Suatu hari seorang pemuda menemui Nabi saw. Ia berkata, "Ya Nabi Allah, izinkan saya berzina!" sahabat-sahabat yang ada ketika saling bertatapan terheran-heran dan yang sebagian sahabat lain bertindak cekatan menahan pemuda itu agar tidak melanjutkan ucapan-ucapan yang tidak umum terdengar telinga. Tetapi Nabi saw. bersabda, "Suruh dia mendekat padaku." Pemuda itu menghampiri Nabi dan duduk di hadapannya. Nabi berkata kepadanya, "Apakah kamu suka orang lain menzinai ibumu?" Segera ia menjawab, "Tidak, semoga Allah menjadikan diriku sebagai tebusanmu."
Nabi saw. bersabda, "Begitu pula orang lain, tidak ingin perzinaan itu terjadi pada ibu-ibu mereka." "Sukakah kamu jika perzinaan itu terjadi pada anak perempuanmu.?" "Tidak, semoga Allah menjadikan ku sebagai tebusanmu." "Begitu pula orang lain, tidak ingin perzinaan itu terjadi pada anak perempuan mereka." "Sukakah kamu, jika perzinaan itu terjadi pada saudara perempuanmu?" Begitu pula Nabi saw. menyebut bibi dari pihak ibu dan pihak bapak. Untuk semua pertanyaan Nabi, pemuda itu menjawab, "Tidak!" Rasulullah saw. meletakan tangannya yang mulia pada dada pemuda itu seraya berdoa, "Ya Allah, sucikan hatinya, ampuni dosanya, dan pelihara kehormatannya. "Setelah itu, tidak ada yang paling dibenci pemuda itu selain perzinaan (Al-Manar,4:33).
Para filosof Islam telah lama membahas sejenis ilmu 'menghadirkan,' yang mereka sebut ilmu hudhuri. Anda dapat mengetahui keberadaan Tuhan dengan bukti-bukti 'aqli maupun naqli. Tetapi, pengetahuan ini tidak akan mempengaruhi kehidupan kita, hanya ketika kita merasakan atau mengalami kehadiran Tuhan, seluruh eksistensi kita akan mengalami perubahan.
Ternyata tiap hari, bahkan mungkin tiap detik, Tuhan bersabda kepada kita. Sabda itu bisa saja bermaksud menegur,mengingatkan atau mencela ulah kita sebagai tanda kasih dan sayang-Nya. Sabda Tuhan selalu lembut, selalu penuh sasmita. Begitu lembut dan simbolisnya hingga seringkali kita sukar menangkap gelombangnya.
Dalam hidup pribadi boleh jadi, mudah sekali mulut kita ingin mengobral sabda Tuhan, Tuhan dan Tuhan. Tiap sebentar Tuhan dihadirkan secara lisan. Tiap sebentar nama Tuhan disebut. Saat berjanji kita sebut nama Tuhan. Saat bersumpah kita sebut nama Tuhan. Tapi hati kita, mungkin bisu dan tuli. Dan diam-diam kita usir Tuhan dari ruang hati kita. Pikiran kita pun sibuk merancang hal-hal yang hebat dan menyenangkan. Tapi, siapakah yang selalu sadar untuk membuat kalkulasi mengenai perlunya menyediakan tempat khusus bagi kehadiran Tuhan ditengah kesenangan dan kenikmatan kita ?
Naifnya, ini terjadi justru ketika kita sedang mengalami masa dimana kehidupan agama-agama secara formal tampak semarak. Rumah-rumah ibadah kita ramaikan. Bahasa-bahasa agama pun telah memenuhi judul-judul sinetron di televise. Kemudian dirumah, dikantor, dimobil, dimana-mana, kita tempel stiker yang memperlihatkan kedekatan kita pada agama. Dimana-mana kita seperti dihadapkan pada suatu komunitas besar, komunitas sebuah bangsa yang saleh. Ini makna tersurat yang tampak.
Namun tampaknya, makna tersirat yang rapih tersembunyi, malah menampilkan simbol-simbol formula yang tanpa tedeng aling-aling memancarkan silang sengketa antar kelompok. Disana, tersimpan pula, janin kecemburuan, kedengkian dan agresifitas. Dan masing-masing menyimpan tegangan tinggi. Akhirnya. para rohaniwan, kaum terpelajar dan para pecinta kedamaian atau orang-orang lain yang mendambakan tertib sosial, tertib hukum, tertib politik merasa malu melihat betapa sukarnya merintis jalan menuju tatanan hidup yang enak dan kompak dimasa depan sebagai bangsa yang kukuh, utuh dan matang.
