Oleh: KH. DR JALALUDDIN RAHMAT
Alkisah, ada seorang ustadz. Ia tidak mempunyai pekerjaan tetap. Beberapa orang kaya memanggilnya untuk mengajarkan Al-Quran kepada anak-anaknya. Pada waktu yang ditentukan ia datang ke rumah murid-muridnya dengan teratur. Ketika ia mempunyai uang, ia datang dengan kendaraan umum. Ketika tidak ada ongkos, ia berjalan kaki. Setelah habis satu bulan, dengan penuh harap ia menunggu honorariumnya.
Orang kaya yang pertama berkata, "Pak Ustadz, saya yakin Bapak orang yang ikhlas. Bapak hanya mengharap ridha Allah. Saya akan merusak amal Bapak bila saya membayar Bapak. Saya berdoa mudah-mudahan Allah membalas kebaikan Bapak berlipat ganda." Pak Ustad termenung. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia kebingungan. Ia mendengar kata-kata yang tampaknya benar. Tetapi ia merasa ada sesuatu yang salah dalam ucapan orang kaya itu, tetapi di mana. Ia tidak tahu. Yang terbayang dalam benaknya adalah hari-hari yang dilewatinya untuk mengajar di situ; ketika ia datang berjalan kaki atau dengan ongkos keluarganya, yang tidak dapat diisi hanya dengan ikhlas. Ia diam. Dan air matanya jatuh tak tersisa.
Orang-orang kaya lainnya memberinya uang transport yang sangat kecil, hampir tidak cukup untuk mengganti ongkos-ongkos yang telah dikeluarkannya. Seperti orang kaya yang pertama, mereka juga menghiburnya dengan kata "ikhlas". Ia bingung. "Kata Ikhlas" adalah karya yang agung, tetapi kini terasa seperti pentungan baginya. Ia merasa diperas, dieksploitasi. Tetapi bila menuntut haknya, ia kuatir menjadi tidak ikhlas.
Apa yang terjadi pada ustadz itu terjadi juga pada banyak mubaligh yang berdakwah dari masjid satu ke masjid lain. Saya pernah diundang untuk memberikan pengajian pada acara syukuran pernikahan jauh di sebuah kampung di Indramayu. Saya melewati jalan terjal, yang berkali-kali berbenturan dengan chasis kendaraan saya. Saya meninggalkan tempat pengajian menjelang tengah malam dengan perut lapar, saya tidak menerima apa pun. Saya ingin meminta paling tidak penggantian bensin dan ongkos supir, tetapi saya kuatir saya tidak ikhlas. Bukankah saya tidak boleh menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Seperti Pak Ustadz tadi, saya merasa ada yang tidak beres dalam pengertian ikhlas itu, tetapi saya tidak tahu di mana.
Saya baru menyadari makna ikhlas, ketika memberikan ceramah keagamaan untuk para mahasiswa baru Universitas Brawijaya, Malang, 17 November 1991. Seorang mahasiswa dengan bersemangat berkata, "Dahulu Rasulullah Saw. berdakwah dengan membagi-bagikan hartanya kepada para pendengarnya. Sekarang mubaligh menerima pesangon dari jamaah yang didatanginya. Bukankah itu berarti menjual ayat-ayat Allah? Tidakkah mubaligh itu mendagangkan agamanya dan keyakinannya untuk dunia? Bukankah ia tidak ikhlas lagi dalam berjuang? Apakah Anda juga akan menjadi mubaligh amplop, seperti wartawan amplop?" Tepuk tangan bergema di aula Unibraw. Wajah mahasiswa penanya bersinar. Ia merasa berbahagia, karena telah "berani" mengatakan "yang haq" di depan mubaligh. Tentu saja, ia senang karena ia menjadi bintang di hadapan ribuan orang rekan-rekannya. Ia menjadi pejuang keikhlasan.
Tiba-tiba saya menemukan "yang tidak beres" dalam makna ikhlas, seperti yang dikemukakan oleh mahasiswa itu. Kata ikhlas sekarang telah digunakan untuk memukul para mubaligh. Konsep agama yang bagitu luhur telah disalahgunakan untuk merampas hak para penyebar agama. Tenaga mereka dikuras oleh berbagai kegiatan dakwah, sehingga tidak sempat mencari nafkah. Bila tubuh mereka menjadi ringkih atau sakit karena kepayahan, mereka tidak perlu diberi uang untuk berobat.
