Seorang pemuda
bertanya setelah membaca beberapa hadis tentang keharusan mencintai Rasulullah
Saw, "Saya ingin mencintai Nabi saw., tetapi saya tidak tahu bagaimana
caranya. Kalau saya merindukan seorang gadis, saya membayangkan wajahnya:
bibirnya, pinggulnya, jemarinya, atau betisnya. Seperti apakah saya harus
membayangkan Nabi saw?"
Pertanyaan ini
menunjukkan dua hal:
Pertama,
kemampuan kita mencintai sesuatu biasanya
terbatas hanya pada hal-hal material, konkret, dapat diraba, dapat dilihat.
Keindahan hanya terdapat pada kenampakan lahiriah. Karena itu umumnya kita suka
gunung karena kehijauan pepohonannya dan kesejukan udaranya; bukan karena
ketenangan dan misterinya. Kita senang buku hanya karena jenis kertas dan mutu
cetaknya; bukan pada kandungan isinya. Menurut Alquran, kebanyakan kita memang
terpesona pada bentuk-bentuk luar saja:
"Mereka hanya mengetahui yang lahir saja
dari kehidupan dunia, sedang mereka alpa dari kehidupan akhirat." (QS.
Ar-Rum (30):7).
Dalam beragama
kita sering mengukur kesalihan dari gambaran ritualnya tidak pada efek
sosialnya. Dalam berdoa kita hanya memohon kekayaan yang luas atau umur
panjang, tidak pada posisi ubudiyahnya. Dalam berpolitik kita hanya
mengutamakan pestanya ketimbang demokrasinya, pemilihannya ketimbang umumnya,
dewan perwakilannya ketimbang rakyatnya. Dalam bercinta kita mendahulukan
hubungan biologisnya dan mengesampingkan hubungan psikologisnya.
Mungkin karena
terpenjara oleh hal-hal sensual, kita kehilangan kepekaan pada stimulasi
ruhaniah. Kita tak mampu lagi mendengar suara batin kita, Apalagi jeritan hati
orang lain. Kita tidak arif lagi menangkap isyarat-isyarat halus yang
diungkapkan dalam eufemisme. Ketika mendengar bahwa Nabi saw. mencintai tiga
perkara (perempuan, parfum, dan salat), kita sibuk memperbincangkan pernikahan
badani, keharuman tubuh, dan fikih salat. Ibn 'Arabi mengajarkan pada kita
bahwa ketiga kata itu mengungkapkan secara simbolis pengalaman ruhaniah yang
agung.
Kedua,
cinta sensual menunjukkan tahap perkembangan
kejiwaan yang paling rendah. Jika kita hanya dapat melakukan salat yang khusyuk
dengan mencitrakan Tuhan dalam benak kita, atau hanya bisa mencintai Nabi saw.
dengan membayangkan ketampanan wajahnya, kita belum bergerak dari tahap
anak-anak (bahkan boleh jadi masih merangkak pada tingkat hewani). Cinta
sensual, yang lahir karena atraksi fisik, bukan keutamaan tetapi penyakit,
bukan love, tetapi lust. Bukan cinta, tapi nafsu birahi.
Pada tingkat
manakah mau kita letakkan kecintaan kita kepada Rasulullah saw.? Tentu saja,
tidak pada tingkat erotis. Mana mungkin kecintaan kita kepada beliau kita
samakan dengan kecintaan kita kepada seorang gadis? Untuk mencintai Nabi saw.,
yang harus kita bayangkan bukan citra fisiknya, tetapi keagungan kepribadiannya.
Pertama-tama, belajarlah menggabungkan diri kita secara rohaniah dengan
Rasulullah saw., para Nabi, dan orang-orang saleh.
"Barang siapa yang mentaati Allah dan
Rasul, maka ia akan bersama orang-orang yang telah Allah berikan kenikmatan
kepada mereka, yakni para Nabi, orang-orang benar, syuhada, dan orang-orang
salih. Alangkah bagusnya bergabung bersama mereka." (QS. An-Nisa' (4):69).
Tragedi demi
tragedi yang ditunai umat Islam, mulai dari bencana dimana-mana hingga, ketika
negeri-negeri Islam diserang oleh Amerika Serikat dan sekutunya, lalu berujung
pada penghinaan terhadap Nabi. Karikatur, relief, gambar Nabi, telah menyeruak
kemarahan umat seluruh dunia, ternyata bermuara dari persoalan sebagian kita
yang tak mau belajar menggabungkan diri secara ruhaniyah bersama Rasulullah
Saw.
Negeri-negeri
Islam yang membujur di belahan selatan dunia, yang dikategorikan negeri miskin,
ditengah arus globalisasi, semakin termiskinkan. Kekalahan structural dalam
berbagai piranti, infrastruktur dan tekhnologi telah membuat umat Islam hanya
menjadi sasaran konsumen negara-negara industri. Belum lagi mafia yang
menguasai separo aktivitas internasional, yang menghalalkan segala cara.
