Oleh: Muhammad Shobari
Aku ini manusia, rindu rasa, rindu rupa, Amir Hamzah. Getaran
dalam dalam jiwa nya mungkin seperti hasrat Musa di bukit Tursina, Ibrahim yang
berkelana atau Hamzah Fansuri yang merasa hampa didepan ka'bah dan Amir Hamzah
yang rindu rasa, rindu rupa. Mereka para pencari sejati.
Juga murid yang satu ini, meskipun tentu saja mereka tak berada
dimaqam yang sama, memang tidak sama, ia cuma mewakili gambaran umum,
dongeng-dongeng orang biasa. Inilah dongeng tentang dia; seorang laki-laki yang
pernah menginjak lingkungan budaya bernama sekolahan. Tapi pernah
beberapa lama menjadi murid seorang guru sufi yang menuntunnya secara pribadi,
setindak demi setindak memasuki wilayah hidup kerohanian. Dan yang berhasil, alhamdulillah,
membuatnya menjadi lebih peka pada baik-buruk, halal-haram, luhur-nista, bahagia-merana.
Aturan, nilai, etika hidup dan kepantasan dalam tata pergaulan
dengan sesama dirumah atau dengan tetangga. Dan dalam lingkungan yang lebih
luas menjadi patokan yang diam-diam dipatuhi dengan rasa sangat ringan.
Sang guru, pendeknya, mungkin telah mengantarkannya kesebuah
lorong didalam jiwanya sendiri dan ia asik disana. Maka pelan-pelan sang guru
mengasahnya bagaikan seorang empu membakar, mimipihkan dan menempa besi porosane
untuk dibikin sebilah keris bertuah.
Murid itu menjadi lebih kritis secara spiritual dan sikap kritis
itu membuatnya gelisah setiap kali bersentuhan dengan beragam fenomena hidup
yang tak selamanya mudah dipahami. Baginya, hidup begitu memprihatinkan
terutama karena kekerasan demi kekerasan dan tipu menipu, jegal menjegal, bunuh
membunuh sudah menjadi suguhan rutin sehari-hari seperti hidup didalam rimba
raya.
Ia banyak bertanya dan pertanyaan-pertanyaannya seperti suara yang
datang dari tempat yang jauh, asing, sayup-sayup dan lenyap. Ia sering merasa
terbanting-banting dibatu cadas, menyaksikan ironi demi ironi dalam hidup yang
ukurannya serba benda, mengagungkan kekayaan, menyembah kemewahan dan
ibaratnya, manusia sudah menilai setinggi langit kemenangan membela atau memanjakan
samudera keserakahan yang tak bertepi.
Sang guru, yang diam-diam merasa bangga akan muridnya yang satu
ini, pada suatu malam mengangguk-angguk dengan rasa syukur mengetahui pendirian
sang murid. Ia tahu, sang murid ibarat lahan subur untuk kehidupan rohani dan
menyimpan potensi nyaris tanpa batas.
Malam itu sang guru duduk didepannya, disebuah dataran ketinggian
tempat mereka sering duduk-duduk memenuhi dorongan untuk bisa merasakan
kesendirian yang tak sepenuhnya sendiri dan lama mereka membisu.
Bunyi riak air diantara bebatuan di kali kecil dibawah mereka
terdengar gemericik menjadi selingan deru angin yang sebentar terdengar,
sebentar surut kembali. "Mau kau menerima ilmu istimewa ?,"
Tanya sang guru. "Ilmu apakah itu guru ?" "ilmu berhutang, tanpa
membayar." "Saya tidak mengerti guru" "Kau bisa hutang
uang, misalnya, pada seseorang dan kau tak usah membayar karena orang itu akan
lupa hampir dengan sendirinya atau dia akan melupakannya." "Ooo,
terimakasih guru, saya tidak berani," jawab si murid dengan tegas.
Meskipun suaranya pelan dan segera lenyap ditelan deru angin yang
beriup keras kembali dari balik bukit. "Mengapa tak berani ?"
"Begini guru, orang itu bisa saja lupa atau pura-pura lupa entah oleh
perbawa apa, tapi bukankah itu terbatas untuk urusan kita disini. Ada Dia yang
tak pernah lupa dan saya takut beban kewajiban membayar disini cuma berarti
penundaan waktu. Disana kelak, setelah hidup ini selesai akan ada hidup lain
yang lebih lama, lebih pasti dan saat itu saya wajib membayar dengan denda dan
bunga yang tak mampu saya menanggungnya. Saya takut betapa pedihnya akibat
hutang yang dilupakan seperti itu."
Alam senyap, guru dan murid saling berpandangan. "Kau
lulus !" kata sang guru kalem dengan nada memuji. Air kali kecil itu
masih gemericik dan suaranya lebih jelas, lebih nyata ketika angin tak bertiup
terlalu kencang. Sang guru diam dan muridnya pun diam.
"Kalau begitu,apa yang kau cari, ?" tanya sang
guru. "Persisnya saya tidak tahu, guru, Tetapi tiap saat saya merasa
apa yang saya cari sesuatu yang seolah begitu dekat saya bisa merasakannya."
Malam berikutnya murid itu duduk dirumahnya ketika seluruh anggota
keluarga sudah tidur lelap. Dia berdoa tentu saja dengan cara yang diajarkan
gurunya, meminta agar hidupnya selamat lahir dan batin, dunia dan akhirat, dan
tak kurang suatu apapun. Dalam doa itu, ia merasakan, sekali lagi, mungkin
suasana kejiwaan seperti dialami para tokoh tersebut. Dan mungkin persisnya
seperti yang disebut oleh Amir Hamzah didalam puisinya Aku Manusia, Rindu Rasa
Rindu Rupa.
Dan kerinduan itu seperti zat kimia tertentu meresap kedalam
seluruh perasaannya, keseluruh pori-pori dan saluran darah disekujur tubuhnya. "Kau
sudah mendekati sampai dan tak keliru lagi," kata sang guru. "Berkat
sang guru," jawab si murid. Dia merasa nikmat, hidup menjadi tenteram.
Penyakit was-was, khawatir dan sejenisnya, betapapun kecilnya perlahan-lahan
menyingkir dan hanya rasa lega dan tenteram yang mengitarinya.
Dalam hidup, siapapun membutuhkan benda-benda. Sandang, pangan,
rumah dan sejenisnya seperti orang lain. Tapi ia tak ingin sejenis benda
tertentu mendikte dan mengatur jalan hidupnya. Murid itu tak pernah sekolah,
dalam pengertian biasa seperti kita kenal. Tapi ia sekolah dari hidup.
Saya lain, bertahun-tahun saya sekolah, sampai ditempat yang jauh
dengan segenap usaha susah payah tapi apa yang saya petik selain kerinduan pada
dunia, pada mobil, pada rumah, pada makanan dan minuman enak dan segenap benda
lain. Saya belum bisa rindu pada apa yang ia rindukan. Mungkin saya cuma
seorang penonton yang jiwanya lebih tumpul dari dengkul.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.