Mereka ditinggalkan begitu saja, habis manis sepah dibuang. Bila mereka dipanggil ke tempat jauh, mereka tidak perlu diberi pesangon. Mereka diminta berkorban untuk umatnya, sehingga dengan cepat mereka kehilangan segala-galanya (pekerjaan, harta, kehormatan, bahkan kehidupannya). Kata "ikhlas" telah digunakan untuk melemahkan dan menyingkirkan para mubaligh. Akhirnya, banyak orang berlindung pada kata "ikhlas" untuk menghancurkan umat Islam.
Betapa seringnya kata-kata digunakan untuk menyembunyikan kenyataan, dan bukan untuk mengungkapkannya. Korzybsky (ahli general semantics) benar ketika ia menyatakan bahwa ada hubungan antara kekacauan penggunaan bahasa dengan penyakit jiwa; dan bahwa masyarakat hanya dapat disehatkan kembali dengan menerbitkan istilah-istilah yang mereka gunakan.
Benarkah ikhlas artinya tidak menerima upah ketika mengajarkan Al-Quran, seperti kata orang kaya pada Pak Ustadz kita? Benarkah ikhlas artinya tidak menerima pesangon untuk kegiatan dakwah, seperti kata mahasiswa kita yang berani itu? Saya teringat suatu peristiwa pada zaman Nabi Saw.
Nabi Saw. mengirimkan pasukan terdiri dari tiga puluh orang. Mereka tiba pada sebuah perkampungan. Mereka menuntut hak sebagai tamu, tapi tak seorang pun menjamu mereka. Pada saat yang sama, pemimpin kaum itu digigit ular. Mereka meminta bantuan para sahabat untuk mengobatinya. Abu Sa'id Al-Khudhri bersedia mengobatinya, asalkan mereka membayarnya dengan tiga puluh ekor kambing. Ketika Abu Sa'id membawa kambing-kambing itu, para sahabat lain menolaknya. "Engkau menerima upah dari membaca Kitab Allah?" Tanya mereka. Ketika sampai di Madinah, mereka menceritakan kejadian itu kepada Nabi yang mulia. "Bagikan di antara kalian. Tidak ada yang paling pantas kalian ambil upahnya seperti membaca Kitab Allah," sabda Nabi Saw. (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan lain-lain; lihat Tafsir al-Dur Al-Mantsur ).
Nabi Saw. tidak menyebut Abu Sa'id Al-Khudhri menjual ayat-ayat Allah. Ia bahkan mengatakan bahwa mengambil upah dari membaca Kitab Allah itu sangat pantas. Dalam Al-Quran, orang yang menyebarkan ajaran Islam termasuk "fi sabilillah" dan berhak mendapat bagian dari zakat, walaupun ia kaya-raya. Ketika muballigh menerima upah atau zakat, ia tidak kehilangan ikhlasnya. Ikhlas tidak ada hubungannya dengan menerima atau menolak upah.
Pada suatu acara, jamaah ingin mengungkapkan terima kasihnya kepada mubaligh yang mengajarnya. Mereka memberikan kenang-kenangan. Sang mubaligh menolak seraya berkata, "Saya tidak ingin merusak keikhlasan saya. Saya mengajar Anda tanpa mengharapkan upah. Upah saya di sisi Allah." Mubaligh itu mendefinisikan ikhlas sebagai menolak upah dari manusia? Betulkah definisi itu?
APA MAKNA IKHLAS?
Ikhlas dengan indah digambarkan dalam doa iftitah. Kita berjanji setiap shalat, "Sesungguhnya shalatku, pengurbananku, hidupku, dan matiku Lillahi Rabbil 'Alamin." Jadi, ikhlas ialah "mengerjakan segala hal lillah." Apa artinya "lillah" ? Ada tiga makna "lillah"; karena Allah (lam yang berarti “sebab”) dan untuk Allah (lam berarti “tujuan”), dan kepunyaan Allah (lam berarti “milik”). Makna-makna ini sekaligus menunjukkan tingkat keikhlasan. Untuk Allah adalah tingkat ikhlas yang paling tinggi.
