By: Muhammad Shobari
"Bukan kematian benar menusuk kalbu, keridlaanmu menerima segala tiba, tak kutahu setinggi itu atas debu dan duka maha tuan bertahta," Khairil Anwar.
Seperti baru semalam rasanya ketika dengan suara lembut yang menyentuh hati, dengan nada humor, tapi tak bermaksud mengejek, Kiyai Thahir bicara perkara kematian dihadapan para jamaah dimasjid kecil, yang pelan-pelan kami perbesar dengan dana swadaya yang sangat seret.
"Kematian itu perkara pantas, serba pantas," kata Kiyai. Dan para jamaah memasang telinga baik-baik. Suara kiyai kita makin nyaring ditengah keheningan malam, didusun kecil itu. Manusia, ringkasnya, bisa mati kapan saja, tanpa memilih waktu dan tempat. Mati malam, pantas. Mati siang, pantas. Mati pagi atau sore pun, pantas.
Manusia bisa mati ditengah hujan peluru atau panah didalam peperangan yang ganas, tapi bisa juga mati diatas permadani empuk dikamar hotel atau terjerembab dimimbar saat memberi ceramah. Juga usianya, mati saat masih bayi, pantas. Mati remaja, pantas. Dan Mati tua, lebih dari pantas.
Kematian, pendeknya, barang yang pasti dan tak perlu disesali. Kosmologi orang Jawa yang sangat dipengaruhi ajaran Kanjeng Sunan Kali Jaga, mengingatkan pada kita makna kesementaraan hidup bahwa hidup cuma ibarat mampir ngombe, artinya cuma singgah sejenak untuk minum.
Ketika kematian difilsafatkan dan menjadi ajaran seperti itu, kita menerimanya dengan senyum. Dalam ajaran itu memang ada sentuhan humor yang membuat kita makin jauh merenung. Disana, derita seolah suci. Lalu pemahaman kita tentang hakekat hidup dan segenap gerak-geriknya yang tak terduga diam-diam makin kompleks.
Kita tahu, hidup memang diliputi misteri, gelap dan tak mudah ditebak apa maunya. Kita tahu, suka-duka, bahagia-derita ada batasnya. Tapi tiap kali duka dan derita itu mendadak hadir, kita masih saja tersentak, kita seperti tak pernah siap. Lalu, sejenak kita menjadi panik. Baru kemudian pelan-pelan kesadaran hadir melingkupi seluruh hidup kita dan juga pelan-pelan menejemen ruhaniah kita baru bekerja mengolah kembali relatifitas hidup tadi.
Tiap orang diminta rela kehilangan orang-orang yang paling dicintainya. Orang-orang tercinta itu mungkin teman, sahabat, orang tua, mertua, isteri, suami, anak, adik, keponakan, paman, atasan atau bawahan dikantor atau guru yang mengantar kita lebih jauh kedalam pemahaman tentang Tuhan, Nabi-nabi, para wali, sufi-sufi dan orang suci di segala jaman yang memberi kita kegembiraan rohani.
Saya sendiri kadang-kadang bicara seperti orang faham akan makna kehilangan orang-orang tercinta itu. Perkara ini juga yang suatu malam, sekitar tiga tahun lalu, saya ceriterakan pada isteri saya dan pada seorang temannya, dosen IKIP Jakarta, didalam mobil perjalanan kerumah dari kantor.
Keesokannya, ternyata Romo Mangun wafat disebuah seminar di Jakarta sambil memeluk saya. Ketika tubuh itu dibaringkan jiwa saya tergetar, ada sesuatu yang hilang, yang rasanya belum tiba waktunya. Beberapa bulan sesudah itu, Bulik saya, yang menyangga masa kecil saya di Jakarta meninggal tanpa pesan saat saya ada di Tokyo. Jiwa saya menangis karena belum membalas budinya yang mulia itu.
Kemudian secara beruntun orang-orang tercinta meninggalkan saya dalam keadaan terpana dengan keraguan; benarkah waktu mereka telah tiba ? Ayah misalnya pergi beberapa hari setelah dirawat dokter dengan sekedar mengirim sinyal lewat mimpi gigi saya tanggal. Saya menahan duka tanpa air mata. Ibuku menjadi janda, tua, sendirian dikampung. Rumah menjadi sepi, dibeberapa bagian seolah ikut mengalami kematian.
Tahun lalu, tak begitu lama setelah kepergian ayah, adik ipar saya, dari Aceh, orang paling istimewa dalam keluarga ayah dan ibu saya, tanpa alamat apapun pergi seperti terburu-buru meninggalkan isteri, adik saya, dan dua anak, keponakan saya, yang masih kecil-kecil.
Tuhan, kehilangan kali ini membuat saya mengeluh; derita berarti luka. Maka saat diminta menyampaikan pidato perpisahan, sebagai wakil keluarga, saya mencoba menyembunyikan tangis. Tapi saya gagal. Ini bukan cuma kehilangan adik, tapi juga sahabat, tempat berbagi atau bertukar pendirian mengenai hidup, termasuk hal-hal sepele, mengapa singkong merah lebih enak dari roti.
Desember lalu, dikantor saya, ANTARA, diselenggarakan pameran foto sejarah voluntir Australia di Indonesia. Sejarah persahabatan yang hangat. Harck Fiff, ahli politik itu berpidato. Ia salah seorang voulountir terpenting tahun 50-an dulu dan sangat besar jasanya. Ia juga guru saya yang lebih bersikap sebagai sahabat.
Tak terduga ternyata itu pertemuan terakhir kami karena Januari lalu mendadak terdengar berita duka, dia tewas tertabrak kereta api. Harck teladan kesederhanaan hidup itu pergi, mungkin memang ia sudah lelah. Belum pernah terjadi dalam hidup sebelumnya, apa yang sekarang ini saya alami, kematian menjadi kerutinan yang melibatkan jiwa dan pikiran secara intens. Ini sungguh melelahkan.
Dua minggu lalu, untuk kesekian kalinya, pergi lagi seorang tercinta dalam keluarga besar kami, keluarga ayah-ibu mertua, adik ipar saya yang dari Gorontalo. Si pendiam yang tabah dan tak pernah mengeluh sudah pergi. Saya menyaksikan wajah-wajah gugup dan duka yang dalam, terutama suami dan dua anaknya, keponakan saya yang juga masih kecil-kecil. Dan ketika atas nama keluarga besar kami, keluarga Gorontalo, saya diminta menyampaikan pidato perpisahan, saya seperti baru sadar bahwa hari itu ada lagi kematian.
Kata tak mudah keluar, saya ingat duka Khairil Anwar ketika kematian neneknya, "Bukan kematian benar menusuk kalbu, keridlaanmu menerima segala tiba..," seperti dikutip diatas. Kita tahu, hidup berakhir mati. Dan orang bisa mati kapan saja karena kematian bukan manusia yang mengatur. Kematian memang perkara serba pantas, tapi duka bertubi-tubi membuat saya sadar kehilangan kali ini pun bukan cuma dalam lakon sebuah drama.
Anggota-anggota terbaik, orang-orang tercinta, telah pergi. Kepergian itu mungkin bukan kehendak mereka, jika pada mereka kau tawarkan maukah hidup mereka diperpanjang ? Jawab mereka pasti serempak; mau sekali ! Tuhan, orang baik mati cepat, para penjahat panjang-panjang benar umurnya dan berfoya-foya. Tapi biarlah tetap begitu adanya, tatanan-Mu tetap yang terbaik, sebab bukankah kita tak boleh berkata: hidup adalah antrian menunggu mati !
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.