Coba kita dengar sayup-sayup lagu Ahmad Albar, yang bisa dikata hampir tak terdengar lagi:
“Dunia panggung sandiwara
ceritanya mudah berubah……
ada peran wajar
dan ada perang yang berpura-pura.”
Setelah mendengar lagu yang merupakan saduran dari karya Shake-speare yang berjudul As you like it itu kemudian kita renungkan kondisi diri kita, orang-orang disekitar kita, dan masyarakat dunia secara umum, peran apa yang sering tampil. Apakah kita selalu berusaha menampilkan jati diri atau berupaya tampil dengan seribu topeng yang berwarna-warni. Banyak orang yang berusaha memoles dirinya seakan-akan menjadi golongan orang elite, orang-orang terhormat, terpandang, kelompok manusia kelas atas. Tak terhitung pula pribadi-pribadi yang berupaya mendaki dirinya secara tebal agar tampak seperti guru bangsa, politikus kawakan, artis hebat, dan intelektual canggih,
Nah, dunia dan komunitas tasawuf, sebuah masyarakat yang lekat dengan kesucian, keilahian, divine, dalam perjalanan sejarah panjangnya juga tak pernah sunyi dari warna kepura-puraan. Bahkan, fenomena kepura-puraan dalam dunia mistik merupakan satu hal yang tak boleh dispelekan oleh mereka yang mencoba meneliti lapangan ini. William C. Chittik dalam buku The Sufi Path of love: The spiritual teachings of rumi (Indonesia: jalan cinta sang sufi: ajaran-ajaran spiritual jalallaludin rumi) menceritakan kembali tentang “khotbah-khotbah” Jalullaludin Rumi tentang orang-orang yang berpura-pura menjadi Darwis.
Kata Rumi, “Dia mencuri pernyataan kaum darwis, sehingga orang menganggap bahwa dia adalah salah satu dari mereka. Dia berbicara tentang persoalan-persoalan remeh dihadapan Bayazid; Yazid sendiri malu karena…… Manusia rendah mencuri kata-kata kaum darwis untuk menipu orang yang berfikir sederhana……supaya dapat menempatkan diri dihadapanku, mereka mencuci jenggot; tetapi mereka iri dengan wajah-wajah kotor mereka” (Chittick, 2000).
Bila pada zaman Rumi sufi merupakan satu jenis topeng yang acap dipakai orang-orang oportunis untuk memberikan identitas pada diri mereka, maka pada zaman ini topeng-topeng tasawuf tak kalah laris bila dibanding dengan ratusan tahun yang lalu. Kesemarakan orang membeli topeng tasawuf karena beberapa alasan. Diantaranya, tasawuf adalah symbol masyarakat kelas atas yang saleh, tasawuf merupakan gengsi dalam pergaulan sosial, kelompok tasawuf di Indonesia sering menjadi kumpulan orang-orang yang tidak mbegegeg dengan dosa-dosa dimasa orde beru, jemaah orang-orang yang mau beratubat.
Karamaian orang memburu topeng tasawuf mengakibatkan pula larisnya “jubah-jubah” sufi bagi orang berminat pada potensi guru tasawuf, sebuah profesi yang cukup menjanjikan secara meteri, sosial recognition, dan bisa jadi self esteem. Dengan jubah-jubah kesufian itu berbungkuslah kepribadian aslinya yang bopeng dan sempurna, kemudian tampak dihadapan orang lain sesosok manusia yang terlihat suci, ma’shum, dan ahli ibadah.
Laknat, bila boleh dibahasakan demikian, yang menimpa penduduk bumi ini akibat banyaknya orang yang memakai topeng sufi bisa jadi tak sedahsyat laknat akibat banyaknya jubah sufi yang dikenakan orang. Mengapa? Dalam khzanah sufi popular ungkapan “posisi murid dihadapan guru itu seperti mayit” Dalam konteks ketaatan seorang murid didepan mursyid ini penyair ternama, Hafizh pernah mengatakan, “Seandainya gurumu memerintahkan untuk melumuri sajadahmu dengan anggur, lakukanlah!”, sebuah kepatuhan yang dahsyat namun penuh tanda tanya. Bila sang guru menularkan ajaran yang salah, apalagi sesat, maka sesatlah penghuni planet bumi ini. Seba, murid-murid yang menerimanya adalah orang-orang yang memiliki status tinggi di masyarakat. Sehingga, tindakan, pendapat, ocehan obrolan mereka bisa menjadi wacana umum.
Kata Rumi, “Seorang murid yang dibimbing manusia Tuhan akan meraih kesucian dan roh suci. Dan bagi dia yang dibimbing oleh seseorang yang membebani dan munafik, serta belajar ilmu darinya, maka akan seperti dia: hina, lemah, tak berkemampuan, muram, terkurung dalam karaguan, dan serba kurang dalam segala hal……dia akan mencuri seluruh apa yang kau miliki. Dia terbelenggu, bagaimana mungkin akan membebaskanmu? Dia tidak akan memberimu cahaya, bahkan menanamkan kegelapan” (Chittick, 2000).
Bagaimana kita bisa mengidentifikasi para sufi gadungan atau setan yang berjbubah tasawuf ini? Memang bukan persoalan yang gampang. Karena itu para salik harus berhati-hati. Bisa jadi seorang guru tasawuf ternama, yang kepiawaiannya membuai ibu-ibu dengan cerita-certita sufistik telah masyhur kemana-mana, mengantungi gelar professor, doctor, dan KH. (Kiai haji), serta santun berkomunikasi dengan para peminat tasawuf, ternyata dia adalah setan berjubah guru tasawuf.
SETAN BERJUBAH GURU TASAWUF
By Unknown on Selasa, 30 Maret 2010
Suka dengan artikel ini? Silahkan bagikan.
1 komentar:
andai saja diperlengkap dengan bagaimana ciri2 guru tasawuf yang hakiki yang tidak berstatus setan berjubah guru tasawuf...wah mantap margatap...juga disertai tips agar tidak terjerumus dalam mencari guru...awalnya salikin kan awam di bidang tasawuf..walau lebel akademisinya prof dr.dll.saya kirajikaa itu disetakan akan sangat membantu..makin top markotop
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.