, kau bukan takdirku... Mujahadah adalah temanku, dakwah adalah nafasku dan Allah adalah kasihku... Maafkan segala kesalahan...Bila Allah mengampuni dosa-dosamu, kamu pasti bertobat...Bila Allah menerimamu, kamu pasti bertaqarrub dengan ikhlas kepada-Nya...Bila Allah mengingatmu, kamu pasti berdzikir kepada-Nya...Bila Allah menunjukkan kemuliaan-Nya padamu, kamu pasti merasa hina-dina dihadapan-Nya...Bila Allah hendak mencukupimu, pasti kamu merasa faqir kepada-Nya...Bila Allah menunjukkan kekuatan-Nya padamu, pasti engkau lemah tidak berdaya...Bila Allah menunjukkan kekuasaan-Nya, pasti engkau tak memiliki kemampuan apa-apa...Bila Allah mencintaimu, kamu pasti mencintai-Nya...Bila Allah meridhoimu, engkau pasti ridho terhadap apapun ketentuan-Nya...Bila Allah mengangkat derajatmu, engkau selalu memasuki pintu-pintu taatmu...Bila Allah menghinamu, kamu pasti bermaksiat dan menuruti hawa nafsumu...Taat itu lebih utama dibanding pahalanya...Doa itu lebih utama dibanding ijabahnya...Istiqomah itu lebih utama dibanding karomahnya...Berjuang itu lebih utama dibanding suksesnya...Sholat dua rekaat itu lebih utama ketimbang syurga seisinya...Bertobat itu lebih utama ketimbang ampunan...Berikhtiar itu lebih utama ketimbang hasilnya...Bersabar itu lebih utama ketimbang hilangnya cobaan...Dzikrullah itu lebih utama dibanding ketentraman hati...Wirid itu lebih utama ketimbang waridnya...Jangan menunggu bahagia baru tersenyum, tapi tersenyumlah, maka kamu kian bahagia " .:. ~~

Get Updates Via Email

Dapatkan update terbaru

dari Blog SufiUnderground langsung ke
Email anda!

MENGENAL PANJALU (2): Bangunan Dan Prasasti Wangsit Panjalu Di Nusa Gede


Dalam upaya melindungi warga dan keutuhan Negara dibangun system keamanan yang menyatu untuk menghadapi musuh dari luar maupun dari dalam, baik itu musuh yang sifatnya nyata maupun musuh yang bersifat halus. Dalam kaitannya dengan musuh yang halus dikenal peranapa yang disebut Warga Panjalu sebagai Batara

Salapan (9 Batara) nama dan tempat kedudukannya adalah sebagai berikut:
1. Sri Manggelong, di Kubangan, Rinduwangi
2. Sri Manggulang, di Cipalika Bahara
3. Kebo Pepengel, di Muara Cilutung, Hujung Tiwu
4. Sikeukeuh Sacuker Weuluh, di Ranca Gaul Tengger
5. Lembu Dulur, di Giut Tenjo Laya
6. Sangbukas Tangan, di Citaman Citatah Sangtaman
7. Batara Terus Patala, di Ganjah Ciroke Goak
8. Sang Ratu Lahuta, di Gajah Agung, Cilimus Jaya Giri
9. Sri Pakentila, di Curug Goong, Maparah

Di tempat yang disebut Cikabuyutan Pameungpeuk, Desa Maparah dikenal sebagai musyawarah Batara Salapan. Perhatian utama Prabu Sanghyang Cakradewa pada kesejahteraan rakyatnya yang hakiki dan abadi berdasarkan nilai-nilai ajaran Karahayuan (Keselamatan, Kebajikan Hidup) serta perhatian pada kehidupan generasi
mendatang. Relevan dengan apa yang tercantum dalam Prasasti Astana Gede, Kawali (15 km Panjalu).


