Sepertinya tidak ada berita gembira (beritagembira.com ?) dari kabar yang mengkabarkan jalan-jalan raya (jalan raya-jalan raya ?) di Ibu Kota Negara, Jakarta. Yang ada hanya tumpukan cerita buruk di dalamnya. Mulai dari tidak berfungsinya traffic light, jalan raya yang semakin menyempit termakan untuk lahan parkir dan pedagang kaki lima, aspal yang terkelupas oleh genangan air atau bopak-bopak karena kurang perawatan dan menanggung beban laju jalan kendaraan tronton yang super besar, dan struktur jalan yang tidak beraturan karena ulah perusahaan yang maunya menggali tapi emoh merapihkannya kembali, dan seterusnya dan sebagainya yang menjadi biang keladi kemacetan di Jakarta. Penjualan jumlah kendaraan bermotor yang tidak terkontrol, juga memberi sumbangan yang tak kecil sebagai penyebab kemacetan jalan raya.
Untuk mengatasi kemacetan yang terjadi (terutama pada jam-jam orang masuk ke dan pulang dari kantor), setelah menggusur para pedagang kakilima, pemerintah melebarkan jalan yang semakin menyempit. Setelah jalan menjadi lebar kemacetan masih saja terjadi sebab penjualan kendaraan bermotor semakin tidak terkontrol. Traffic light yang disfungsi pun difungsikan kembali. Tapi kemacetan masih juga terjadi sebab kesadaran pengguna jalan (terutama pengguna sepeda motor) untuk mematuhi aturan lalin (lalulintas) semakin menipis.
Lagi-lagi untuk mengatasi kemacetan, pemerintah-pun memberlakukan aturan 3in1 (three in one) pada saat jam masuk dan pulang kantor. Tapi yang namanya macet tetap saja terjadi, karena munculnya para joki di jalan masuk jalan yang diberlakukan aturan 3in1. Sedang para pemilik kendaraan roda empat yang enggan memanfaatkan jasa joki, lebih memilih mencari jalan alternatif dan berpindahlah kemacetan di jalan-jalan alternatif yang jumlahnya segitu-segitu saja menanggung laju jumlah kendaraan bermotor yang terus bertambah. Tak kekurangan akal, untuk menanggulangi kemacetan, pemerintah pun membuat jalur khusus untuk Bus Way. Alih-alih jalan menjadi lancar, Bus Way malah menjadi penyebab kemacetan baru karena jalur khusus yang dibuat “dicuri” dari jalan raya yang ada.
Sudah sekian kali negara ini berganti presiden, sudah sekian kali Gubernur DKI berganti, sudah berkali-kali pula kebijakan dan aturan menanggulangi kemacetan dibuat, tapi kemacetan bukan makin tertanggulangi malah semakin menjadi-jadi.
Gambaran tentang penanggulangan penyakit sosial yang bernama macet di Jakarta persis seperti tamsil Imam Ibnu ‘Atha’illah dalam al-hikam yang dikatakan sebagai:
كَحِمَارِالرَّحَى يَسِيْرُ وَالْمَكَانُ الَّذِى ارْتَحَلَ إِلَيْهِ هُوَ الَّذِى ارْتَحَلَ مِنْهُ
“Tak ubahnya seperti seekor keledai yang berputar mengelilingi penggilingan, dimana ia menuju satu tujuan, tiba-tiba kembali kepada tempatnya semula.”
Presiden boleh saja berganti berulangkali, Gubernur boleh saja berganti berkali-kali, aturan dan kebijakan sah-sah saja diganti seseringkali, tapi kemacetan di jalan-jalan raya Ibu kota masih menjadi pemandangan mata yang menyebalkan hati setiap hari.
Aku hanya bisa berharap dan berdoa, semoga Presiden ku bukan keledai yang dibantu oleh Gubernur keledai yang kerap membuat aturan dan kebijakan keledai untuk warga pengguna jalan yang juga keledai. “Jalan aing, kumaha aing !” “Jalan gue terserah gue !”, konon begitulah ungkapan para pemilik mental keledai.
Ah, keledaikah kita ?!
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.