Kita dapat membaca hadis-hadis Nabi saw. dengan cermat. Kita dapat membahasnya dengan sangat mendalam. Tetapi, hadis-hadis itu hanya akan mengubah diri kita, bila kita dapat merasakan perasaan Nabi dan mengalami pengalaman Nabi. Berguncang tubuh kita, berdiri bulu kuduk kita, meregang seluruh serabut otot kita ketika diceritakan pertemuan Nabi dengan Allah di Sidrah al-Muntaha. Menetes air mata kita, serasa langit jatuh menghimpit Anda, sesak napas kita ketika diriwayatkan bahwa Nabi menyampaikan khutbah terakhirnya.
Dapatkah setiap orang 'menghadirkan' pengalaman orang lain dalam dirinya? Tidak selalu, meski secara potensial, setiap orang dibekali kemampuan untuk itu. Pada sebagiannya, potensi ini teraktualisasi. Pada sebagian lagi, potensi ini terabaikan sama sekali. Ketika Nabi saw. diberitahu akan bencana beruntun yang akan menimpa umat Islam sepeninggalnya, beliau tidak bisa tidur. Beliau, dilaporkan tidak pernah tersenyum setelah itu. Alquran menggambarkan pengalaman Nabi saw. dengan indah:
Telah datang kepadamu Rasul dari kaumnya sendiri, berat terasa baginya kepedihan yang kamu tanggung. Ia ingin sekali kamu memperoleh kabahagiaan, sangat lembut dan sangat penyayang kepada kaum mukmin (QS. At-Taubah (9):128).Subhaanallaah, Pada diri Nabi, seluruh potensi 'menghadirkan' itu teraktualisasi.
Pertanyaannya apakah kita bersedih hati, ketika jutaan ibu mati pada waktu melahirkan karena kekurangan gizi, ketika tak terhitung pasien yang meninggal 'dipulangkan' dari rumah sakit, karena tidak sanggup membayar pengobatan, ketika banyak sekali anak-anak sekolah meninggalkan sekolahnya dan membakar tubuh mereka pada terik matahari, hanya sekedar untuk bertahan hidup? Dapatkah kita rasakan kepedihan anak-anak kecil yang kita yatimkan dengan kerakusan kita? Tergetarkah hati kita, ketika ribuan orang kehilangan pekerjaan karena proyek besar kita? Apakah kita merasakan perihnya perut dan lesunya tubuh pegawai-pegawai kita yang kita bayar dengan murah? Apakah kita kecewa, dan sekaligus nelangsa, ketika Anda mendengar TKW Indonesia disiksa majikannya di luar negeri? Saya khawatir Anda menjawab "tidak" untuk semua pertanyaan itu. Tetapi "tidak" Anda tidak sama dengan "tidak"-nya pemuda yang ditanya oleh Rasulullah saw. "Tidak" Anda menunjukkan betapa sulitnya 'menghadirkan' pengalaman orang lain, walaupun dia saudara Anda sabangsa dan setanah air.
Di Australia ada seorang perempuan yang tersentuh puisi ketika ia masih menjadi murid disekolah menengah. Puisi itu berkisah tentang Abu bin Adhim yang ketika bangun di akhir malam, ia melihat kamarnya bermandikan cahaya. Dilihatnya seorang malaikat sedang menulis kitab. "Buku apakah gerangan yang engkau tulis ?" Abu bertanya. "Disini aku mencatat semua orang yang mencintai Tuhan," jawab malaikat. Abu memberanikan diri untuk mencari namanya disitu. Ia tidak menemukannya. Ia memohon, "Wahai malaikat, aku tidak dimasukkan ke dalam kelompok yang mencintai Tuhan. Tapi aku bertekad, aku akan mencintai sesama manusia seperti aku mencintai diriku sendiri. Esok malamnya, Abu kembali terbangun. Dan, subhanallah, ia melihat namanya tercantum di kitab itu, di atas nama-nama yang lain.
Cerita itu menanamkan benih indah pada hati perempuan itu. Kelak setelah dewasa, ia mengganti nama menjadi Amatullah Amstrong dan menulis buku And The sky Is The Limit. Dalam buku itu ia bercerita tentang upayanya menjadi manusia yang paling baik; sebuah perjalanan panjang kepada Tuhan melalui kecintaan kepada sesama manusia.