Pada prasasti tersebut antara lain tertulis: “Ayama nu Pandeuri, Pakena Gawe Rahayu Pakeun Heubeul Jaya Dina Buana”. (Semoga Generasi Kemudian Hari Berperilaku Berbuat Kebajikan, Agar Selamanya Memperoleh Kejayaan Hidup Di Dunia.

Masalah mendasar dari pandangan dan harapan beliau diatas adalah pemegang tahta Kerajaan nanti dimasa-masa mendatang, Prabu Cakradewa dikaruniai enam orang anak: tiga orang putera dan tiga orang puteri, yaitu:
1.Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II
2.Prabu Sahyang Borosngora
3.Sanghyang Panji Barani /Kiyai Santang
4.Ratu Mamprang Kancana Artaswayang
5.Ratu Pundut Agung
6.Ratu Anggarunting

Diantara putra-putrinya itu Prabu Borosngora dipandang memiliki bakat dan keperibadian yang layak memegang tahta kerajaan. Disadari bahwa ilmu dan pengalaman
putranya itu belum matang untuk memikul beban dan tanggung jawabnya sebagi raja, karena itu beliau mengharapkan calon pewaris/penerima tahta ini dapat membina
diri. Memiliki ilmu yang berguna bagi anak cucu generasi mendatang, yakni ilmu hakiki (sejati) yang dapat membawa keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia
dan akhirat.

Semula Prabu Borosngora diberi tugas ayahnya sebagi Senopati kerajaan yang bertanggung jawab atas keamanaan, ketertiban dan keutuhan di wilayah kerajaan.
Tugas tersebut dijalankan Prabu Borosngora dengan baik dan mendapat sanjungan dari berbagi pihak terutama dari kalangan keraton.Dalam pada itu Prabu Sanghyang Cakradewa terdorong usia lanjut serta keinginan bertapa meninggalkan segala kehidupan duniawi, bermaksud turun dari tahta kerajaan. Beliau memanggil Prabu
Borosngora serta kemudian memerintahkan untuk segera berangkat mencari ilmu membina diri sebagai syarat bekal tanggung jawabnya sebagi raja. Atas petunjuk dan restu dari ayahnya segera Prabu Borosngoro berkemas pergi meninggalkan keraton berkelana mendatangi berbagi perguruan di tatar pulau Jawa.

Dalam menjalankannya ini beliau teringat akan tugasnya saat ini sebagi senopati kerajaan, beliau berpandangan bahwa untuk keperluan melindungi rakyat dan negara
dari berbagi rupa ancaman musuh, harus memiliki ilmu-ilmu kesaktian yang unggul yang disegani lawan. Dengan dasar pandangan itu ia kemudian mandatangi
perguruan-perguruan terkemuka, pendeta-pendeta linuhung, dan resi-resi termasyhur . Selanjutnya beliau membina diri dengan mengkombinasikan ilmu-ilmu tersebut
dengan pengembangan potensi dirinya. Hasil kreasi mandiri hingga menyatu sebagai kekuatan tunggal dirinya.

Kemampuan itu ia uji sendiri dengan menjajal siapapun yang dianggap orang paling sakti baik itu kesaktria, pendekar ataupun para pendeta dan para resi di seantero
Tatar Pulau Jawa.Setelah tak seorangpun para pendekar mampu menghalangkan barulah ia merasa puas dan bermaksud pulang ke Negeri Panjalu.Karena diyakini bahwa apa yang diharapkan ayahnya telah dapat ia penuhi. Kedatangan Prabu Boronsngora disambut gembira ayahnya (Prabu Cakradewa), keluarga dan kerabat keraton dan termaksud para kepentingan-kepentingan ksatria kerajaan.