Marilah kita lihat yang pertama: Karena Allah. Bila Anda memberikan bantuan kepada orang yang kesusahan, karena Anda mengetahui bahwa Allah memerintahkannya, Anda beramal karena Allah. Bila Anda menghentikan bantuan Anda kepada orang itu, karena ternyata orang itu tidak berterima kasih bahkan ia menjelek-jelekkan Anda di mana-mana, Anda tidak ikhlas. Amal Anda sangat dipengaruhi oleh reaksi orang lain pada Anda. Anda bersemangat beramal, ketika orang-orang menghargai Anda, memuji Anda, atau paling tidak memperhatikan Anda. Anda kehilangan gairah untuk berjuang, ketika orang-orang mencemooh Anda, menjauhi Anda, atau bahkan mengganggu Anda.
Perhatikan motif yang menggerakkan perilaku Anda. Bila Anda melakukan sesuatu karena ingin menjalankan perintah Allah, tidak peduli bagaimanapun reaksi orang kepada Anda. Anda benar-benar ikhlas. Anda berikan bantuan kepada orang yang kesusahan, walaupun ia tidak berterima kasih. Anda meneruskan perjuangan Anda, walaupun Anda dijelek-jelekkan orang. Allah melukiskan orang-orang ikhlas ketika mereka berkata, "Sesungguhnya kami memberikan makanan kepada kalian karena Allah. Kami tidak mengharapkan balasan dan terima kasih" (QS 76: 9).
Bagaimana bila Anda menuntut upah setelah memberikan pengajian? Bila Anda menuntut upah itu karena Anda tahu bahwa Allah melalui Rasul-Nya menyuruh Anda menuntut hak Anda, Anda masih ikhlas. Anda menjadi tidak ikhlas, justru ketika Anda menolak untuk menerima hak Anda, karena takut disebut tidak ikhlas. Atau Anda tolak pemberian orang karena menjalankan perintah Allah, tetapi karena menginginkan kesan tertentu pada orang banyak.
IKHLAS ATAU MEREKAYASA KESAN?
Seorang mahasiswa memberikan ceramah di depan ratusan jamaah masjid di sebuah dusun kecil. Kebanyakan pedengarnya tidak memperoleh pendidikan lebih dari tingkat SD. Dengan bersemangat ia berkata, "Dalam menghadapi era globalisasi, ketika perilaku umat manusia di standardisasi, ketika interdependensi di antara berbagai bangsa terjadi, umat Islam harus mampu melakukan antisipasi."
Mahasiswa itu tahu betul bahwa tingkat pendidikan kebanyakan pendengarnya tidak lebih dari SD. Ia sadar betul bahwa kebanyakan tidak memahami pembicaraannya. Ia memang berpidato bukan untuk menyampaikan gagasan, bukan memberikan informasi. Ia sedang berupaya agar pendengarnya memperoleh kesan bahwa Pak Mahasiswa itu orang pandai. Buktinya? Pembicaraannya tidak dapat dipahami.
Pada waktu yang sama di depan para ulama, seorang biirokrat dengan fasih membacakan ayat-ayat Al-Quran dan hadist. Kebanyakan tidak relevan. Pak Birokrat sendiri juga tidak begitu paham, walaupun telah berhari-hari ia menghafalkan ayat-ayat dan hadis-hadis itu. Ia memang tidak bermaksud untuk mengajari para ulama. Jelas, mereka lebih tahu tentang tafsir dan syarah hadis, daripada dirinya. Lalu untuk apa? Ia ingin meyakinkan para ulama itu bahwa ia tahu banyak tentang agama; bahwa ia bukan sekedar pejabat. Ia sedang mengelola kesan orang lain terhadap dirinya.
Erving Goffman, dalam bukunya yang klasik The Presentation of Self in Everyday Life, menyebut perilaku mahasiswa dan birokrat tadi sebagai penyajian diri (presentation of self). Kita semua adalah pemain drama. Di tengah-tengah masyarakat, kita ingin menyajikan diri kita seperti "naskah" yang kita persiapkan. Mahasiswa itu ingin menyajikan diri sebagai "orang pintar" dan birokrat itu ingin mengemukakan diri sebagai "orang alim." Diri yang kita tampilkan di depan umum disebut public self. Supaya orang membentuk kesan bahwa saya orang pintar, saya sampaikan kata-kata asing. Supaya para ulama tahu saya alim, saya bacakan ayat-ayat dan hadis-hadis.