Dibalik derita orang lain ternyata ada sabda Tuhan bersemayam disana. Betapa bahagia mereka yang dapat merasakan derita sesamanya sebab pada saat yang sama ia mendapatkan percikan kasih Tuhan untuk menyirami hatinya. Merasakan kehadiran sasmita Tuhan adalah salah satu pola keberagamaan yang membuat kita tulus dan perkasa. “Cintailah yang dibumi agar kita dicintai yang dilangit.” Hal ini bisa disebut contoh sasmita suci yang diturunkan dari langit kebumi.
Nabi saw. bersabda, "Begitu pula orang lain, tidak ingin perzinaan itu terjadi pada ibu-ibu mereka." "Sukakah kamu jika perzinaan itu terjadi pada anak perempuanmu.?" "Tidak, semoga Allah menjadikan ku sebagai tebusanmu." "Begitu pula orang lain, tidak ingin perzinaan itu terjadi pada anak perempuan mereka." "Sukakah kamu, jika perzinaan itu terjadi pada saudara perempuanmu?" Begitu pula Nabi saw. menyebut bibi dari pihak ibu dan pihak bapak. Untuk semua pertanyaan Nabi, pemuda itu menjawab, "Tidak!" Rasulullah saw. meletakan tangannya yang mulia pada dada pemuda itu seraya berdoa, "Ya Allah, sucikan hatinya, ampuni dosanya, dan pelihara kehormatannya. "Setelah itu, tidak ada yang paling dibenci pemuda itu selain perzinaan (Al-Manar,4:33).
Para filosof Islam telah lama membahas sejenis ilmu 'menghadirkan,' yang mereka sebut ilmu hudhuri. Anda dapat mengetahui keberadaan Tuhan dengan bukti-bukti 'aqli maupun naqli. Tetapi, pengetahuan ini tidak akan mempengaruhi kehidupan kita, hanya ketika kita merasakan atau mengalami kehadiran Tuhan, seluruh eksistensi kita akan mengalami perubahan.
Ternyata tiap hari, bahkan mungkin tiap detik, Tuhan bersabda kepada kita. Sabda itu bisa saja bermaksud menegur,mengingatkan atau mencela ulah kita sebagai tanda kasih dan sayang-Nya. Sabda Tuhan selalu lembut, selalu penuh sasmita. Begitu lembut dan simbolisnya hingga seringkali kita sukar menangkap gelombangnya.
Dalam hidup pribadi boleh jadi, mudah sekali mulut kita ingin mengobral sabda Tuhan, Tuhan dan Tuhan. Tiap sebentar Tuhan dihadirkan secara lisan. Tiap sebentar nama Tuhan disebut. Saat berjanji kita sebut nama Tuhan. Saat bersumpah kita sebut nama Tuhan. Tapi hati kita, mungkin bisu dan tuli. Dan diam-diam kita usir Tuhan dari ruang hati kita. Pikiran kita pun sibuk merancang hal-hal yang hebat dan menyenangkan. Tapi, siapakah yang selalu sadar untuk membuat kalkulasi mengenai perlunya menyediakan tempat khusus bagi kehadiran Tuhan ditengah kesenangan dan kenikmatan kita ?
Naifnya, ini terjadi justru ketika kita sedang mengalami masa dimana kehidupan agama-agama secara formal tampak semarak. Rumah-rumah ibadah kita ramaikan. Bahasa-bahasa agama pun telah memenuhi judul-judul sinetron di televise. Kemudian dirumah, dikantor, dimobil, dimana-mana, kita tempel stiker yang memperlihatkan kedekatan kita pada agama. Dimana-mana kita seperti dihadapkan pada suatu komunitas besar, komunitas sebuah bangsa yang saleh. Ini makna tersurat yang tampak.
Namun tampaknya, makna tersirat yang rapih tersembunyi, malah menampilkan simbol-simbol formula yang tanpa tedeng aling-aling memancarkan silang sengketa antar kelompok. Disana, tersimpan pula, janin kecemburuan, kedengkian dan agresifitas. Dan masing-masing menyimpan tegangan tinggi. Akhirnya. para rohaniwan, kaum terpelajar dan para pecinta kedamaian atau orang-orang lain yang mendambakan tertib sosial, tertib hukum, tertib politik merasa malu melihat betapa sukarnya merintis jalan menuju tatanan hidup yang enak dan kompak dimasa depan sebagai bangsa yang kukuh, utuh dan matang.