Sebagai ugkapan kegembiraan dalam acara tahunan kerajaan digelar pesta dan menampilkan berbagai atraksi antara lain : Atraksi “Baksa” diselingi demonstrasi latih tanding keterampilan beladiri para ksatria. Pada acara ini Prabu Borosnongora diberi kesempatan pertama bersama kakaknya Prabu Lembu Sampulur II, maju ke gelanggang latih tanding. Dengan disaksikan para keluarga, kerabat keraton dan tamu undangan yang hadir. Dua ksatria kakak beradik ini menampilkan teknik-teknik bela diri “tingkat-tinggi” yang memukau. Sorak sorai dan tepuk tangan yang meriah. Rasa gembira kerabat keraton terhenti, ketika pada satu gerakan tertentu Prabu Borosngora menarik kain yang dipakainya telihat pada betis kirinya suatu rajah (tato) sebagi tanda (cap) Perguruan Kesaktian (Kewedukan dan kedugalan) dari Ujung Kulon Banten Selatan.

Setelah acara selesai, diantara kerabat keraton, mengadukan kejadian ini kepada Raja Prabu Cakradewa. Segera Prabu Cakradewa memanggi Prabu Borosngora untuk meminta pejelasan tentang kebenaran laporan pengaduan tersebut itu dihadapan ayahnya Prabu Borosngora mengakui adanya tanda rajah (tato) itu segera menyadari kealpaannya. Selanjutnya ia mengutarakan maksud pemilikan ilmu itu tak lain hanya untuk kepentingan bela Negara.

Dengan arif bijaksana Prabu Cakradewa memaklumi apa yang diutarakan putranya prabu Borosngora itu namun segera beliau jelaskan, bahwa memiliki ilmu dan kesaktian lahiriah (kedugalan, kewedukan) apapun jenis, sifat dan tujuannya adalah terlarang bagi warga Panjalu. Karena bertentangan dengan ajaran (papagon) Kerahayuan. Dijelaskan pula bahwa ilmu yang harus dimiliki adalah ilmu sempurna yang hakiki (sejati) yang hanya memiliki pemahaman dan pengalaman, dengan ilmu itulah kesejaahteraan hakiki yang abadi dapat tercapai dan ilmu itu pula yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan generasi umat mendatang.

Prabu Cakradewa selanjutnya memerintahkan Prabu Borosngora untuk kembali berangkat dan mencari ilmu yang dimaksud hingga tercapai, dimanapun ilmu itu berada.
Prabu Cakradewa menyatakan bahwa ilmu itu ada, dan putranya bisa mencarinya. Menyusul perintah itu Prabu Cakradewa memberikanan Gayung Bungbas (gayung kerancang / gayung lobang-lobang pada alasannya) kepada Prabu Borosngora dengan perintah bahwa ia (Prabu Borosngora) tidak boleh pulang sebelum mampu membawa air secara penuh pada gayung bungbas tersebut. Demikianlah perintah itu mengandung arti mencari ilmu dengan kriteria keberhasilannya diukur oleh kemampuan membawa air pada gayung yang berlubang-lubang disekelilingnya secara penuh tanpa tercecer setetespun.

Perintah itu disampaikan Prabu Cakradewa dengan penuh rasa kasih sayang, harapan dan keyakinan akan keberhasilannya. Dengan membawa gayung bungbas disertai restu ayahnya maka berangkatlah Prabu Borosngora kembali menjelajahi tatar pulau Jawa, mendatangi para Resi dan Pendeta Sakti berbagai perguruan termasyhur, namun tak satupun diantara mereka yang mampu memberi ilmu sebagimana yang diamanatkan ayahnya, bahkan ilmu-ilmu yang mereka meliki ternyata dibawa kemampuan Prabu Borosngora sendiri.

Beliau berpandangan bahwa pada orang yang mampu mengalahkannya saja ia akan beguru serta memperoleh keterangan tentang ilmu sejati yang ingin dipelajari itu, percobaan mengambil air dengan Gayung Bungbas itu melalui pergerakan segenap kesaktiannya tidak pernah berhasil, air tercecer mengalir deras hingga habis.

Kebuntuan langkah terbayang menganggu pikiran dan perasaannya, namun keyakinan berhasil sesuai petunjuk ayahnya mendorong semangat dan tekad Prabu Borosngora untuk berjuang mencari dan memiliki ajaran ilmu yang dimaksud, kapan dan dimanapun serta dengan konsekuensi apapun yang akan terjadi pada dirinya.