Karena kita tahu, orang membentuk kesan tentang diri kita dari perilaku yang kita tampilkan (Goffman menyebutnya "face"), kita "rekayasa" perilaku kita. Orang memperoleh kesan tentang diri kita dari pembicaraan kita; maka kita atur pembicaraan kita sesuai dengan kasan yang ingin kita peroleh. Rekayasa kesan ini kemudian disebut impression management (pengelolaan kesan).
Untuk mengelola kesan, selain pembicaraan (yang dapat didengar atau dibaca), kita menggunakan lambang-lambang visual (yang dapat dilihat). Termasuk lambang-lambang visual adalah tindakan, penampilan, kendaraan, rumah, atau benda-benda lainnya. Anda busungkan dada Anda dengan mata yang menatap lurus ke depan. Anda sedang menggunakan tindakan untuk menimbulkan kesan "bos". Sambil mengenakan pakaian yang "trendy" dan parfum yang mahal, Anda menyerahkan credit card kepada pelayan restoran. Anda sedang menggunakan penampilan agar orang tahu bahwa Anda pengusaha muda yang sukses.
RIYA' DAN SUM'AH
Setiap hari kita melakukan pengelolaan kesan. Yang demikian itu wajar-wajar saja. Yang tidak wajar dan tidak dibenarkan oleh agama ialah menggunakan lambang verbal dan nonverbal supaya orang lain menganggap kita orang saleh. Bila anda menggunakan lambang verbal (yang bisa didengarkan) untuk itu, Anda melakukan sum’ah. Bila Anda menggunakan lambang non verbal (yang dapat dilihat) untuk itu, Anda melakukan riya’. Riya’ dan sum’ah keduanya bertentangan dengan ikhlas. Bila ikhlas adalah beribadat atau beramal saleh untuk mendekatkan diri kepada Allah (karena Allah), riya dan sum’ah beribadat untuk mendekatkan diri kepada manusia (karena manusia).
Dalam sebuah riwayat diceritakan orang-orang yang digiring ke neraka. Allah Swt. Memerintahkan agar Malik (malaikat penjaga neraka) tidak membakar kaki-kaki mereka, sebab kaki-kaki itu pernah dilangkahkan ke masjid dan tidak membakar tangan-tangan mereka, sebab tangan-tangan itu pernah diangkat untuk berdoa. Malik bertanya “ Apa yang terjadi kepada kalian hai orang-orang celaka?” Ahli neraka itu menjawab, “Kami dahulu beramal bukan karena Allah” (Bihar Al-Anwar 8:325).
Riwayat lain bercerita tentang orang yang membaca Al-Quran siang dan malam, yang terbunuh fisabillah, dan yang menginfakkan hartanya. Ketiga-ketiga dimasukkan ke neraka. Yang pertama masuk neraka karena ia ingin disebut qari’, yang kedua ingin disebut pemberani, dan yang ketiga ingin dipanggil orang dermawan (Bihar Al-Anwar 72:305). Walhasil, semua amal itu dilakukan karena manusia, bukan karena Allah.
Imam Ali k.w berkata, “Ada empat tanda orang yang riya’ malas bila beribadat sendirian, rajin di depan orang benyak, bertambah amalnya bila dipuji, dan berkurang bila tidak ada yang memujinya” (Ibn Abi Al-Hadidi, Syarh Nahj Al-Balaqahah, 2:180). Perhatian shalat Anda. Anda shalat dimasjid dengan khusyuk. Anda lakukan shalat sunat. Anda menyelesaikan wirid panjang. Anda lakukan semua itu dengan mudah. Tetapi bila Anda shalat di rumah, Anda shalat dengan cepat. Sesudah shalat Anda membaca wirid yang sangat pendek, lalu meninggalkan tempat shalat tanpa melakukan sunat. Anda sudah menderita gejala penyakit riya.
Anda menjadi imam shalat. Anda membaca Al-Quran dengan tajwid dan tartil. Anda membaca surat-surat yang panjang tanpa rasa lelah sedikit pun (makmum Anda kecapaian). Anda rukuk dan sujud dengan sangat (bahkan terlalu) tertib. Ketika Anda shalat sendirian (munfarid), Anda membaca surat-surat yang pendek, tanpa memperhatikan tajwid dan tartil. Perhatikan, bila gejala-gejala itu ada, Anda mengidap penyakit riya’.