Kita dapat membaca hadis-hadis Nabi saw. dengan cermat. Kita dapat membahasnya dengan sangat mendalam. Tetapi, hadis-hadis itu hanya akan mengubah diri kita, bila kita dapat merasakan perasaan Nabi dan mengalami pengalaman Nabi. Berguncang tubuh kita, berdiri bulu kuduk kita, meregang seluruh serabut otot kita ketika diceritakan pertemuan Nabi dengan Allah di Sidrah al-Muntaha. Menetes air mata kita, serasa langit jatuh menghimpit Anda, sesak napas kita ketika diriwayatkan bahwa Nabi menyampaikan khutbah terakhirnya.
Dapatkah setiap orang 'menghadirkan' pengalaman orang lain dalam dirinya? Tidak selalu, meski secara potensial, setiap orang dibekali kemampuan untuk itu. Pada sebagiannya, potensi ini teraktualisasi. Pada sebagian lagi, potensi ini terabaikan sama sekali. Ketika Nabi saw. diberitahu akan bencana beruntun yang akan menimpa umat Islam sepeninggalnya, beliau tidak bisa tidur. Beliau, dilaporkan tidak pernah tersenyum setelah itu. Alquran menggambarkan pengalaman Nabi saw. dengan indah:
Telah datang kepadamu Rasul dari kaumnya sendiri, berat terasa baginya kepedihan yang kamu tanggung. Ia ingin sekali kamu memperoleh kabahagiaan, sangat lembut dan sangat penyayang kepada kaum mukmin (QS. At-Taubah (9):128).Subhaanallaah, Pada diri Nabi, seluruh potensi 'menghadirkan' itu teraktualisasi.
Pertanyaannya apakah kita bersedih hati, ketika jutaan ibu mati pada waktu melahirkan karena kekurangan gizi, ketika tak terhitung pasien yang meninggal 'dipulangkan' dari rumah sakit, karena tidak sanggup membayar pengobatan, ketika banyak sekali anak-anak sekolah meninggalkan sekolahnya dan membakar tubuh mereka pada terik matahari, hanya sekedar untuk bertahan hidup? Dapatkah kita rasakan kepedihan anak-anak kecil yang kita yatimkan dengan kerakusan kita? Tergetarkah hati kita, ketika ribuan orang kehilangan pekerjaan karena proyek besar kita? Apakah kita merasakan perihnya perut dan lesunya tubuh pegawai-pegawai kita yang kita bayar dengan murah? Apakah kita kecewa, dan sekaligus nelangsa, ketika Anda mendengar TKW Indonesia disiksa majikannya di luar negeri? Saya khawatir Anda menjawab "tidak" untuk semua pertanyaan itu. Tetapi "tidak" Anda tidak sama dengan "tidak"-nya pemuda yang ditanya oleh Rasulullah saw. "Tidak" Anda menunjukkan betapa sulitnya 'menghadirkan' pengalaman orang lain, walaupun dia saudara Anda sabangsa dan setanah air.
Di Australia ada seorang perempuan yang tersentuh puisi ketika ia masih menjadi murid disekolah menengah. Puisi itu berkisah tentang Abu bin Adhim yang ketika bangun di akhir malam, ia melihat kamarnya bermandikan cahaya. Dilihatnya seorang malaikat sedang menulis kitab. "Buku apakah gerangan yang engkau tulis ?" Abu bertanya. "Disini aku mencatat semua orang yang mencintai Tuhan," jawab malaikat. Abu memberanikan diri untuk mencari namanya disitu. Ia tidak menemukannya. Ia memohon, "Wahai malaikat, aku tidak dimasukkan ke dalam kelompok yang mencintai Tuhan. Tapi aku bertekad, aku akan mencintai sesama manusia seperti aku mencintai diriku sendiri. Esok malamnya, Abu kembali terbangun. Dan, subhanallah, ia melihat namanya tercantum di kitab itu, di atas nama-nama yang lain.
Cerita itu menanamkan benih indah pada hati perempuan itu. Kelak setelah dewasa, ia mengganti nama menjadi Amatullah Amstrong dan menulis buku And The sky Is The Limit. Dalam buku itu ia bercerita tentang upayanya menjadi manusia yang paling baik; sebuah perjalanan panjang kepada Tuhan melalui kecintaan kepada sesama manusia.
Dibalik derita orang lain ternyata ada sabda Tuhan bersemayam disana. Betapa bahagia mereka yang dapat merasakan derita sesamanya sebab pada saat yang sama ia mendapatkan percikan kasih Tuhan untuk menyirami hatinya. Merasakan kehadiran sasmita Tuhan adalah salah satu pola keberagamaan yang membuat kita tulus dan perkasa. “Cintailah yang dibumi agar kita dicintai yang dilangit.” Hal ini bisa disebut contoh sasmita suci yang diturunkan dari langit kebumi.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.