Oleh: Ahmad Shobari
Pernahkah Tuhan Tersenyum atau Melucu ? Dalam kitab suci tak saya temukan dua hal itu. Begitu juga dalam hadis nabi. Pemahaman tekstual saya atas agama terbatas. Pengajian saya masih randah, kata orang Minang. Tapi kalau soalnya cuma adakah khatib yang melucu atau marah ?, saya punya data.
Ditahun 1978 seorang khatib melucu di masji UI Rawamangun. Akibatnya, jamaah yang tadinya sudah liep-liep jadi melek penuh. Mereka menyimak pesan jumat sambil tersenyum. Tapi khatib ini tidak cuma menghasilkan senyum itu, ia diganyang oleh khatib yang naik mimbar pada jumat berikutnya.
Agama bukan barang lucu !, katanya. Dan tidak perlu dibikin lelucon !. Mimbar jumat bukan arena humor ! karena itu sengaja melucu dalam khutbah, dilarang ! Vonispun jatuh, marah khatib kita ini.
Dan saya mencatat tambahan larangan satu lagi. Sebelum itu, demosntrasi mahasiswa sudah dilarang oleh yang berwajib. Senat dan dewan sudah dibekukan dan milik mahasiswa yang tinggal satu-satunya, yaitu melucu buat mengejek diri sendiri, akhirnya dilarang juga dimasjid.
Kita memang perlu norma, tapi juga perlu kelonggaran. Maka, saya khawatir kalau menguap di masjid bakal dilarang. Siapa tahu dirumah Allah hal itu dianggap tidak sopan. Buat orang seperti saya yang selalu menguap dimasjid karena saya jarang setuju dengan isi khotbah, belum adanya larangan itu agak melegakan.
Saya dengar Komar dikritik banyak pihak, soalnya dalam ceramah agamanya dia melucu. Tapi Komar punya alasan sahih. Ia, konon, sering mengamati sekitar, dikampungnya banyak anak muda tak begitu tertarik pada cermah agama. “Mengapa ?,” tanya Haji Komar. Karena isinya cuma sejumlah ancaman neraka. Waah itu sebabnya ia, yang memang pelawak, memberi warna humor dalam cermahnya dan remaja pun hadir.
Saya suka sufisme. Di dunia itu Tuhan dilukiskan serba ramah dan bukannya marah melulu macam gambaran kita. A’uu dibaca ngauu, tidak bisa ! dzubii dibaca dubii, tidak boleh ! Khotbah lucu, dilarang !.
Loch, bukankah alam ini pun khotbah Tuhan ? Langit selebar itu tanpa tiang dan bulan bergayut tanpa cantelan dan aman, apakah itu bukan khotbah Maha Jenaka ? apa salahnya humor dalam agama ?
Ditahun 1960-an Marhaen ingin mati-hidup dibelakang Bung Karno. Dalam humor saya cukup dibelakang Bung Komar. Artinya bagi saya humor agama membikin sehat iman kita dus tidak haram jadah. Di Universitas Monash saya temukan stiker: don’t take your organ to haven, have a louse we need them here. Himbauan ini bukan datang dari gereja, melainkan dari koperasi kredit. Intinya kita diajak berkoperasi dengan itu kita santuni kaum duafa’. Ini pun sebuah khotbah lucu.
Dalam kisah sufi ada disebut cerita seorang gaek penyembah patung. Dia menyembah tanpa pamrih. Tapi diusia ke 70, dia punya kebutuhan penting. Doapun di ajukan. Sayang patung itu cuma diam. Kakek kecewa. Dia lalu minta kepada Allah dan ajaib, dikabulkan. Bukan urusan dia bila masalah kemudian timbul, sebab Allah-lah, bukan dia, yang langsung diprotes oleh para malaikat. “Mengapa ya Allah Kau kabulkan doa si kakek ? Lupakah Engkau bahwa ia penyembah patung ?” Allah menjawab: “Tidak, saya tahu.” Malaikat berkata lagi: “bukankah dengan begitu ia kafir yang nyata ?” “Betul !,” jawab Tuhan. “Tapi mengapa Engkau kabulkan doanya ?” Allah tersenyum: “Bila bukan saya yang akan mengabulkan, lalu siapa yang bisa mengabulkan doanya? Kalau Aku pun tidak mengabulkan, maka apa bedanya Aku dari patung ?”
Siang-malam akupun berdoa, semoga humor kaum sufi ini tidak dilarang.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.