TIGA JENIS PERJALANAN
By Unknown on Kamis, 18 Maret 2010
Saudaraku. Dua kali acara televisi itu terlihat, dua kali pula saya mendapat nasehat. Ini tentang seorang pesohor muda yang melengkapi rumahnya dengan fasilitas untuk berkumpul banyak orang. Ketika tamu dirumahnya itu sebagain besar adalah anak-anak misalnya, inilah kurang lebih nasehatnya. “Perjalanan yang paling mulia adalah perjalanan ketempat ibadah,” katanya. “Perjalanan paling baik adalah perjalanan ketempat kerja,” katanya. Dan terakhir, “Perjalanan paling menentramkan (menurut sang pesohor muda ini) adalah perjalan menuju rumah, perjalanan menuju pulang menuju keluarga.
Dihari yang lain di acara dan televisi yang sama yang juga terlihat secara tidak sengaja saya dengar lagi nasehatnya. Saat itu ia sedang kedatangan tamu-tamu tunanetra. Katanya, “Kita semua ini memiliki tiga mata: “Mata Beneran untuk melihat. Mata Hati untuk merasa dan Mata Kaki untuk melangkah menuju perbuatan.” Saya sungguh mengagumi anak muda ini, tetapi soal siapa dia akan saya bicarakan lain kali. Kita akan langsung menuju nasehatnya saja.
Kita mulai dari nasehat pertama tentang tiga jenis perjalanan itu, yakni perjalanan termulia yaitu berjalan ketempat ibadah. Jadi barang siapa rampung ibadah koq tidak juga menjadi mulia, berarti yang mulia itu cuma perjalanannya. Manusianya sendiri bisa tetap seperti sediakala.
Sekarang perjalanan terbaik kedua, yakni perjalanan ketempat kerja. Jadi kerja adalah pusat kebaikan. Maka jika ada orang bekerja hasilnya koq malah masuk penjara ia pasti sedang mengingkari hakikat pekerjaannya. Jika ada supir bus koq masih tega mengencingi pintu bus nya sendiri dan jika ada pegawai enggan merawat kendaraan dinasnya sendiri ia tak layak mendapatkan kebaikan dari pekerjaannya.
Sekarang perjalanan ketiga. Sebuah perjalanan yang menurut saya yang tidak cuma menentramkan tetapi juga menyenangkan, yakni berjalan menuju rumah, meunuju ke pulang kepada keluarga. Maka barang siapa punya rumah dankeluarga, tetapi tidak memiliki ketentraman sesungguhnya ia sedang tidak memiliki apa-apa. Maka siapa saja yang bermain api dengan keluarganya, ia sedang berjudi dengan hidup dan matinya. Padahal sejauh pengamatan saya untuk mengakses kebahagiaan keluarga ini cuma butuh tindakan-tindakan sederhana.
Saya tidak berpretensi menjadi sok bahagia dengan keluarga saya. Tetapi saya pasti berusaha demikian kerasnya agar keluarga adalah sebuah oase bagi hidup saya. Saya misalnya, untuk mengakses kebahagiaan itu melakukan uji coba kecil-kecilan. Dan hasilnya saya langsung mendapatkan kebahagaiaan yang nyaris penuh dari isteri saya ketika ia punya kebiasaan untuk saya biarkan mengerti seluruh duit yang saya peroleh yang kebetulan tidak banyak itu. Entah kalau besok makin banyak.
Dan kepada sang isteri sering saya perintahkan secara sadar untuk mengobrak abrik dompet saya. Hasilnya luar biasa, ia segera menganggap saya sebagai lelaki setia dan terpercaya karena saya tidak butuh uang laki-laki. Nah dimasa lalu, uang laki-laki ini biasa ditaruh dilipatan kaos kaki, disaku-saku rahasia dan ditempat-tempat tersembunyi lainnya. Ini tentu era sebelum ATM. Tujuannya jelas, agar ia digunakan sesuka hati tanpa diketahui isteri.
Dampak uang laki-laki ini ternyata dahsyat sekali. Terutama jika ia dipergoki. Isteri bisa berimajinasi macam-macam dari imajinasi paling ringan, berat atau sedang. Imajinasi ini sungguh biang bahaya karena ia sudah dibimbing oleh bibit ketidak percayaan untuk yang pertama. Dimata isteri kenapa suami menyimpan uangnya secara sembunyi-sembunyi ? Hanya punya satu alasan saja. Semua ini cuma demi kepentingannya sendiri.
Dan ego semacam ini hanya mungkin dijalankan dengan dua cara: Secara diam-diam atau dengan menyiapkan kebohongan. Dan inilah bahaya kebohongan itu. ia tidak mengenal berat dan ringan karena jika ketahuan selalu meninggalkan bekas yang dalam. Batu pertama untuk saling mencurigai telah diletakkan. Padahal hidup bersama yang sudah saling tidak mempercayai adalah sumber dari seluruh tragedy.
Jika serumah sudah tidak saling percaya maka didalam satu selimutpun tidak akan saling meraba. Ketika inilah rumah akan berubah fungsi dari pusat ketentraman menjadi pusat kegaduhan. Seseorang yang gagal menentramkan rumahnya sendiri sulit untuk diharap membuat kebaikan didalam pekerjaan dan membuat kemuliaan didalam peribadatan.
Suka dengan artikel ini? Silahkan bagikan.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.