Dari Pulau Jawa ia menyeberangi Selat Sunda menuju Pulau Sumatera dan melalui jalur hubungan internasional ia sampai di Asia Barat serta selanjutnya ia terdampar di Padang Arafah, Saudi Arabia. Menghindari sengatan terik matahari ia berlindung pada suatu cekungan batu besar. Sambil beristirahat ia bersemedi memohon kepada Tuhan agar diberi petunjuk dan jalan kemudahan untuk memperoleh ilmu yang diharapkannya. Rasa frustasi kembali timbul, namun ia yakin tidak akan mungkin ayahnya akan mencelakakannya, sehingga semangatnya tumbuh dan sampai kemudian ia ditegur seorang tua berpakaian putih bersih dihiasi rambut dan janggut yang putih bersih pula.

Pandangan orang tua itu terpancar penuh rasa kasih sayang dengan tongkat ditangannya yang tertancap di pasir itu. Beliau menyapa Prabu Borosngora. Dengan serta merta Prabu Borosngora mengutarakan maksudnya mencari orang yang mampu mengalahkannya serta mencari petunjuk ilmu sejati orang yang mampu mengalahkannya serta mencari petunjuk ilmu sejati(hakiki) yang ia inginkan memilikinya.

Menanggapi sikap dan pemaparan Prabu Borosngora disambut orang tua itu dengan anggukan dan senyumnya kasih sayang. Dan segera beliau mengajak Prabu Borosngora menuju tempat tinggalnya. Baru beberapa langkah beliau menghentikannya diri dan melihat kebelakang karena tongkat yang dipegangnya tadi ketinggalan tertancap di tanah pasir itu. Prabu Borosngora memahami dengan segera mengambil tongkat tersebut dengan sebelah tangan, tetapi tak bisa dicabut, ia merasa heran dan setelah melihat penampilan orang tua itu yang malah tersenyum, sadarlah Prabu Borosngora bahwa ia kini telah diuji kesaktiannya. Prabu Borosngora kemudian mengerahkan segenap kemampuannya mencabut tongkat itu sehingga keluar butir-butir darah. Baginda Ali (Rodiallaahu ‘Anhu), Khalifah Ke IV setelah Nabi Besar Muhammad SAW. Prabu Borosngora mengutarakan maksudnya kedatangan akan kisah perjalanan di Jazirah Arab ini.

Baginda Ali r-a memahami apa yang diutarakan Prabu Borosngora dan menjelaskan bahwa ilmu sejati yang dimaksud adalah ilmu-ilmu ajaran Islam. Sejak saat itu Prabu Borosngora Borosngora memeluk agama Islam dan mempelajari ilmu-ilmu ajaran Islam. Ia bermukmin di Makkah Al-Mukaromah atas petunjuk Sayidina Ali r-a.

Sementara di Panjalu, Prabu Sanghyang Cakradewa merasa resah berhubung kepergiaan Prabu Borosngora telah begitu lama belum juga kembali. Beberapa ksatria keraton termaksud adiknya Sanghyang Panji Barani diperintahkan untuk mencari tahu keberadaan Prabu Borosngora. Mereka berpencaran keseluruhan pelosok tatar Pulau Jawa, namun tak dirimukan petunjuk keberadaannya, meskipun demikian Sanghyang Cakradewa yakin bahwa Prabu Borosngora masih dan akan kembali ke Panjalu. Keinginan Prabu Sanghyang Cakradewa untuk turun tahta dan pergi bertapa tak dapat menunggu kedatangannya Prabu Borosngora. Beliau pergi pergi bertapa membangun tempat pertapaan di Cipanjalu sekitar 4 km arah utara kota Panjalu sekarang. Tahta kerajaan untuk sementara diserahkan kepada Prabu Lembu Sampulur.

