Keluarga Muhammadiyah dimanapun mereka berdomisili dan apapun profesi mereka, laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda merasa berkewajiban menjaga sebaik-baiknya dan menjunjung tinggi dengan rasa hormat wasiat KH Ahmad Dahlan yang nadanya terasa seperti menjadi sebuah ajaran moral. "Ku titipkan Muhammadiyah kepadamu. Hidup-hiduplah Muhammadiyah. Tapi jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah."
Dalam pelajaran ke-Muhammadiyah-an wasiat ini menjadi filosofi yang mendasari gerak jiwa perserikatan itu. Muhammadiyah mengabdikan diri dalam kegiatan da'wah islamiyah dengan semangat ridla dan ikhlas bekerja di jalan Allah, jihad fii sabiilillaah, buat menata hidup menjadi lebih baik.
Jelas, ia memberi sumbangan berharga pada pembentukan peradaban kita. Dalam pengabdian itu, orang merasa berbesar hati justru karena sumbangan jasanya tak dibayar. Ini merupakan deposito di bank besar hari akhir yang bunganya aduhai.Maka kita pun, maksudnya anak-anak dikampung saya dulu begitu bergelora
jiwanya tiap menyanyikan lagu sambil latihan drumband; "Muhammadiyah siapa yang punya… Muhammadiyah siapa yang punya… Muhammadiyah siapa yang punya… Yang punya kita semua…"
Sebenarnya ini cuma variasi dari lagu mars PII, Pelajar Islam Indonesia, yang membuat jiwa anak-anak cepat menjadi dewasa dalam kancah perjuangan da'wah dan latihan kepemimpinan disurau-surau. Juga saat tabligh akbar berlangsung. Kami, anggota PII, juga anggota Muhammadiyah soalnya dikampung jumlah orang tak begitu banyak, tak mengherankan bila anak-anak, juga saya sendiri, ikut bergerak, mungkin itu pula sebabnya
Muhammadiyah lalu dianggap punya kita semua. Tapi benarkah Muhammadiyah milik kita ? Mungkin benar, meskipun sebetulnya ada jawaban lain yang lebih pasti, Muhammadiyah itu sebuah titipan dan hanya titipan. Dia bukan hak milik. Kita, para warganya, cuma menjaga amanah penting itu agar kita bisa merawatnya karena ia merupakan kendaraan operasional yang bagus, luwes, dan bisa leluasa bergerak kesana-kemari buat melakukan syi'ar Islam.
Ia begitu luwesnya hingga kadang tak kentara bila tiba-tiba ada yang menjadikannya kendaraan politik untuk meraih kedudukan istimewa bagi kepentingannya pribadi. Bukankah itu jelas sebuah penyimpangan ? Betul ! Ini cermin watak perilaku korup atau culas. Dan karena itu kita saling mengingatkan agar penyimpangan tak menjadi tradisi. Titipan yang kita terima harus dijaga sebab kini ia menjadi tanggungjawab kita. kita wajib menjaga tiap titipan, juga menjaga Muhammadiyah, agar namanya tak tercemar dan citranya tak menjadi buruk dan selebihnya agar misinya tercapai.
Diam-diam, sejak masa pendidikan itu, saya sendiri merasa sudah terlanjur agak paham bahwa terhadap amanah kita diminta bertanggungjawab penuh, dunia akhirat. Tiap kesanggupan membawa konsekwensi diatas pundak kita. Tuhan membukakan tabir kehidupan pelan-pelan. Ilmu hikmah dibuka, tahap demi tahap, rahasia alam pun tersingkap di depan mata, juga didepan mata hati. Bagian demi bagian, kita diberi tahu sedikit rahasia hidup.
Lama sesudah itu ditambah sedikit lagi dan hanya bila kita sering bertanya maka akan munculah sedikit tambahan lagi. Tak ada sesuatu yang terasaa sangat mendadak. Maka kita pun sadar. Apa yang sering kita anggap punya kita sebenarnya bukan. Uang dalam dompet misalnya, yang kelihatannya mutlak milik kita, sering terbukti ternyata itu rizqi orang lain. Kita cuma membawakannya. Kita sekedar menjadi perantara. Bisa saja orang lain memintanya karena sedang terdesak kebutuhan, tapi sering pula, entah mengapa, kita memberikannya dengan ikhlas. Dan rizqi itupun lalu bukan lagi milik kita.
Di sana diam-diam ada pesan lembut hampir tak terbaca; "rizqi orang jangan dimakan !" Apa yang kita sangka milik kita ternyata bukan. Suami, isteri, anak-anak manis, orang tua, mertua, sobat, guru, tetangga, rumah, lembu, domba-domba atau kantor, dokumen, tabungan dan jabatan siapa bilang milik kita ? Bukankah diri kita sendiri pun jelas bukan pula milik kita. Semuanya hanya titipan. Semuanya hanya bayangan. Semua hanya lewat sementara. Semua bisa mati. Semua bisa hilang atau habis masa berlakunya. Semua hakikatnya diluar kontrol kita.
Lalu mengapa dalam politik, juga dikantor, kita sering mati-matian rebutan jabatan. Seolah jabatan itu tahta suci yang bisa mengantar kita ke sorga yang dijanjikan. Mengapa sekarang hampir tiap orang merasa dan berhak dan mampu menjadi menteri ? Mengapa orang lupa jabatan itu merupakan amanah dari langit yang ditempeli pesan agar kewibawaannya dijaga dan kemuliaannya tak dinodai ? Mengapa kita tak bisa membaca pesan halus; "Kutitipkan jabatan ini pada mu, gunakan ia untuk kemaslahatan public dan jangan untuk dirimu sendiri." ?
Dibalik tiap jabatan ada tanggungjawab public dan tak jarang beratnya tanggungjawab akan membuat kita gelisah. Mungkin kita stress dan sangat lelah, kadang hidup lalu terasa cuma berarti beban. Kita sering tampak un happy, sering pula kita digugat rasa keadilan yang muncul secara tiba-tiba. Mengapa kebijakan ini makan korban ? Mengapa yang jelas mencuri belum juga dijatuhi hukuman ? Mengapa yang menggerogoti asset Negara belum juga ditangkap polisi ? Ya, mengapa ?
Ini menarik dan lebih menarik bila kita pun tahu bawahan kita sendiri yang menghambatnya hingga apa yang seharusnya bergulir ternyata mandeg, yang seharusnya lincah ternyata lamban seperti gerak kura-kura. Musuh terkadang begitu dekat. Ia bahkan bawahan kita sendiri. Musuh, mungkin bukan tapi juga jelas orang seperti ini bukan kawan. Maka demi tanggungjawab public, ia harus diganti. Memang tak enak, tapi lebih tak enak dan jelas tidak adil dan berdosalah kita bila duri seperti itu tidak kita singkirkan. Kita tidak adil terhadap orang lain, kita tidak adil terhadap alam.
Tuhan membuka tabir hidup pelan-pelan. Ilmu hikmah menetes sedikit demi sedikit. Pelan pula kita tahu yang kita sangka milik ternyata bukan. Yang kita sangka kawan ternyata lawan. Yang tampak seperti wali ternyata pencuri. Dan yang sok gigih bicara keikhlasan ternyata punya dendam. Dan mereka yang bicara tentang sikap populis untuk membela kawan ternyata cuma sontoloyo pemburu jabatan. Tak diburu pun jabatan itu datang bila kita setia menjaga titipan sebab bukankah jelas jabatan bukan milik, melainkan semata cuma titipan ?
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.