Pertanyaan ini tidak sederhana. Ia merasa terpojok dan si tuan rumah tak ingin, sepagi itu, membikin orang lain merasa terpojok. Maka dibimbingnya anak muda itu ke pendapa. Ayam dikurung di halaman. Mereka pun bercakap-cakap. "Kamu perlu uang ?" tuan rumah mempermudah persoalan. Pemuda itu mengangguk. Kesadarannya mengambang seperti antara ada dan tak ada. "Berapa banyak kamu perlukan ?," pemuda itu bungkam, malu tak berdaya dan bingung menguasai seluruh perasaan dan jiwanya.
"Baiklah, kamu tinggalkan saja ayam itu disitu dan ini uang yang kamu perlukan. Aku tidak tahu berapa banyak yang kau butuhkan,tapi jumlah ini lebih besar dari sekedar harga seekor ayam," kata si tuan rumah yang sudah tua itu. Si pemuda yang merasa terkena tenaga gaib, mengulurkan tangan buat menerima uang itu. Pandangan matanya kosong, tapi uang itu dimasukkannya ke dalam saku belakangnya. "Pesanku ya nak, jangan kamu lakukan lagi perbuatan itu. Kamu boleh pergi sekarang dan kamu aman !."
Si pemuda itu kini begitu mudahnya melangkah melintasi batas pekarangan. Tapi bukan cuma itu. Ia juga meninggalkan batas kampung, kemudian jauh melebihi batas desa dan kemudian bats kecamatan, lalu batas kabupaten dan batas provinsi. Aib telah tercoreng di wajahnya dan ia malu.
Siapa sekarang peduli pada aib ? Suatu perkara yang dulu merupakan aib bagi kakek kini tidak bagi kita. Nama, jabatan, rahasia dan segenap keburukan kita dibeberkan dikoran dan khalayak menuding dengan marah, kita masih bisa kalem. Itu bukan aib selama masih ada hal lain yang lebih penting.
Aib mungkin sebuah tolak ukur mengenai pantas-tak pantas atau baik-buruk. Aib terkait dengan nilai-nilai dan ia bisa berubah. Zaman dan orientasi budaya kita memandu perubahan itu. Wawasan yang dulu diwarnai rohani, sesuatu yang bukan materi, kini beralih tajam ke materi . Orientasi kita dulu membuat kulit wajah kita tipis, mudah peka, mudah risi dan mudah malu. Tapi kini setelah materi dan pangkat yang kita lihat, wajah kita menjadi tebal seperti tembok. Kita tak peduli aib mencoreng wajah kita.
Siapa sekarang masih peduli pada aib ? Kita sudah berubah sekarang. Satuan-satuan sosio cultural tradisional yang kecil dan lokal kita lenyapkan. Itu mungkin biaya yang mesti kita bayar untuk menjadi sebuah Indonesia. Dalam satuan besar aib mudah hilang. Aib lenyap di pasar swalayan yang riuh rendah, di gedung bioskop, di bus kota yang pengap, bahkan dilingkungan pemukiman yang para penghuninya tak mengenal satu sama lain. Aib lenyap ditengah jegal-menjegal lawan politik.
Kedengkian dan nafsu menang sendiri membuat kita lupa ada barang aib yang mesti dijauhi. Kota besar menjadi hutan belantara yang menyesatkan, penuh duri, penuh jebakan, penuh binatang buas. Kota besar, proyek besar, bayangan kemenangan besar membikin kita anonim. Kita mudah membuang aib. Bayangan duit, jabatan atau posisi politik membikin aib bukan apa-apa. Aib kini tak lagi menempel diwajah kita, melainkan dilembar-lembar duit dikantong, dilaci, direkening bank, diperusahaan, diatas tanah yang masih sengketa dan disaham-saham yang naik turun nilainya.
Kapan kita peduli pada aib ? mungkin cuma bila duit, jabatan atau posisi politik kita sangat terancam. Misalnya karena liku-liku harta atau jabatan kita diketahui oleh pers dan dibeberkan kepada umum dan berita itu mungkin memojokkan kita dan kita merasa aib kita terancam. Siapa yang membeberkan berita itu, ia kita anggap musuh politik yang mesti disingkirkan. Makin tinggi posisi kita, makin mudah kita berbuat begitu, makin banyak hal yang mesti dirahasiakan, makin ganas kita pada orang-orang yang dianggap mengancam.
Bila orang itu wartawan kita gasak korannya atau kita bikin koran tandingan. Bila tak berani, kita sikat si wartawan secara pribadi. Agar tak mengotori tangan, kita sewa orang buat menghajar musuh kita itu. Bila ia sampai mati itu salahnya sendiri. Bila penyelidikan dilakukan dengan gencar dan rakyat bersatu menyerang kita, jangan panik !. Kita keluarkan duit dengan gencar pula. Dengan duit kita sewa sutradara yang bisa mengatur lakon lain dengan pemain lain agar kita kelihatan tetap agung.
Tapi tangan yang bersimbah darah, bukankah tetap kelihatan ? Ya, bila kita tak bisa bikin pabrik deterjen untuk mencuci tangan. Deterjen bisa bikin bersih barang kotor. Penyimpangan ini tak membuat kita merasa aib. Kita malah merasa gagah, soalnya aib itu sekarang sepertinya tak ada. Aib sudah mati. Aib kita ganti dengan duit. Nilai kita ada pada duit dan cuma duit itu yang terpenting kini bagi kita.
Oleh: Ahmad Shobari
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.