"Penggabungan komputer dan telekomunikasi telah menciptakan sistem moneter internasional yang baru; bahkan, standar moneter yang menetapkan nilai mata uang bukan berdasarkan manipulasi bank sentral, yang seluruh simpanannya dapat diperkecil hanya oleh pandangan satu hari di pasar mata uang dunia, melainkan berdasarkan banyaknya fakta yang sekarang tersedia dengan cepat.
Kita duduk di rumah dan menyaksikan siaran langsung kerusuhan yang terjadi di sebuah negara di bagian bumi yang lain dan nilai mata uang pun jatuh hanya dalam beberapa menit. Kita mendengar melalui satelit bahwa krisis kepemimpinan telah terselesaikan dan mata uang pun naik. Sepuluh menit setelah berita mengenai bencana Chernobyll diterima, data pasar memperlihatkan bahwa stok perusahaan agrikultur mulai beranjak naik di seluruh pasar dunia.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, para investor, pedagang, dan masyarakat awam dapat dengan cepat mengetahui titik impas perdagangan di seluruh dunia. Dan cara menginterprestasikan kejadian tersebut, keinginan mereka untuk menahan lebih banyak atau mengurangi jumlah mata uang dapat diterjemahkan dengan naik atau jatuhnya mata uang tersebut."
Walter B. Winston dalam The Twilight of Sovereignty (1996) menulis paragraf di atas tidak untuk menceritakan musibah moneter di Indonesia. Ia menggambarkan bagaimana jatuh bangunnya nilai dolar ditentukan oleh berita. Berita itu bisa berasal dari satu tempat di mana saja. Tetapi berkat teknologi komunikasi yang canggih, berita itu disampaikan ke sudut-sudut negeri yang jauh. Sekarang, pemilik kedaulatan bukan rakyat dan bukan pemerintah. Pemilik kedaulatan kini adalah berita. Berita menyebabkan nilai uang yang satu melambung tinggi dan nilai uang yang lain melorot rendah. Karena berita, indeks di pasar bursa naik-turun; pemerintah kuat dan lemah; rakyat sengsara dan kaya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, kita memasuki senja hari kedaulatan.
Pada tahun kesembilan Hijriah, Nabi saw. mendengar berita bahwa kerajaan Byzantium bermaksud menyerang Madinah. Berita itu mengguncangkan Rasulullah. Nabi saw. segera memobilisasi kekuatan. Waktu itu, Madinah sedang diserang musim panas luar biasa. Alquran mencatat keberatan demi keberatan yang diajukan para sahabat. Meski demikian, Nabi saw. bergerak juga, memimpin pasukan pada waktu yang disebut Alquran {QS 9;117} sebagai saat yang penuh kesulitan {sa'ah al-'usrah}. Berita itu ternyata tidak benar. Pasukan Nabi saw. kembali ke Madinah. Peperangan tidak terjadi, tetapi berbagai biaya telah dikeluarkan.
Banyak orang mempertanyakan riwayat ini. karena hubungan Nabi saw. dengan Tuhan sangat dekat, mengapa ia tidak menyadari bahwa berita itu bohong atau paling tidak keliru. Bukankah ia bisa bertanya langsung kepada Yang Mahatahu? Mengapa Rasulullah saw. harus mengeluarkan pengorbanan yang terbukti sia-sia. Apa pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa ini?
Pertama, test case kesetiaan dan kepatuhan. Kita berpendapat Nabi saw. sudah tahu bahwa berita itu tidak benar. Sebagai orang yang paling dekat. Dengan Tuhan, ia diberi anugerah untuk menembus tirai kegaiban. Tetapi, ia ingin menguji keteguhan iman dan ketaatan para sahabatnya pada saat-saat penuh kesulitan. Mereka baru saja memenangkan peperangan yang telah berlangsung selama lebih dari dua dasawarsa. Makkah telah ditaklukkan. Para pembesar yang menindas umat Islam telah dikalahkan. Pada saat "menikmati" hasil perjuangan, tiba-tiba datang berita itu. Para sahabat yang menunggu hasil panen buah-buahan mengajukan keberatan. Sebagian lainnya menyebut udara yang sangat panas sebagai alasan. Ada juga yang menyebut kecantikan perempuan mereka sebagai hal yang dapat menjatuhkan mereka pada fitnah (cobaan). Sebagian besar surat al-Tawbah mengabadikan keberatan seorang demi seorang di antara sahabat Nabi saw. Kalau ada keuntungan yang dekat dan perjalanan yang sederhana sudah tentu mereka mau mengikuti engkau. Tetapi, perjalanan itu bagi mereka terasa amat jauh dan mereka bersumpah dengan (nama) Allah: kalau kami sanggup tentulah kami akan berangkat bersamamu. Mereka membinasakan dirinya sendiri. Dan Allah Mengatahui bahwa mereka adalah para pendusta (QS 9:42).