Kemudian ummat
terbelah menjadi kekuatan-kekuatan, kelompok-kelompok, kebudayaan-kebudayaan,
tidak jarang satu sama lain saling tarik menarik dan bertentangan. Ada yang
merespon dengan integralisme dan adaptasi dengan globalisasi, ada yang merespon
dengan sikap moderat tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar Islam, ada yang
merespon dengan ketakberdayaan mengikuti arus dengan sikap acuh tak acuh atas
perkembangan planet bumi. Tapi peta tersebut sangat menarik bagi dunia luar
untuk memposisikan umat Islam seluruh dunia sebagai obyek, bukan sebagai subyek
yang positif bagi masa depan umat manusia.
Tetapi mari kita
jenguk kondisi ummat kita sebenarnya. Tahun-tahun seperempat abad terakhir,
ummat Islam mengalami sock yang luar biasa, antara modernisasi, tradisi
dan nilai-nilai agama. Diantara korban-korbannya adalah spiritualitas ummat
yang mencapai titik jenuh luar biasa, sampai akhirnya terekspresikan dalam
berbagai aktivitas yang cukup menyimpang dan mengerikan: Gerakan spiritual yang
mengatasnamakan gerakan ruhani Islam, seperti munculnya lembaga-lembaga atau
perorangan yang menjanjikan "puncak spiritual" melalui aktivitasnya.
Ternyata, tidak lebih dari aktivitas metafisika, mistik dan keparanormalan yang
dibungkus dengan nuansa dzikir, ilmu-ilmu hikmah tertentu dan lebih sadis lagi
menggunakan sinkretisme kebatinan semua agama dalam satu format spiritual.
Dampaknya, ummat
kehilangan nuansa genial yang murni dan hakiki, yang selama ini dikokohkan oleh
para sufi dari zaman ke zaman mulai sejak era Nabi Muhammad Saw hingga dewasa
ini. Dua pendulum yang kontra dan meruyak aktivitas luhur dunia ruhani kaum
sufi pun bermunculan: Mereka ramai-ramai mengobarkan anti sufisme, karena
dianggap bid'ah disatu sisi, dan disisi lain muncul kelompok penyimpang
tasawuf yang mengatasnamakan dunia sufi.
Dua kelompok
antagonis inilah yang pada saat bersamaan, merasa paling Islami dan paling
benar, dan di saat yang lain meruntuhkan semangat kecintaan kepada Alah dan
Rasulullah Saw, dalam arti yang sesungguhnya, bahkan dengan cara emosi, reaksi
dan arogansi. Lalu semangat yang hakiki mengenai mahabbatullah dan mahabbaturrasul
terbuang dalam arus pembelaan yang bernuansa pinggiran, tidak masuk dalam
jantung hati yang sesungguhnya.
Mari kita jenguk
jendela kita semua, agar melihat ruang batin di kedalaman jiwa kita. benarkah
kita telah membuktikan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya ? Benarkah kita
telah mendenyutkan jantung kita setiap saat, setiap waktu, setiap ruang dan
gerak bersama dzikrullah dalam hati kita ? Seberapa persen jumlah ummat
Islam seluruh dunia yang melakukan aktivitas mulia dalam jiwanya ? Apakah
aktivitas mulia itu hanya dilihat dari yang tampak dipermukaan dalam
"teater ummat Islam" ? Dalam "Gaya Hidup Beragama" ? Dalam
"sok relegi" atau style islami" di media massa dan kepentingan riya'
politik ? Kenapa tidak ada upaya untuk menjenguk kegersangan demi
kegersangan yang menimpa jiwa ummat ini ?
Rupanya ummat
seperti kehilangan induk ketika berada di Padang Mahsyar. Gerakan demi gerakan,
tak lebih dari sebuah kebingungan, keresahan dan ketakutan. Dihamparan Mahsyar
ummat mencari Syafaat dari satu Nabi ke Nabi lain, lalu berujung pada Nabi
Muhammad Saw.
Itulah fakta
hari ini, pencarian cinta kepada Nabi di tengah kegersangan Mahsyar Dunia,
dalam kegundahan luar biasa, lalu muncul berbagai image, dalam berbagai bentuk,
antara lain: (1). Dengan menyatakan sebagai pembela Nabi SAW, tetapi tidak
mencintai Nabi SAW dalam arti yang hakiki. (2). Menyatakan sebagai pembela ahlul
Bait sebagai ideology dan organisasi saja. (3). Memanggil-manggil Nabi
dengan jeritan-jeritan sebagai aktivitas ritual, dan menganggapnya sebagai
puncak spiritual. (4). Merasa mendapatkan wahyu dari malaikat, lalu mengaku
sebagai Nabi Baru, yang selaras dengan Nabi Muhammad Saw. (5). Memanfaatkan
simbol-simbol Kenabian sebagai gerakan massal, yang akhirnya berujung pada
ekonomi dan politik. (6). Merasa paling dekat dengan Nabi, lalu dijadikan
simbol spiritual, hanya karena nasab dan keturunan. (7). Merasa paling Islami
dengan cara meniru gaya hidup lahiriyah Nabi, syariat Nabi, sementara qalbu
Nabi, hakikat Islam, Ruhul Islam, tidak dijadikan teladan, akhirnya hanya
menuai kefasikan dan kegersangan hati.