Dalam sebuah seminar, saya mengusulkan agar saya diizinkan berbicara setengah jam setelah adzan zuhur. Saya harus menghindari acara ditempat lain. Saya mohon agar panitia meminta izin kepada peserta seminar untuk menangguhkan waktu shalat tiga puluh menit saja. Ketika panitia menawarkan usul itu kepada mereka, hampir semua menolaknya. “Shalat harus dilakukan awal waktunya,” ujar hadirin. Saya tahu banyak bahwa diantara mereka, jarang melakukan shalat pada awal seperti itu. Dengan uacapan itu, mereka ingin menunjukkan bahwa mereka adalah orang yang “disiplin” dengan waktu shalat. Tanpa terasa, mereka jatuh pada penyakit sum’ah.
Dalam majelis-majelis pengajian (termasuk seminar di kampus-kampus), sering hadirin bertanya bukan karena ingin mendapat jawaban. Fulan bertanya berapa rakaat shalat tahajud, walapun ia sudah lama mengetahuinya. Fulana bertanya bagaimana menenteramkan batin karena sering melakukan infak tanpa seizin suami. Seorang mubaligh bercerita tentang pengalaman ruhaninya, ketika Allah segera menjawab doanya setelah ia berdoa; atau betapa ia tak sanggup menahan tangisan ketika merintih di depan Baitillah pada waktu haji. Pertanyaan- pertanyaan hadirin dan pernyataan-pernyataan sang mubaligh menunjukan tanda-tanda sum’ah; yakni “ memperdengarkan“ kepada orang lain kelebihan dirinya.
Riya’ dan sum’ah keduanya dilakukan untuk merekayasa kesan orang lain terhadap diri kita. Yang pertama –riya’- berarti mempertontonkan amal dan tindakan agar Anda dinilai sebagai orang takwa. Yang kedua -sum’ah- berarti memperdengarkan kebijakan-kebijakkan kita sehingga kita dihitung orang sebagai orang yang baik. keduanya dilakukan karena manusia, bukan karena Allah; dan karena itu bertentangan dengan ikhlas. Saya akan mengakhiri ikhlas dalam pengertian “karena Allah’ dengan tulisan Ayatullah Khomeini.
Imbauan untuk Ikhlas
“Sahabatku, sadarlah dan berhati-hatilah dalam tindakanmu. Mintalah dari dirimu pertanggung jawaban untuk setiap perbuatanmu. Teliti dirimu dengan cermat; usahakan untuk menilai perbuatanmu dengan introspeksi apakah amal itu dilakukan untuk mewujudkan kebaikkan atau karena motif-motif yang lain.
Apa yang mendorong kamu untuk mengajukan pertanyaan berkenaan dengan shalat malam? Apakah pertanyaan itu diajukan karena Allah dengan niat untuk melakukannya atau hanya untuk memproyeksikan gambaran kamu sebagai orang yang sangat religius? Mengapa kamu begitu bersemangat menceritakan kepada orang lain dengan berbagai cara tentang beribadah hajimu sambil tak lupa menyebutkkan beberapa kali kamu melakukannya? Mengapa kamu tidak puas dengan membatasi amal salehmu, karena begitu ada kesempatan kamu segera mengumumkannya.
Jika perbuatan itu dilakukan karena Allah, atau kamu bermaksud agar orang menirumu, atau kamu berfikir sesuai dengan hadis ‘yang menunjukkan kebaikkan sama dengan yang melakukannya sambil kamu melakukannya, penampakan amal seperti itu masih dapat dibenarkan.
Bersyukurlah kepada Allah karena ia telah memungkinkan kamu bertindak dengan sepenuh kesadaran dan kemurnian hati. Tetapi hendaknya kamu selalu berhati-hati akan jebakan-jebakan setan ketika memeriksa dirimu, sebab setan dapat memproyeksikan amal riya’ sebagai amal yang suci dan ikhlas.”
1 komentar:
Ya supaya tetap ikhlas dan tanpa upah..... atur saja waktunya..... waktu kerja ya kerja, ketika diundang bilang aja terus terang kalo waktu kerja ya tentunya ndak bisa hadir untuk dakwah. Jangan sampe meninggalkan pekerjaan yang wajib untuk memenuhi undangan dakwah tetapi akhirnya minta upah...... hmmmmmm pandai lah atur jadwal dan bagi waktu.......
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.