Oleh: Muhammad Shobary.
Penyair,
sekaligus filusuf, Khalil Gibran bercerita didalam Sang Musafir tentang
raja yang bijak dan rendah hati. Suatu hari raja ini didemo rakyatnya, tapi
sang raja tetap kalem menghadapi mereka. Hal ini membuat rakyat terpengaruh. “Kawan-kawan
ku, yang tak akan menjadi kawanku lagi..,” kata sang raja.” Dengan ini
kuserahkan mahkota dan tongkat kerajaanku, aku akan segera menjadi salah
seorang diantara kamu..,” katanya lagi. Rakyat diam. Suasana gemuruh
mendadak berubah menjadi senyap. Alam penuh pesona ketulusan yang memancar dari
jiwa sang baginda.
“kini..,”
kata sang raja, “rakyatlah yang menjadi raja.” Baginda
siap bekerja keras diladang anggur seperti orang lain agar hidup menjadi lebih
enak bagi semua kalangan. Terus terang rakyat menyatakan kekaguman mereka. Tak
disangka, begitu mudah raja menyerahkan mahkota dan tongkat kerajaannya. Aneh,
kini baginda bekerja seperti mereka diladang. Aneh sekali ! Tetapi tanpa raja,
keadaan tetap muram. Kabut kekecewaan tetap menggantung diatas negeri itu.
Keadaan kacau lagi. Rakyat gemuruh, mereka mencari sang raja lagi. Kali ini
urusannya jelas, raja dinaikkan tahta kembali.
“
Perintahlah kami dengan kekuasaan dan keadilan !,” teriak mereka. Baginda pun berkuasa lagi. Keadaan memang berubah. Hawa keadilan
berhembus ke seluruh pelosok negeri. Tiap ada pengaduan rakyat bahwa aparat
kerajaan menyimpang, baginda bertindak tegas dan adil. Ukuran keadilan ditentukan
atas dasar berapa kadar kejujuran dan pemihakan kepada rakyat. Tiap
penyimpangan diluruskan. Para punggawa yang turut dilepas dari jabatannya,
rakyat sungguh berdaulat, suara mereka didengar. Mereka puas.
Tapi
suatu hari rakyat gemuruh lagi dibawah menara istana. Mereka menyebut-nyebut
nama baginda. Dengan anggun baginda muncul didepan mereka. “apa lagi yang
hendak kalian inginkan ?,” kata baginda. “tahtaku ingin kalian rebut
kembali ?” “Tidaaak, bukan itu..!!!,” teriak mereka. suara gemuruh menggema
kelangit. “Engkaulah raja kami, engkaulah teladan membersihkan negeri kita
dari ular-ular berbisa dan dari srigala. Maka kami menghadapmu buat
menghadiahkan lagu terimakasih. Mahkotamu mulia !, tongkatmu agung !,” teriak
rakyat dalam nada suka cita.
“Bukan !
Bukan ! Engkaulah ! Engkau sekalian raja yang paling sejati. Kita sekarang maju
dan itu terus terang, hasil jerih payah kalian semuanya. Aku cuma sarana bagi cita-citamu. Aku cuma
lantaran !,” jawab baginda. “Hidup raja kitaaa.! Hidup raja
kitaaa.!,” suara mereka serempak. Baginda masuk, rakyat bubar.
Masing-masing merasa memegang mahkota ditangan kiri dan tongkat ditangan kanan.
Tapi mahkota dan tongkat yang sebenarnya ada ditangan raja.
Bagaimana
pun dunia bukan sorga dan tak mungkin dirubah menjadi sorga. Dunia adalah dunia
dan didunia tiap dua orang, atau lebih, bertemu, langsung lahir
kepentingan-kepentingan dan pamrih-pamrih. Kepentingan-kepentingan dan
pamrih-pamrih tidak otomatis jelek. Tapi bila upaya meraih atau mewujudkan
kepentingan dan pamrih-pamrih tadi, orang harus terpaksa berbenturan dengan
orang lain. Kelompok yang satu, yang dominant, diatas kelompok yang lain. Dan
ketegangan pun dengan demikian akan selalu muncul.
Ketegangan
adalah bunga-bunga mekar yang menyemarakkan suasana. Ketegangan mungkin hiasan
diwajah politik yang tengah kita bangun. Ini impian saya. Impian berikutnya
kita mesti bisa bersitegang dengan semangat cinta. Soalnya, tiap diri diantara
kita mungkin perlu, malah wajib, meneropong diri kembali; adakah kita memang
benar telah bersikap mulia ? dan benarkah orang-orang lain yang berseberangan
dengan kita itu orang-orang yang tidak mulia ?
Dengan
begini ketegangan demi ketegangan akan dengan sendirinya surut. Kemuliaan kita
yang memancar dari kekuasaan yang agung akan bertemu dan akan kawin mawin dengan
kemulyaan yang muncul dari pihak lain. Kedamaian pun akan dengan sendirinya
muncul dan kedamaian itulah raja kita.
Gagasan
ini mungkin sama simplitis nya dengan moral cerita Kahlil Gibran diatas.
Warna moral hadir disini dengan olesan kowas tebal dan sangat menyolok.
Orang, terutama aktor politik yang terbiasa
memenuhi papan catur politik dengan olesan kekerasan dan dengan aneka tipu
daya, boleh tak seju dengan gagasan berwarna moral seperti itu. Tapi saya ingin
lebih dulu minta bukti, kekerasan macam apa yang dalam sejarah pernah membawa
rasa tentram dan membikin rakyat makmur dan alam semesta merasa tenang ? apa ?
dan mana buktinya ?
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.