Semua perintah
agama dan anjuran Allah Rabbul ‘Izzah
harus kita songsong dengan penuh keyakinan, gembira, kita
patuhi dan kita jalankan penuh ikhlas. Keyakinan itulah yang mengahantarkan kita
dapat naik kepada kesadaran ruhani yang lebih tinggi. Hati kita akan lebih
terikat kepada Allah dan kebergantungan kita pada-Nya akan semakin kuat.
Sehingga kita dapat terselamatkan (merdeka) dari musuh-musuh (nafsu dan setan;
red) yang ingin memperbudak kita pada diri, harta dan dunia.
Penjelasan
diatas jangan disalah pahami bahwa kita tidak boleh mencari kekayaan, harta
atau kedudukan. Juga jangan disalah pahami bahwa kita tidak boleh menjadi orang
yang melimpah secara materi atau menduduki jabatan tinggi. Tidak ! Jangan
disalah pahami !
Kita dapat melihat para milyurner yang barada
disekeliling Nabi Muhammad Saw. Para Milyuner di sekitar Rasulullah Beberapa Sahabat
Rasulullah,antara lain :
1. Abu Bakar r.a.
Ibnu Umar r.a.
mengatakan, diawal keislaman Abu Bakar menghabiskan dana sekitar 40.000 Dirham
untuk memerdekakan budak. Jika harga 1 Dirham Perak saat ini adalah Rp. 67.500,
itu artinya yang dibayar oleh beliau setara dengan Rp 2,7 Miliar.
2. Umar bin Khaththab r.a.
Di
dalam Kitab Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih, karangan Ibnu Abdil Barr,
menerangkan bahwa Umar ra. telah mewasiatkan 1/3 hartanya yang nilainya
melebihi nilai 40.000 (dinar atau dirham), atau totalnya melebihi nilai 120.000
(dinar atau dirham). Jika dengan nilai sekarang, setara dengan Rp. 284,4 Milyar
(dinar) atau Rp. 8,1 Milyar (dirham).
3. Utsman bin Affan r.a.
Saat Perang Tabuk,
beliau menyumbang 300 ekor unta, setara dengan nilai Rp. 3 Milyar, serta dana
sebesar 1.000 Dinar Emas, yang setara dengan Rp. 2,37 Milyar.
Ubaidullah bin
Utbah memberitakan, ketika terbunuh, Utsman r.a. masih mempunyai harta yang
disimpan penjaga gudangnya, yaitu: 30.500.000 dirham (setara dengan Rp. 2,05875
Trilyun) dan 100.000 dinar (setara dengan Rp. 237 Milyar).
4. Abdurrahman bin ‘Auf r.a.
Ketika menjelang
Perang Tabuk, Abdurrahman bin ‘Auf mempelopori dengan menyumbang dana sebesar
200 Uqiyah Emas atau setara dengan Rp. 3,5 Milyar. Menjelang wafatnya, beliau
mewasiatkan 50.000 dinar untuk infaq fi Sabilillah, atau setara dengan nilai
Rp. 118,5 Milyar.
Dari Ayyub
(As-Sakhtiyani) dari Muhammad (bin Sirin), memberitakan ketika Abdurrahman bin
Auf r.a. wafat, beliau meninggalkan 4 istri. Seorang istri mendapatkan warisan
sebesar 30.000 dinar emas. Hal ini berarti keseluruhan istri-nya memperoleh
120.000 dinar emas, yang merupakan 1/8 dari seluruh warisan.
Dengan demikian
total warisan yang ditinggalkan oleh Abdurrahman bin Auf ra, adalah sebesar
960.000 dinar emas, atau jika di-nilai dengan nilai sekarang setara dengan Rp.
2,2752 Trilyun.
5. Abdullah ibnu Mas’ud r.a.
Menurut
Zurr bin Hubaisy Al-Kufi, Ibnu Mas’ud ra. ketika meninggal dunia mewariskan
harta senilai 70.000 dirham, atau saat ini senilai Rp. 4,725 milyar.
6.
Hakim bin Hizam r.a.
Urwah bin Az-Zubair
berkata bahwa Hakim bin Hizam telah mensedekahkan 100 unta, atau saat ini
senilai dengan Rp. 1 Milyar.
7. Thalhah bin
Ubaidillah r.a.
Menurut
Musa bin Thalhah, Thalhah bin Ubaidillah ketika meninggal mewariskan harta
berupa 200.000 dinar emas, atau saat ini senilai Rp. 474 Milyar.
8. Sa’ad bin Abi Waqqash r.a.
Menurut
Aisyah binti Sa’ad, ketika Sa’ad bin Abi Waqqash r.a.meninggal dunia, beliau
mewariskan 250.000 dirham, atau pada saat ini senilai Rp. 16,875 Milyar.
9. Ibnu Umar r.a.
Ibnu Umar pernah
menjual tanahnya seharga 200 ekor unta.
Lalu, separuhnya dia gunakan untuk membekali pasukan mujahid. Jika satu ekor unta saat ini senilai 4.000 riyal dan 1 riyal = Rp. 2.500, maka jumlah yang telah di-sumbangkan Ibnu Umar adalah sebesar Rp. 1 Milyar (50% x 200 x 4000 x Rp. 2500).
Lalu, separuhnya dia gunakan untuk membekali pasukan mujahid. Jika satu ekor unta saat ini senilai 4.000 riyal dan 1 riyal = Rp. 2.500, maka jumlah yang telah di-sumbangkan Ibnu Umar adalah sebesar Rp. 1 Milyar (50% x 200 x 4000 x Rp. 2500).