Faktanya,
kelompok-kelompok itu tidak mencintai Nabi dalam arti sesungguhnya, sehingga
syafaat Nabi untuk umat Islam di dunia, tidak bisa mereka terima secara total
sebagaimana di suasana di padang mahsyar kelak.
Coba dikalkulasi
dalam statistic. Berapa persen dari jumlah ummat Islam seluruh dunia yang masih
terus membaca sholawat Nabi setiap harinya ? Berapakali setiap hari mereka
membaca sholawat nabi ? Apakah sholawat Nabi hanya dibaca setiap sholat oleh
karena dalam sholat ada bacaan sholawat ? Apakah sholawat Nabi hanya dibaca
ketika ada maulid Nabi ? Apakah sholawat Nabi hanya jadi nyanyian-nyanyian dan
ekspresi seni dan hiburan, sebagaimana dalam gerakan musikalisasi sholawat ?
Benarkah bibir anda menggetarkan sholawat sepanjang saat ? Benarkah
"rasa" sholawat telah menghunjam dalam kecintaan luhur di jantung
hati anda ? Benarkah anda merasakan kedekatan Nabi dengan diri anda,
seakan-akan Nabi di hadapan anda ? Apakah anda mencintai sekedar sebagai
statemen, pengakuan, lips service atau memang sampai pada kecintaan dalam
keyakinan, haqqulyaqin di hati ?
Mari kita
mengingat apa yang dikatakan Ibnu Athaillah as-Sakandary dalam kitab Al-Hikam,
"Apa yang muncul dalam fenomena lahir sesungguhnya akibat dari fenomena
batin." Jika batin kita tidak mencintai Nabi atau sekedar "beban
kewajiban" saja bersholawat nabi, maka yang muncul di fenomena lahiriah
hanyalah kecintaan plastic yang palsu atas Nabi Saw. Jika hati kita tak pernah
beruntun mendetakkan sholawat Nabi, maka sholawat yang kita ungkapkan pada Nabi
hanyalah ekspresi kering dari bibir kita yang tak pernah basah dengan dzikir
dan sholawat.
Jangan sampai
kita merasa membela nabi, tapi jiwa kita tidak pernah bersholawat Nabi. Jangan
sampai kita merasa meneladani nabi, tapi kesombongan, riya',
pengakuan-pengakuan menjadi gaya hidupnya yang dibungkus ke-islaman-nya untuk
menyembunyikan kemunafikannya. Jangan sampai anda merasa memakai baju-baju,
ornament, life style seperti nabi, namun sesungguhnya baju hakiki, ornament
jiwa, life style ruhani yang sesungguhnya compang-camping di jiwa anda.
Jika hal itu
tetap ada pada diri kita, maka cobaan demi cobaan di Padang Mahsyar
dunia ini, senantiasa merobek sejarah kita, mengoyak kemuliaan Nabi, merobohkan
istana yang sesungguhnya dalam jiwa kita. Innaalillaahi wainnaa ilaihi
rooji'uun ! Mari kita gerakkan jantung kita, bersama Allah dan Rasul-Nya,
kapan, dimana, bagaimana, dalam kondisi apa, dalam situasi apa, agar syafaat
beliau melimpah dengan Cahaya, dan kita saksikan bersama: "Tidaklah
Kami mengutus-mu, kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta…"
Akhirnya,
perhatikan bagaimana Alquran menggambarkan Nabi Saw. kepada kita:
"Telah datang kepadamu seorang Rasul
dari antara kamu. Berat baginya apa yang kamu derita, sangat ingin agar kamu
mendapat kebahagiaan. Ia sangat pengasih dan penyayang kepada orang-orang yang
beriman." (QS. At-Taubah (9):128).
Inilah Nabi yang
membasahi janggutnya dengan air matanya karena memikirkan derita umat
sepeninggalnya, yang merebahkan dirinya di atas tanah dan tidak mengangkatnya
sebelum Allah mengizinkannya untuk memberikan syafaat kepada umatnya, yang suka
dukanya terpaut dengan umat yang dipimpinnya.
Mari kita isi
ruang batin kita dengan mendenyutkan jantung kita setiap saat, setiap waktu,
setiap ruang dan gerak dengan dzikrullah dan shalawat rasul. Mari
kita kobarkan semangat kecintaan kepada Allah dan Rasulullah dalam arti yang
sesungguhnya, bukan dengan cara emosi, reaksi dan arogansi. Jangan sampai kita
merasa membela nabi, tapi jiwa kita tidak pernah bersholawat Nabi.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.