Oleh: Muhammad Shobari
Peribahasa dan idiom atau ungkapan simbolik
merupakan kekayaan budaya yang menggambarkan citarasa dan kehalusan budi
warga masyarakat pendukungnya. Modus komunikasi itu tidak terus terang tetapi
jelas dan komunikatif. Tong kosong berbunyi nyaring memang pernyataan
yang berselubung kegelapan tapi terang benderang menyindir orang yang banyak
bicara kurang makna. Ia juga menggambarkan suasana kejiwaan orang yang sedang
berkompensasi, yang sibuk menutup kedunguan dan segenap kekurangannya dengan
kata-kata kurang makna tadi.
"Air beriak tanda tak
dalam,"
menggambarkan kebisingan dan kedangkalan. Esensinya sama dengan tong kosong
tadi. Dan ini juga potret sifat alamiah bahwa orang yang kurang renungan,
kurang kedalaman, kurang filosofis, kurang teoritis, cenderung mencericit bagai
burung nyanyi. Ia mudah bicara keras padahal salah, tapi tak merasa malu.
"Berguncang tanda tak penuh," pun sebuah
ungkapan yang meminta kita berhati-hati
agar tak tertipu oleh sekedar bunyi dan kata-kata. Politisi bisa memenuhi
Indonesia dengan janji, tapi kalau ia mewujudkan seperempat saja dari janjinya
itu maka ia politisi hijau, mentah, sebab politisi Indonesia yang kuning, yang
matang, sepenuhnya tak pernah peduli dengan janjinya. Kalau diingatkan bahwa
janji itu hutang dan hutang harus dibayar maka dengan mudah ia menjawab:
"Siapa bilang hutang harus dibayar ?! Semua rekananku pengusaha kaya yang
banyak hutang di bank dan hutang itu tak pernah mereka bayar."
"Keakehan geludug kurang
udhan," "Banyak guntur kurang hujan," intinya sama
dengan "Banyak janji tanpa realisasi" tadi. Didunia moderen
ini dimana tong kosong disembunyikan, mungkin didalam kantor-kantor,
lebih khusus didalam corak menejemen kantor-kantor pemerintahan. Saya kira,
kesejatian menejemen terletak pada seni meraih se-efesien mungkin segenap
cita-citanya. Menejemen bekerja dalam keheningan. Orang tak pernah tahu kapan
kerjanya, tapi semua pihak tahu apa hasilnya.
Dizaman partai sekarang ini menejemen diukur
secanggih apa rumusan teoritik dan landasan filosofinya dan sebesar apa
guncangan nasional yang dirasakan selama sebuah kebijakan dirumuskan. Dengan
kata lain, menejemen harus berisik, harus bikin kalut dan keresahan supaya
rakyat lupa derita mereka. Kalau tak ada keresahan, berarti pemerintah tak
bekerja. Disini bekerja itu artinya berdebat, mengumbar wacana. Dan makin hebatlah kerjanya bila wacana
atasan dan bawahan itu menggelegar kesegala penjuru. Makin tampak ngalor-ngidul,
tak sejalan satu sama lain, makin baik.
Sekarang ini tak pernah ada lagi menejemen
bekerja dalam keheningan. Tak pernah ada lagi menejemen sebagai seni mencapai
tujuan secara efesien. Sekarang, menejemen itu berarti politik mencapai tujuan
secara kompromi antar semua partai dan tak harus efisien. Guru Besar kita, nabi
demokrasi yang "suci", Amerika Serikat, sudah bersabda:
"Demokrasi memang tak dimaksudkan untuk efisien. Demokrasi memang
melelahkan." Saya khawatir, suatu saat nabi demokrasi itu bersabda:
"Demokrasi memang harus hancur-hancuran dan demi demokrasi, partai-partai
boleh menteror siang-malam siapapun presiden kita. Demokrasi itu artinya
kericuhan nasional."
Tong kosong itu buatan
kita, tapi sebagian datang dari ajaran nabi demokrasi kita itu. Bagi saya, tong
kosong itu sebuah kesia-siaan dan saya tak mau hidup sia-sia mengikuti
kekonyolan sikap politik partai dan logika "miring" ajaran
dari luar negeri.
Sering sekali saya menerima himbauan lewat pesan
pendek ditelepon genggam untuk ikut turun ke jalan. Dengan mohon maaf saya tak
bisa ikut. Saya belum pernah demo. Selain itu demo melibatkan begitu banyak
orang yang belum tentu segaris dan sehaluan. Kemarin, Mas Eggy Sudjana kirim
pesan serupa; Bila kecewa atas kenaikan harga BBM, agar setiap hari mengenakan bebat
kain hitam dilengan tangan. Kemanapun selempang itu dikenakan agar pemerintah
paham akan jerit dan tangis rakyat Indonesia yang tetap sengsara.
Saya hampir menjawab "okey" dan
siap memakai selempang hitam bukan hanya dilengan, tetapi juga diperut, dileher
dan dikepala agar simbolnya lebih jelas. Tapi kemudian tak jadi. Saya khawatir
jangan-jangan simbol itu tak ada gunanya.
Dalam menejemen tong kosong, pemimpin tak punya
waktu berpikir tentang rakyat. Mereka sibuk melayani begejil-begejil orang
partai yang merasa dirinya majikan di negeri ini. Kita malu dan lebih malu lagi
ketika dimana-mana kita dapati kaleng kosong. Ini bukan peribahasa tapi
ungkapan telanjang bahwa rakyat tak kebagian minyak tanah. Dimana-mana ada
orang pingsan.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.