Hidup manusia berayun dalam dua keadaan, antara kesedihan dan kebahagiaan. Coba perhatikan lingkungan sekitar kita seperti sahabat kita, tetangga kita atau saudara kita. Mereka akan mengalami hidup yang kadang bahagia dan kadang dilanda kesedihan. Silih berganti seperti perputaran roda, kadang di bawah kadang di atas.
Mengapa kita mengalami kesedihan? Pertanyaan ini sulit dijawab, karena terlalu subyektif, yangsetiap orang mempunyai persepsinya masing-masing. Tetapi secara umum kesedihan merupakan derita jiwa yang dapat timbul akibat hilangnya sesuatu yang kita cintai atau karena kita gagal mendapatkan apa yang kita cari. Sumbernya adalah karena kita terlalu mengagungkan nilai-nilai materi, haus pada nafsu-nafsu badani, lalu merasa rugi kalau salah satu dari itu semua hilang atau gagal kita peroleh.
Misalnya dalam kisah-kisah sejarah para nabi banyak dijumpai para penguasa yang tamak terhadap kehidupan dunia seperti kekuasaan dan harta tidak pernah merasa bahagia. Mereka selalu gelisah dalam menjaga apa yang mereka anggap miliknya itu. Kekhawatiran bangsawan Quraisy akan tergusur pengaruhnya terhadap penduduk Mekkah oleh Nabi Muhammad, dan kecemasan Firaun akan Nabi Musa as merupakan contoh bahwa harta dan kekuasaan tidak dapat memberikan ketenangan dan kebahagiaan.
Begitu pula jika kita amati pejabat-pejabat dan orang-orang kaya di negeri ini namun tidak bahagia. Karena di tengah kekayaannya mereka harus menghadapi ‘kerangkeng besi’ dan cemoohan masyarakat. Suasana ini membawa diri mereka ke dalam situasi yang tidak bahagia walaupun di tengah timbunan harta kekayaan. Dengan demikian hanya manusia yang menganggap bahwa segala kesenangan duniawi yang telah diperolehnya bisa kekal dan senantiasa jadi miliknya, maka manusia yang demikian akan sedih dan gundah gulana karena hilangnya sesuatu yang dia cintai atau karena gagalnya ia mendapatkan apa yang dia cari.
Kalau saja manusia tahu siapa dirinya dan tahu bahwa apa saja yang ada di alam itu tidak kekal, niscaya dia tak akan lagi mendambakan dan tidak lagi mencarinya. Kita harus menyadari bahwa
dunia materi tidaklah abadi, ia dapat hilang dengan tiba-tibawalaupun kita menjaga dengan hati-
hati.
Dengan demikian jika kita sudah tidak mendambakannya lagi, maka tak akan lagi dia bersedih hati karena hilangnya apa yang diingini atau gagal diperolehnya apa yang diangankannya di dunia ini. Seharusnya kita mengarahkan upaya ke tujuan-tujuan suci dan hanya mencari kebaikan-kebaikan kekal saja.
Dengan orientasi hidup pada tujuan-tujuan suci itu, maka kita hanya akan mengambilnya sebatas yang diperlukannya untuk menghilangkan rasa lapar, telanjang atau kebutuhan-kebutuhan mendesak lainnya yang serupa. Kita tidak akan menimbun harta. Kita tidak akan berfoya-foya dan berbangga ria. Sekiranya harta itu lepas dari tangan, kita tak akan menyesalinya dan tak akan mempedulikannya. Sungguh jika kita berbuat seperti itu pasti kita akan tenteram, tidak gundah gulana, akan gembira tidak bersedih, akan bahagia tidak sesak dadanya. Barangsiapa tidak menerimanya dan tidak mengobati jiwanya dengan cara ini, dia akan gelisah dan bersedih hati selamanya. Sebab dia tak pernah bisa lolos dari gagalnya memperoleh sesuatu yang dia cari, dan hilangnya sesuatu yang dia cintai.
Barang siapa dengan berbuat baik ia merasa puas, dan dengan apa yang tidak didapatnya tidak bersedih hati, maka dia akan gembira dan bahagia selamanya. Kalau orang meragukan, bahwa perasaan seperti ini bermanfaat, hendaknya dia merenungkan perasaan orang mengenai tujuan yang mereka upayakan dalam kehidupan mereka, dan amati bagaimana mereka berbeda-beda dalam merespon kehidupan ini berdasarkan keadaan-keadaan dan perasaan-perasaan mereka. Jika kita renungkan maka akan mengungkapkan secara jelas dan terang kehidupan mereka dalam berbagai profesi dan bagaimana perasaan mereka menanggapinya.
Kalau kita perhatikan dengan saksama beragam kelas sosial yang ada. Akan terlihat bahwa kegembiraan seorang pedagang terjadi bila dia berdagang, prajurit bila dia pemberani, penjudi bila dia berjudi, manipulator bila dia manipulasi atau banci dengan kebanciannya. Tiap-tiap orang ini berasumsi bahwa orang yang tidak seperti mereka adalah orang yang tertipu dan tidak merasakan kesenangan yang mereka nikmati. Hal ini karena setiap kelompok sangat merasa bahwa cara hidupnyalah yang benar dan karena sudah lama terbiasa dengan cara hidupnya sendiri.