Kedua, berita _ benar atau dusta _ menentukan gambaran kita tentang dunia. Ada dua dunia: dunia dalam benak kita dan dunia nyata. Di antara keduanya, dunia dalam benak kita paling berpengaruh terhadap kita. Kita mengambil sikap dan menentukan tindakan berdasarkan apa yang kita percaya sebagai kejadian yang sebenarnya. Berita akan menentukan cara kita mendefinisikan sesuatu. Satu kelompok akan kita anggap musuh bila kita percaya kepada berita bahwa mereka memang musuh kita.
Walter Lippman bercerita tentang sebuah koloni yang jauh di tengah Lautan Teduh. Pulau itu dihuni orang Inggris dan Jerman, yang hidup berdampingan secara damai, sampai sebuah berita diterima sangat terlambat. Konon, di Eropa perang di antara kedua bangsa itu sudah berlangsung hampir satu tahun. Begitu mereka mendengar berita itu, hubungan antara kedua bangsa penghuni pulau itu menjadi tegang. Mereka akhirnya bermusuhan juga, tetapi setahun lebih lambat dari saudara-saudara mereka di Eropa. Selama ini, mereka mendefinisikan sesama anggota koloni di sana sebagai sahabat.
Karena teknologi komunikasi, kini suatu berita dapat mencapai seluruh bumi pada saat bersamaan. Dalam sekejap mata, sahabat berubah menjadi musuh. Bank Sentral kekurangan simpanannya. Pemerintah kehilangan kredibilitasnya. Sejumlah besar orang kehabisan kekayaannya. Karena berita itu datang dengan cepat, kita tidak sempat lagi melaksanakan perintah Tuhan: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan musibah pada satu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyasal atas perbuatanmu itu (QS 49:6).
Kita duduk di rumah dan menyaksikan siaran langsung kerusuhan yang terjadi di sebuah negara di bagian bumi yang lain dan nilai mata uang pun jatuh hanya dalam beberapa menit. Kita mendengar melalui satelit bahwa krisis kepemimpinan telah terselesaikan dan mata uang pun naik. Sepuluh menit setelah berita mengenai bencana Chernobyll diterima, data pasar memperlihatkan bahwa stok perusahaan agrikultur mulai beranjak naik di seluruh pasar dunia.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, para investor, pedagang, dan masyarakat awam dapat dengan cepat mengetahui titik impas perdagangan di seluruh dunia. Dan cara menginterprestasikan kejadian tersebut, keinginan mereka untuk menahan lebih banyak atau mengurangi jumlah mata uang dapat diterjemahkan dengan naik atau jatuhnya mata uang tersebut."
Walter B. Winston dalam The Twilight of Sovereignty (1996) menulis paragraf di atas tidak untuk menceritakan musibah moneter di Indonesia. Ia menggambarkan bagaimana jatuh bangunnya nilai dolar ditentukan oleh berita. Berita itu bisa berasal dari satu tempat di mana saja. Tetapi berkat teknologi komunikasi yang canggih, berita itu disampaikan ke sudut-sudut negeri yang jauh. Sekarang, pemilik kedaulatan bukan rakyat dan bukan pemerintah. Pemilik kedaulatan kini adalah berita. Berita menyebabkan nilai uang yang satu melambung tinggi dan nilai uang yang lain melorot rendah. Karena berita, indeks di pasar bursa naik-turun; pemerintah kuat dan lemah; rakyat sengsara dan kaya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, kita memasuki senja hari kedaulatan.
