Kiyai Musthafa Bishri mempunyai banyak cerita. Ada cerita biasa. Ada pula cerita luar biasa. Cerita-cerita beliau menyangkut dunia kiyai juga. Ada kisah kiyai besar yang secara lahiriah menampilkan diri dengan sikap serba aneh. Santrinya sering dimarahi. Bahkan seorang keponakan memberitahukan kakaknya, ayah si keponakan meninggal, tanggapan sang kiyai sangat mengejutkan. "Kalau sudah terlanjur meninggal mau diapakan ? Wajar toch orang akhirnya meninggal ?!"
Mereka yang memahami udang dibalik batu segera merasa kecewa atas segenap sikap dan tindakan sang kiyai. Norma-norma umum dikenakan kepadanya dan tentu saja tak ada yang kena. Orang punkemudian, sekali lagi, kecewa. Setidak-tidaknya bertanya, mengapa kiyai koq begitu (?).
Belakangan, lama setelah sang kiyai wafat, tabir dibuka buat umum. Rahasia dibalik keanehan sang kiyai diketahui. Ia bersikap begitu semata buat menutupi segenap amalnya. Sang kiyai lebih suka dikenal sebagaimana orang banyak mengenalnya. Ia takut di sebut orang saleh. Ia tak ingin ada pemujaan atas dirinya. Pujaan itu cuma hak Allah. mungkin begitu pandangan sang kiyai.
Kisah ini membuat kita malu karena dua hal: Pertama, umumnya kita sudah mengecam sikap sang kiyai sebelum persoalannya menjadi jelas. Kedua, umunya kita lebih suka disebut saleh. Umumnya kita kesana kemari pamer simbol-simbol kesalehan itu tanpa memahami apa esensi sebenarnya. Kita bangga sekedar terhadap kulit.
Ada pula kisah kusir dokar. Ia dimata umum cuma kusir dokar biasa. Tapi sang kusir tak pernah
absent dalam tiap-tiap pengajian. Apalagi pengajian besar. Gerak-geriknya pun aneh. Kadang-kadang ia mengesankan lebih paham perkara yang dalam-dalam dibanding kiyai pada umumnya. Tapi sang kusir itu tak lantas sombong. Dan para kiyai itu tak merasa direndahkan. Mereka hormat pada tukang dokar itu. Kiyai Mus tak menjelaskan siapa dia. Tapi saya menduga, sikapnya cuma topeng buat menyembunyikan wajah sebenarnya. Seperti kiyai tadi, tukang dokar ini pun mungkin tak mau dikenal. Ia dan sang kiyai mungkin para mukhlis sejati. Tak mustahil mereka disebut wali 'indallah.
Para wali yang bersembunyi kecuali terhadap cinta Allah yang abadi. Inilah pengajian mendalam yang diberikan Kiyai Musthafa Bishri ketika saya sowan ke pesantrennya Raudlatut Thalibin di Rembang. Hasil pengajian ini pula persiapan rohaniah saya menyambut ramadhan tahun ini.
Kewajiban puasa itu mungkin pembentukan watak pribadi. Begitu pribadinya hingga cuma kita masing-masing diri dan Allah yang tahu bahwa kita sedang menggarap sebuah proyek besar. Watak pribadi macam apa yang dikehendaki dibalik kewajiban berpuasa ini ? Saya kira keikhlasan.Kita dibimbing selangkah demi selangkah, berlatih menjadi orang ikhlas. Pertama ikhlas karena, seperti dinyatakan Allah, puasa itu untuk-Nya. Kita dengan kata lain seolah tak boleh memetikbuahnya. Tapi kita tak boleh mengeluh.
Dan kedua, kita harus juga ikhlas meskipun puasa iturelatif tersembunyi. Tak seperti shalat atau zakat yang terbuka bagi pandangan umum. Puasa tak begitu tampak. Kita tak perlu mencari pujian dari sesama kita karena puasa tadi. Pribadi mukhlis dimana pun luar biasa. kita bersyukur mendapat latihan menjadi mukhlis, sekurang-kurangnya setahun sekali. Kita bersyukur karena sekalipun pada intinya latihan itu bersifat sangat pribadi, panggilan sosial dalamhidup keseharian tak bisa juga diabaikan. Panggilan social macam apa itu ?
Kita, dari latihan pribadi tadi, diminta mewujudkan dalam tatan sosial bahwa puasa memang punya dampak dalamwatak kita. Watak yang ikhlas dalam hubungan dengan Allah tadi, kini tiba gilirannya diwujudkan dalam hubungan antar sesama buat membangun sebuah dunia sosial yang adem ayem, empuk iyup buat dinikmati semua warga .
Biarlah tatanan politik makro penuh kekacauan, biarlah para aktor politik makro baku sikut, kita
dari lapis bawah membangun dunia alternatif memancarkan ketentraman sasmita alam. Proyek ini mulai dari pribadi berkembang ke kelompok kecil menyebar ke kelompok besar kemudian diwilayah yang lebih besar lagi dan lebih besar lagi.
Ini mungkin puasa sosial yang diharap dari kita dan seperti puasa Ramadhan, puasa sosial ini pun diminta agar kita lakukan dengan sikap biasa-biasa saja. Kita tak usah berpidato bahwa kita sedang melakukan ini dan itu. Kalau perlu lebih baik dilakukan secara tersembunyi. Kita, dengan kata lain, perlu memakai topeng, orang lain tak perlu tahu. Kita bukan wali, kita orang biasa. Tapi teladan para wali, juga para wali 'indallah dalam kisah diatas mungkin sebuah ajaran. Dan terhadap ajaran kita tahu mesti berbuat apa. Ajaran digelar untuk ditiru. Ini mungkin yang terpenting.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.