Semua ajaran moral firman Allah (dalam Islam utamanya) memandang hidup cuma ibarat orang pergi ke pasar, yang akhirnya tentu bakal kembali kerumah asalnya. Yang lebih penting dari itu semua adalah bagaimana menginternalisasikan ajaran itu kedalam jiwa dan mewujudkannya dalam tatanan hidup sehari-hari, bagaimana membuat agama bersenyawa dengan kehidupan dan bahwa ruh agama harus mewarnai seluruh tampilan cara hidup kita. Ringkasnya, hidup itu agama dan agama itu hidup.
Agama harus menjadi pegangan hidup, dihayati secara mendalam, dilakoni dan dijadikan barometer bagi kehidupan. Berbicara mengenai hakekat bahwa agama bukan jubah, bukan surban, bukan jenggot, bukan peci, bukan tabligh akbar, bukan tahlilan, bukan shalawatan, bukan pula aroma hidup serba Arab, melainkan mahkota jiwa, hiasan keluhuran budi, benteng sopan santun, kelembutan dan semangat menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan dan kebenaran agar agama memancar bukan cuma di masjid atau dalam takbiran melainkan juga dalam hidup termasuk dalam politik agar hidup tak pernah kehilangan keindahannya.
Secara kultural gagasan agama tak akan pernah mendorong kita bersikap terlalu hitam-putih, bahkan rumusan agamis antara beriman dan kafir pun patut dipahami secara hati-hati sebab jarak wilayah batin antara keduanya sering terasa sangat dekat. Orang beriman sering kepeleset kewilayah kafir. Banyak orang yang tak merasa bahwa dirinya hidup dalam kekafiran. Politisi bohong, birokrat menyimpang, direktur memalsukan dokumen, pengusaha bersikap culas, apa bahasa agamanya bila bukan kafir (?). Amankah posisi para rohaniwan dari jebakan kekafiran (?), samasekali tidak ! rohaniwan yang tak rendah hati dan merasa paling benar jelas dia kemana-mana sedang berjubah kekafiran.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.