Oleh: Emelham.
Tiba-tiba Nafsu manusia menjadi biangkerok atas segala kehinaan, keruntuhan, tragedi dan
drama yang menyakitkan. Apa salahnya ? Kenapa Allah menciptakannya untuk
manusia? Apa pula hikmahnya? Dan bagaimana manusia kelak
mempertanggungjawabkannya?
Sungguh
unik, bagaimana Allah menempelkan nafsu itu pada seseorang, ketika Nafsu harus
dilawan. Coba kita tengok di luar sana. Seorang Raja, seorang Presiden,
tantangan terbesarnya adalah melawan nafsu kedirajaan dan kepresidenannya.
Seorang politis dan wakil rakyat, harus melawan nafsu kepolitikan dan derajat keterwakilan
rakyat pada dirinya. Seorang Jendral, ia telah lekat dengan nafsu
kejendralannya. Ia harus melawan dirinya sendiri. Seorang konglomerat, ia harus
melawan nafsu konglomerasinya. Seorang Gubernur, Menteri, Bupati, Camat dan Lurah, mereka tertempeli oleh nafsu yang melekat pada predikat jabatannya: dan
mereka harus berani melawan nafsu predikat yang disandangnya. Lalu
anda bisa menguraikan sendiri, apa saja gejolak-gejolak nafsu yang senantiasa
muncul di balik predikat dan jabatan itu.
Bahkan
lebih rendah lagi, ketika seorang Guru, seorang Ustadz, seorang Kyai, seorang
Ulama, dan seorang Muballigh atau Da’i, jangan dikira mereka bisa melepaskan
begitu saja nafsunya dari predikat yang disandangnya.
Dalam
keseharian paling sederhana, ketika seorang guru berangkat mengajar, dalam
hatinya tiba-tiba terbesit, “Aku pasti lebih pandai dari anak-anak didikku,” itulah nafsu ke-guru-annya.
Seorang
penceramah tiba-tiba dengan aksentuasinya berbicara, lalu muncul sebersit
kata-kata nafsu: “Aku lebih hebat dari para pendengar ceramahku. Mereka akan
tertarik dengan kata-kata dan orasiku….”. Lalu seorang Ulama dengan kedudukan
intelektualnya, “Akulah Ulama. Aku lebih faham mengenai dalil-dalil agama. Aku
lebih berhak memutuskan hukum, menjelaskan soal-soal agama, dibanding kaum awam
itu….”.
Seorang
pebisnis, tiba-tiba terbayang tentang impian sukses, lalu imajinasinya melayang
dengan sekian rencana yang memabukkan. Bahkan sudah menyeret dirinya pada
kerakusan, keserakahan, dan menghalalkan segala cara, demi pemuasan-pemuasan
dan impian yang memuakkan. Dengan segala kealpaannya, ia memang sukses meraup
segala impiannya. Begitu impiannya terwujud di dunia nyata, ternyata ia
terlempar pada dunia impian yang baru, yang lebih jauh dari impian lama. Ia
telah memberhalakan bayangan-bayangannya sendiri dalam dunia bisnis, tanpa
disadari telah banyak korban yang tertindas akibat ulahnya. Bumi dieksploitasi
sampai pada tingkat paling menghancurkan. Dan alasan utama selalu demi
pembangunan, demi kesejahteraan dan harkat hajat hidup orang banyak.
Nah,
mari kita tengok dunia eksotik. Beribu-ribu industri seks, dengan dunia
perempuan seperti supermarket, didukung teknologi seluler, dan perangkat
komunikasi satelit yang begitu canggih. Luar biasa, bagaimana eksploitasi nafsu
syahwat yang telah menjadi komoditas hewaniyah manusia, sehingga mencapai
tingkat maniaknya; menjadi instrument iblis paling canggih.
Pada akhirnya
kita mencapai kesulitan yang tinggi untuk mengurai benang kusut yang telah
berbiak seperti jaring laba-laba, bahkan menyebarkan virus yang sulit dideteksi
manusia modern sekalipun. Padahal di sejumlah ayat Al-Qur’an, Allah Ta’ala
menyebut kata Nafs dalam mayoritas ayat-ayatNya, lebih bermakna sebagai
diri, bahkan jati diri. Namun manusia telah membangun stuktur Nafs
menjadi biang dari degradasi Jati Diri manusia, dengan mengikuti selera Nafsu
yang Syahwatiyah, Nafsu yang Ammaroh, dan Nafsu yang Lawwamah.
Karena
itu, Ibnu Athaillah as-Sakandari mengangkat wacana nafsu ini begitu indahnya
dalam kata-kata: “Asal usul kemaksiatan, syahwat dan kealpaan, adalah kerelaan
(pemanjaan) terhadap hawa nafsu. Dan asal-usul ketaatan, menjaga diri, dan
kebangkitan menuju kepada Allah adalah ketidak relaan terhadap nafsu itu
sendiri.” Duhai, betapa seringnya diri ini memanjakan nafsu dan betapa
jarang nya kita menjaga jiwa untuk bangkit menuju Allah !
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.