Pada tahun kesembilan Hijriah, Nabi saw. mendengar berita bahwa kerajaan Byzantium bermaksud menyerang Madinah. Berita itu mengguncangkan Rasulullah. Nabi saw. segera memobilisasi kekuatan. Waktu itu, Madinah sedang diserang musim panas luar biasa. Alquran mencatat keberatan demi keberatan yang diajukan para sahabat. Meski demikian, Nabi saw. bergerak juga, memimpin pasukan pada waktu yang disebut Alquran {QS 9;117} sebagai saat yang penuh kesulitan {sa'ah al-'usrah}. Berita itu ternyata tidak benar. Pasukan Nabi saw. kembali ke Madinah. Peperangan tidak terjadi, tetapi berbagai biaya telah dikeluarkan.
Banyak orang mempertanyakan riwayat ini. karena hubungan Nabi saw. dengan Tuhan sangat dekat, mengapa ia tidak menyadari bahwa berita itu bohong atau paling tidak keliru. Bukankah ia bisa bertanya langsung kepada Yang Mahatahu? Mengapa Rasulullah saw. harus mengeluarkan pengorbanan yang terbukti sia-sia. Apa pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa ini?
Pertama, test case kesetiaan dan kepatuhan. Kita berpendapat Nabi saw. sudah tahu bahwa berita itu tidak benar. Sebagai orang yang paling dekat. Dengan Tuhan, ia diberi anugerah untuk menembus tirai kegaiban. Tetapi, ia ingin menguji keteguhan iman dan ketaatan para sahabatnya pada saat-saat penuh kesulitan. Mereka baru saja memenangkan peperangan yang telah berlangsung selama lebih dari dua dasawarsa. Makkah telah ditaklukkan. Para pembesar yang menindas umat Islam telah dikalahkan. Pada saat "menikmati" hasil perjuangan, tiba-tiba datang berita itu. Para sahabat yang menunggu hasil panen buah-buahan mengajukan keberatan. Sebagian lainnya menyebut udara yang sangat panas sebagai alasan. Ada juga yang menyebut kecantikan perempuan mereka sebagai hal yang dapat menjatuhkan mereka pada fitnah (cobaan). Sebagian besar surat al-Tawbah mengabadikan keberatan seorang demi seorang di antara sahabat Nabi saw. Kalau ada keuntungan yang dekat dan perjalanan yang sederhana sudah tentu mereka mau mengikuti engkau. Tetapi, perjalanan itu bagi mereka terasa amat jauh dan mereka bersumpah dengan (nama) Allah: kalau kami sanggup tentulah kami akan berangkat bersamamu. Mereka membinasakan dirinya sendiri. Dan Allah Mengatahui bahwa mereka adalah para pendusta (QS 9:42).
Kedua, berita _ benar atau dusta _ menentukan gambaran kita tentang dunia. Ada dua dunia: dunia dalam benak kita dan dunia nyata. Di antara keduanya, dunia dalam benak kita paling berpengaruh terhadap kita. Kita mengambil sikap dan menentukan tindakan berdasarkan apa yang kita percaya sebagai kejadian yang sebenarnya. Berita akan menentukan cara kita mendefinisikan sesuatu. Satu kelompok akan kita anggap musuh bila kita percaya kepada berita bahwa mereka memang musuh kita.
Walter Lippman bercerita tentang sebuah koloni yang jauh di tengah Lautan Teduh. Pulau itu dihuni orang Inggris dan Jerman, yang hidup berdampingan secara damai, sampai sebuah berita diterima sangat terlambat. Konon, di Eropa perang di antara kedua bangsa itu sudah berlangsung hampir satu tahun. Begitu mereka mendengar berita itu, hubungan antara kedua bangsa penghuni pulau itu menjadi tegang. Mereka akhirnya bermusuhan juga, tetapi setahun lebih lambat dari saudara-saudara mereka di Eropa. Selama ini, mereka mendefinisikan sesama anggota koloni di sana sebagai sahabat.
Karena teknologi komunikasi, kini suatu berita dapat mencapai seluruh bumi pada saat bersamaan. Dalam sekejap mata, sahabat berubah menjadi musuh. Bank Sentral kekurangan simpanannya. Pemerintah kehilangan kredibilitasnya. Sejumlah besar orang kehabisan kekayaannya. Karena berita itu datang dengan cepat, kita tidak sempat lagi melaksanakan perintah Tuhan: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan musibah pada satu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyasal atas perbuatanmu itu (QS 49:6).
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.