Oleh: Muhammad Shobari
"Diciptakannya siang dan malam merupakan sebagian tanda-tanda kekuasaan-Ku," kata kitab suci yang kita hafalkan hampir tiap hari. Untuk apa tanda-tanda itu ? sekedar menunjukkan Allah Maha Mengetahui yang tersurat maupun yang tersirat dan yang serba simbolik, lembut dan tersamar, bahkan yang tersembunyi di perut bumi dan dibalik planet-planet lain yang jauh dari kita ? OO..h lebih dari itu.
Alam yang berwajah serba dua dan dalam pasangan keseimbangan yang saling melengkapi; ada siang ada malam, ada susah ada senang, ada mudah ada payah, ada terang ada gelap, ada bumi ada langit, ada gunung ada lembah, menitipkan pada kita pesan agar dalam hidup kita belajar untuk bisa selalu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.
Siang harus disebut siang. Malam harus disebut malam. Terang, ya terang dan gelap, ya gelap. Dan sudah pasti, “salah” tak mungkin bisa disebut “benar””. Kita diminta meniru aturan alam yang serba proporsional itu dan menerapkannya di dalam kebudayaan yang kita bangun dan kita perbaharui sepanjang hayat dikandung badan.
Dalam usaha kita membangun kebudayaan, kita berkiblat pada apa yang secara manusiawi bersifat fitrah dan adil atau, sekali lagi, yang serba proporsional seperti alam yang tak bertentangan dengan naluri dan aspirasi dasar kita. Dan selebihnya, kita diberi alam kebebasan agar improvisasi dan menunjukkkan kwalitas kemanusiaan kita.
Dalam berpolitik misalnya, kita lalu merasa wajib bersikap adil dan jujur. Yang salah dihukum. Yang berjasa dihargai. Dan penegakkan hukum yang meragukan harus ditinjau ulang buat memenuhi tuntutan rasa keadilan dalam masyarakat. Sedang pengadilan yang sering dipertanyakan kejujurannya harus dikembalikan kepada fungsinya sebagai tempat menemukan rasa keadilan.
Kita juga menuntut pejabat Negara wajib punya tanggungjawab publik yang jelas. Dan pemimpin, orang yang ada di depan, wajib menjadi teladan kata-kata, teladan cara berpikir, teladan sikap, dan yang lebih jelas ia harus pula menjadi teladan laku. Ia merupakan pedoman orang banyak.
Kebudayaan mengajarkan dan menuntut semua pihak agar tahu diri. Tuntutan ini berat. Tiap saat terjadi penyimpangan dan tiap saat kita dengar makian tak tahu diri !. Tentu saja ini terjadi ketika seseorang melanggar aturan atau menabrak stratifikasi sosial yang kita hormati. Maksudnya untuk meluruskan apa yang bengkok.
Watak ambisius, kecenderungan memandang hanya dirinya sendiri yang benar dan orang lain salah, juga tanda tak tahu diri itu. Di kantor kita, ada saja orang yang kerjanya mengontrol dan mencari kelemahan orang lain tanpa pernah berusaha menuntut perubahan dan perbaikan tingkah lakunya sendiri.
Orang-orang yang mengangkat dirinya sendiri menjadi sejenis controller yang sok suci, padahal intinya mereka memendam ambisi memperoleh jabatan. Tiap saat memamerkan catatan kekurangan orang lain. Kesalahan sekecil gurem pun direkam, tapi kesalahan fatal pada diri sendiri dan kelompoknya dilupakan.
Pencurian atau korupsi bisa saja ditutup-tutupi atau malah sengaja dilindungi kalau yang mencuri dan korupsi itu kawannya. Kita diingatkan oleh peribahasa gajah dipelupuk mata tak tampak, kuman diseberang lautan tampak betapa jelasnya. Ini sifat manusiawi ? Mungkin. Mungkin sekali. Tapi, itu sifat manusia yang tak tahu diri.
Tak tahu diri dan tak tahu diri itu fenomena kebudayaan. Mereka yang tak tahu diri itu merupakan orang-orang yang hidupnya secara kebudayaan gagal total. Mereka gagal menghayati keharusan-keharusan didalam masyarakat untuk menjadi pedoman hidup bersama. Mereka gagal mengadopsi kepatuhan-kepatuhan agar bisa menempatkan diri didalam stratifikasi sosial secara manis. Mereka juga gagal dalam semua corak relasi sosial secara umum di dalam masyarakat. Mereka tidak matching secara psichologis, secara sosial maupun secara kultural.
Orang-orang ini mungkin sudah gagal sejak dirumah tangga karena mereka memang datang dari keluarga yang tak bahagia. Mungkin mereka gagal dalam sosialisasi di sekolah atau di masa mahasiswa. Dan mungkin juga gagal baru setelah dikantor karena kebanyakan harapan dan kebanyakan tuntutan tapi dirinya sendiri tak bisa memenuhi tuntutan kantor dan lingkungan pergaulan dengan sesama karyawan.
Tak tahu diri itu suatu corak patologi budaya. Dimasyarakat kita banyak diketemukan orang-orang yang punya waham kebesaran, megalomania, ambisius dan jenis-jenis perilaku tak sehat lainnya. Gejolak-gejolak social, ketegangan politik, perubahan-perubahan drastis dibidang kebudayaan dan lemahnya pengendalian stabilitas sosial, keamanan maupun himpitan ekonomi yang mencekik dapat menyuburkan gejala tingkah laku macam itu.
Sikap tak tahu diri membuat tatanan hidup menjadi tidak sehat. Kita sering merasa ada yang mengenaskan dalam kebudayaan kita. Buktinya pada setiap masa pencalonan presiden dan wakil presiden, hampir tiap makhluk berkaki dua, yang waras atau setengah waras, yang masa lalunya gelap atau terang, yang patut atau yang sama sekali tidak patut, yang pesakitan atau bukan, tertuduh atau terpuji, masing-masing dengan semangat tinggi berani mencalonkan diri.
Orang yang baru muncul bulan lalu atau tahun lalu bahkan yang tak dikenal dalam kelompok kecilnya sendiri pun juga merasa dirinya tokoh dan tak ada yang aneh bila ia mencalonkan diri juga. Kita rupanya mulai kehilangan ukuran-ukuran kepantasan yang masih tetap diajarkan dalam kebudayaan kita sendiri. Kita kehilangan apa yang tak hilang. Dan itu sekali lagi, tanda bahwa kita menderita patologi budaya.
Presiden SBY pusing tujuh keliling menyusun kabinet yang betul-betul mumpuni oleh karena ia dibikin repot dan direcoki oleh orang-orang ambisius yang ingin berebut dan memang berebut untuk menjadi menteri. Ini fenomena tak tahu diri pula.
Orang beragama, orang tak beragama, orang kota, orang desa, orang politik, orang birokrasi, yang sekolahan maupun yang tak sekolahan sama ambisiusnya, sama tak tahu diri nya. semua merasa hebat, semua merasa mampu menjadi menteri.
Pemahaman bahwa jabatan bukan hadiah, sebuah pesta kebun yang murah meriah dan karena itu bukan perkara yang patut diperebutkan dan tak patut ditunggui sepanjang hari, tidak berlaku lagi. Etika bahwa jabatan itu mandat sosial sekaligus mandat kelangitan yang harus dijaga dengan segenap kesungguhan, dengan jujur, dengan asketik, tak diketahui dan tak penting dijadikan pertimbangan.
Ini zaman ketika ibaratnya rohaniawan pun meludahi jubah nya sendiri. Mereka bagian dari patologi budaya yang linglung dan tak tahu diri.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.