Di Makkah setelah dipandang cukup menekuni ajaran dan ilmu-Ilmu keislaman, Prabu Borosngora bermaksud pulang ke Panjalu. Niatnya ini disampaikan kepada Baginda Ali r-a kemudian Cis dan pakaian kehajian pemberian Sayyidina Ali r-a dibawa ke Panjalu. Baginda Ali r-a memberi nama kehajian kepada prabu Borosngora yakni H. Abdul Iman lengkap dengan seperangkat pakaian kehajiannya.

Kedatangan Prabu Borosngora dengan ilmu ajaran Keislaman yang diperolehnya disambut gembira dan perasaan bangga oleh PrabuCakradewa yang kemudian memerintahkannnya untuk segera meletakkan dasar-dasar ajaran Keislaman sebagai pedoman hidup dan falsafah Kerajaan. Perintah itu diwujudkan dengan pengangkatan Prabu Borosngora sebagai Raja Soko Galuh Panjalu, disertai kelengkapan tugasnya memindahkan Ibu Kota Kerajaan dari Dayeuh Luhur ke areal Situ Lengkong Panjalu sebagimana terungkap pada Titah Sanghyang Cakradewa. Demikian sejak itu Prabu Borosngora sebagi Raja Soko Galuh Panjalu, sedang Prabu Lembu Sampulur II diserahi tugas memegang kekuasaan di wilayah Gunung Tampomas Sumedang hingga kemudian menurunkan raja-raja Sumedang sebelum keruntuhan Pajajaran.

Petunjuk yang diberikan Baginda Ali r-a kepada Prabu Borosngora adalah segera pulang ke Panjalu dan ajarakan Agama Islam. Sebagai “tand mata” Baginda Ali r-a memberikan barang perkakas berupa Pedang dan Ciss (tombak bermata dua) kepada Prabu Borosngora sebagai kelengkapan tugas dan perjuangannya menyebarkan Agam Islam. Selanjutnya Bagi Ali r-a menyuruh Prabu Borosngora untuk mengambil air zam-zam dengan gayung bungbas yang dibawanya. Ternyata atas izin Allah Swt, air zam-zam dapat ditampung dengan gayung tersebut. Atas petunjuk dan nasihat Baginda Syayidina Ali r-a berangkatlah Prabu Borosngora ke Panjalu.

Setibanya di Panjalu ternyata ayahnya Sanghyang Cakradewa telah meninggalkan Kerajaan di Dayeuh Luhur dan bertapa di Panjalu. Atas petunjuk dan saran Prabu
Lembu Sampulur II, Prabu borosngora kemudian berangkat menemui ayahnya dipertapaan Cipanjalu dengan membawa Gayung Bungbas yang penuh berisi air zam-zam dan pedang. Langkah pertama yang dilakukan Prabu Borosngora yaitu membendung Areal Legok Pasir Jambu hingga menjadi Situ (Danau) serta mencurahkan air zam-zam menyatu dengan air danau tersebut. Tanah yang tak terbendung berwujud Nusa (pulau Kecil) ditengah danau.

Terdapat tiga buah nusa pada areal situ lengkong yang masing-masing berfungsi sebagai bangunan kraton (Nusa Gede). Lokasi kepatihan dan Paseban Kraton(Nusa Hujung) dan taman buah-buahan di Nusa Pakel. Dari keraton Kepatihan dibangun jembatan penghubung yang terbuat dari balok-balok kayu yang dinamakan Cukang
Padung. Bagian Ibu Kota Kerajaan Panjalu yang dibangun Prabu Borosngora sebagimana berikut:
A.Istana Kerajaan, dikelilingi rumah para menteri dan punggawa Keraton nusa gede
B.Kepatihan dan Paseban Keraton di Nusa Pakel
C.Taman buah-buah di nusa Pakel
D.Jembatan Cukang Padung dengan dua Gerbang

comment 0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.

 
© 2010 SUFI UNDERGROUND powered by Blogger
Template by Fresh Blogger Templates | Blogger Tutorial | Re-Designed by: X-Lab Project