Allah Swt menggambarkan para milyuner tersebut dalam firman-Nya:
فِي
بُيُوْتٍ أ َذِنَ اللهُ أ َنْ تُرْفَعَ وَ يُذْكَرَ فِيْهَا اسْمُه‘ يُسَبِّحُ لَه‘ فِيْهَا بِالْغُدُوِّ وَ الْأ
َصَالِ، رِجَالٌ لاَ تُلْهِيْهِم ْ تِجَارَةٌ وَ لاَ بَيْعٌ
عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَ إِقَامِ
الصَّلاَةِ وَ إِيْتَاءِ الزَّ
كَاةِ يَخَافُوْنَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيْهِ الْقُلُوْبُ
وَ الْأ َبْصَارُ، لِيَجْزِيَهُمُ اللهُ
أ َحْسَنَ مَا عَمِلُوْا وَ
يَزِيْدَهُمْ مِنْ فَضْلِه وَ اللهُ يَرْزُقُ مَنْ َيشَاءُ
بِغَيْرِ حِسَابٍ (النّور (۲٤):٣٦- ٣٨ )
“Bertasbih
kepada Allah di mesjid-mesjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan
disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang
tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat
Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka
takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi
guncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan
kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah
memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”
(Q.S. An-Nur (24): 36-38).
Dari sini jelas
terlihat, seorang muslim diperbolehkan bercita-cita menjadi orang kaya dengan niat
untuk memperkuat agamanya. Rasulullah bersabda:
لَا بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ
اتَّقَى وَالصِّحَّةُ لِمَنِ اتَّقَى خَيْرٌ مِنَ الْغِنَى وَطِيبُ النَّفْسِ مِنَ
النَّعِيمِ
“Tidak ada masalah
dengan kekayaan bagi orang yang bertaqwa. Kesehatan itu lebih baik dari pada
kekayaan bagi orang yang bertaqwa. Dan jiwa yang bagus merupakan kenikmatan.”
(HR. Ibnu Majah: 2132, Ahmad: 22076 dari Ubaid bin Mu’adz, di-shahih-kan oleh
Al-Hakim dalam Mustadrak: 2131 (2/3) dan disepakati oleh Adz-Dzahabi).
Dan Rasulullah berpesan
kepada umatnya, agar menghindari dari kefaqiran, dan untuk hal itu beliau
mengajarkan doa, sebagaimana bunyi hadits berikut : Dari Abu Hurairah r.a. :
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي
أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْفَقْرِ وَالْقِلَّةِ وَالذِّلَّةِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ
أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ
Bahwa Nabi berdo’a: “Ya Allah,aku berlindung kepada-Mu
dari kefaqiran, sedikit harta benda, dan kehinaan,dan aku berlindung kepada-Mu
daripada menzhalimi orang lain atau dizhalimi.”(HR. Abu Dawud: 1320, An-Nasa’i:
5365).
Dari Abdullah bin
Mas’ud ra. bahwa Rasulullah
berdo’a:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ
الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
“Ya Allah,
sesungguhnya aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, ‘iffah (menjaga
diri dari perkara haram), dan kekayaan.” (HR.Muslim: 4898, At-Tirmidzi: 3411
dan Ibnu Majah: 3822)
Dalam
perspektif sufistik terdapat dua cara orang dalam mengatur dunianya. Yaitu,
mengatur dunia untuk dunia semata dan mengatur dunia untuk akhirat.
Yang
pertama,
adalah merancang cara mengumpulkan dunia dengan rasa bangga dan cinta
kepadanya. Setiap kali dunianya bertambah, bertambah pula kelalaiannya terhadap
akhirat, bertambah juga keterbuaiannya dan keterperosokannya dalam maksiat.
Dalam
kitab At-Tanwiyr fii isqaathittadbiyr, Imam Ibnu ‘Atha’illah berujar:
“Orang yang merisaukan urusan dunia dan lupa berbekal untuk akhiratnya adalah
seperti orang yang diserang seekor singa. Singa buas itu nyaris memangsanya,
namun ketika lalat hinggap ditubuhnya, ia sibuk mengurusi lalat itu dan lupa
melindungi dirinya dari singa. Ia layak disebut orang yang dungu tak berakal.
Jika punya akal, pasti ia berusaha agar terhindar dari terkaman singa dan tidak
akan memikirkan seekor lalat yang menghinggapinya.”
Sementara
yang kedua
(mengatur dunia untuk akhirat) seperti orang yang mengelola dagangannya agar
dapat makan dari hasil yang halal dan baik, agar bisa berinfak kepada fakir
miskin, agar bisa menyambung tali silaturrahim, agar bisa menjaga diri untuk
tidak mengemis kepada orang lain. Tandanya, ia tidak
sibuk memperkaya diri, tidak menomorsatukan dunia, selalu membantu penderitaan
sesama dan perjuangan umat Islam, serta memudahkan orang-orang yang tengah
terhimpit penderitaan. Begitulah gambaraan keadaan seorang yang bersama Allah.
Jika diibaratkan sama seperti majikan yang memiliki sebuah kebun. Ia
memerintahkan budaknya untuk bercocok tanam, bertani dan menjaganya. Jika budak
itu menuruti perintahnya, tentu sang majikan tidak akan mencelanya dan tidak
akan melarangnya memakan buah dari kebun itu. Ia dibolehkan makan di sana
karena ia bekerja di sana. Sama halnya, seorang hamba pun dibolehkan untuk
mengambil dengan tujuan agar ia kuat mengabdi. Ia tidak boleh makan hanya untuk
bersenang-senang dan memuaskan seleranya semata. Wallaahu a’lamu
bishshowaabi
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.