Terkadang Maksiat Itu Diperlukan
By Unknown on Selasa, 24 November 2009
Sebesar apa pun kemaksiatan dan dosa seseorang, jika memasuki pintu taubat, Allah tetap menyambutnya dengan Pintu Ampunan yang agung, bahkan dengan kegembiraan-Nya yang Maha dahsyat kepada hamba yang penuh dosa itu.
Karena sebesar langit dan bumi ini, jika kita penuhi dengan dosa-dosa kita, dikalikan lagi dengan lipatan jumlah penghuni planet ini, kelipatan dosa itu, sesungguhnya ampunan Allah masih lebih besar dan lebih agung lagi. Oleh sebab itu Ibnu Athaillah membesarkan hati orang yang telah berbuat dosa agar tidak putus asa terhadap ampunan Allah, bahkan orang yang berdosa namun bertobat dengan penuh rasa hina dina dihadapan Allah itu dinilai lebih baik, dibanding orang yang ahli ibadah yang merasa hebat, merasa suci, merasa paling mulia dan merasa sombong dengan ibadahnya.
Mengapa ? Karena ada dosa yang lebih tinggi lagi dibanding maksiat, yaitu dosanya orang takjub atau kagum pada diri sendiri. Bahkan Rasulullah saw. Bersabda : “Jikalau kalian tak pernah berbuat dosa, niscaya yang paling saya takutkan pada kalian adalah yang lebih dahsyat lagi, yaitu ‘ujub (kagum pada diri sendiri).”
Bahkan betapa banyak orang yang dulunya ahli maksiat lalu diangkat derajatnya menjadi manusia mulia di hadapan Allah Ta’ala. Begitu juga banyak ahli ibadah tetapi berakhir hina di hadapanNya gara-gara ia sombong dan merasa lebih dibanding yang lainnya. Orang yang beramar ma’ruf nahi mungkar, apakah ia aktivis muslim, da’i, ustadz, kyai, ulama’, muballigh, ketika mereka menyerukan amar ma’ruf nahi mungkar, lantas dirinya merasa lebih baik dari yang lain, adalah wujud kesombongan yang hina pada dirinya.
Dibanding seorang preman yang bertobat, pelacur yang bertobat, maling yang bertobat dengan kerendahan jiwa di hadapan Allah, mereka yang merasa paling Islami itu justru menjadi paling hina, jika ia tidak segera bertobat.
Nabi Adam as, mendapatkan kemuliaan luar biasa sebagai Nabi, Rasul, Khalifah, Abul Basyar, justru turun ke muka bumi, karena tindak dosanya di syurga. Namun Nabi Adam bertobat dalam remuk redam jiwanya dan hina dina hatinya di depan Allah, justru Allah mengangkat dan menyempurnakan ma’rifatnya ketika di dunia, bukan ketika di syurga dulu.
Nabi Adam as, menjadi Insan Kamil ketika di dunia, bukan ketika di syurga. Oleh sebab itu terkadang Allah mentakdirkan maksiat pada seorang hamba dalam rangka agar si hamba lebih luhur dan dekat kepada Allah. Wacana ini dilontarkan agar manusia tidak putus asa atas masa lalu dan nodanya di masa lampau, siapa tahu, malah membuat dirinya naik derajat.
Wacana ini pula tidak bisa dipandang dengan nafsu dan hasrat hawa yang berkata, misalnya, “Kalau begitu maksiat saja, siapa tahu, kita malah naik derajat…” Kalimat ini adalah kalimat yang muncul dari hawa nafsu! Wacana mengenai naiknya derajat paska maksiat, hanya untuk orang yang sudah terlanjur maksiat, agar tidak putus asa dan tetap menjaga rasa baik sangka kepada Allah Ta’ala (husnudzon).
Apalagi di akhir zaman ini, jika disurvey, membuktikan bahwa orang yang kembali kepada Allah dengan taubatnya, biasanya didahului oleh kehidupan yang hancur-hancuran, maksiat yang bernoda. Akhir zaman ini juga banyak dibuktikan, khususnya di wilayah kota, betapa banyak orang yang merasa bangga diri dengan ahli ibadahnya, ketekunan dan taatnya, diam-diam ia ujub dan sombong, merasa lebih dibanding lainnya.
Sifat hina dina adalah wujud kehambaan kita. Manusia akan sulit mengakui kehambaannya manakala ia merasa mulia, merasa sombong, ujub, apalagi merasa hebat dibanding yang lainnya. Karena itu rasa hina dina, apakah karena diakibatkan oleh kemaksiatan atau seseorang mampu menjaga rasa hina dina di hadapan Allah, adalah kunci terbukanya Pintu-pintu Allah Ta’ala, karena kesadaran seperti itu, membuat seseorang lebih mudah fana’ di hadapanNya.
Dari sini dapat kita fahami bahwa ada kalanya, dibalik ketaatan yang kita kerjakan tersimpan ha-hal yang dapat merusak keikhlasan. Sebut saja misalnya perasaan seakan-akan ibadah yang dikerjakannya sudah baik, banyak dan cukup sampai disitu. Hal yang merusak keikhlasan juga bisa dalam rupa anggapan bahwa ibadahnyalah yang menyebakan ia selamat, masuk taman suarga loka dan sebagainya hingga memunculkan rasa bangga dengan merendahkan, menghina dan melecehkan orang-orang yang tidak beribadah.
Dikutip dari: SUFI BAWAH TANAH,
@ KH Luqmanul Hakim bin H. Abdul Kholiq
@ http://www.sufinews.com
Suka dengan artikel ini? Silahkan bagikan.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.