Demikian pula dengan seorang pencari kebajikan yang menekuni jalur hidupnya sendiri, jika perasaaannya menjadi kuat, dan jika penilainnya tetap baik dan praktiknya terus berkelanjutan dia lebih berhak mengecap kegembiraan dibanding kelas-kelas sosial di atas yang tersesat dalam gelapnya kebodohan mereka sendiri. Dialah seharusnya yang paling bahagia di sisi Sang Maha Pemberi nikmat karena dia benar dan mereka salah, dia yakin dan mereka tidak yakin, dia sehat akalnya dan mereka tidak, dia bahagia mereka sengsara, dia sahabat Allah mereka musuh-musuh-Nya. Allah berfirman: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ditimpa kekhawatiran dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS.10:62)
Al-Kindi (796-873M), seorang filosof awal Muslim, mengungkapkan tentang makna kesedihan yang menimpa pada kebanyakan manusia. Menurutnya, kesedihan yang ditimbulkan oleh manusia dan ditimpakan pada dirinya bukanlah sesuatu yang alami. Kata al-Kindi, “Orang yang bersedih hati karena kehilangan miliknya atau gagal memperoleh sesuatu yang dicarinya, kemudian merenungkan kesedihannya secara filosofis lalu dia mengerti bahwa penyebab kesedihannya itu bukanlah keharusan, lalu dia saksikan banyak orang yang tidak memiliki harta itu tapi mereka tidak sedih, bahkan gembira dan bahagia, dia tak pelak lagi akan tahu bahwa kesedihan bukanlah hal yang niscaya dan tidak alami.”
Ini berarti kesedihan merupakan sikap mental kita menghadapi kondisi lingkungan. Banyak orang yang dirundung kemiskinan tapi hatinya bahagia, sedangkan orang kaya hatinya belum tentu bahagia. Karena kekayaan materi belum tentu membahagiakan ruhani. Ini misalnya dapat kita saksikan orang-orang yang kehilangan anak, saudara maupun teman mereka, hingga terlihat betapa sedihnya mereka? Namun tak lama berselang, mereka pun kembali senang dan tertawa, bahagia, lalu pulih kembali seperti orang yang tak pernah bersedih hati sama sekali? Begitu pula orang yang kehilangan harta atau benda apa saja yang didambakan manusia, yang bilabenda itu hilang dia jadi kecewa dan sedih hati.
Orang seperti itu akhirnya gembira, lenyap kesedihannya, lalu bahagia lagi. Kalaulah seorang yang berakal mau mengamati secara cermat kondisi yang kerap terjadi dalam masyarakat banyak di saat mereka sedih, dan mengamati sebab-sebab yang melatarbelakanginya akan terlihat olehnya bahwa musibah tertentu tidak hanya menimpa dirinya saja dan bahwa akhir dari musibahnya adalah kegembiraan.
Demikian pula kesedihan adalah penyakit aksidental yang sama buruknya dengan penyakit yang ditimpakan manusia atas dirinya sendiri yang tidak alami seperti penyakit fisik. Kesadaran akan pentingnya nilai spiritual dibandingkan material ini tumbuh seiring dengan pertumbuhan alamiah jiwa yang dimulai di dalam rahim, ketika Allah meniupkan ruh-Nya sendiri ke dalam tubuh. Ruh ini, yang turun melalui alam Alastu, merupakan cahaya yang murni dan hidup, sedangkan tubuh adalah tanah gelap dan mati.
Penyatuan ruh dan raga membangkitkan daya jiwa, yang mencakup dua dunia, spiritual dan material. Jiwa adalah perantara yang melaluinya ruh yang murni dan transenden dihubungkan dengan raga yang fana. Ia adalah jumlah keseluruhan kehidupan dan kesadaran yang muncul pada pertemuan cahaya dan jasad. Hanya jiwa yang lebur kedalam dunia, namun secara batin terbuka bagi Yang Tak terbatas.Terbukanya jiwa pada Yang Tak Terbatas akan menumbuhkan sebuah kesadaran spiritual.
Kesadaran inilah yang menjadikan manusia mempunyai sikap bijaksana, tidak dengki, kesadaran kemanusiaan dan berorientasi pada yang kekal dan ruhani. Dengan kesadaran seperti ini maka kita seharusnya menyadari bahwa di alam ini tidak ada yang kekal. Janganlah seperti orang yang disodori wewangian yang langka untuk dihirup baunya dan dinikmati keharumannya, tetapi dia mendambakannya dan mengira bahwa wewangian itu diberikan padanya untuk selamanya, sehingga ketika wewangian itu diambil darinya, dia bersedih hati, kecewa dan marah.
Penyatuan ruh dan raga membangkitkan daya jiwa, yang mencakup dua dunia, spiritual dan material. Jiwa adalah perantara yang melaluinya ruh yang murni dan transenden dihubungkan dengan raga yang fana. Ia adalah jumlah keseluruhan kehidupan dan kesadaran yang muncul pada pertemuan cahaya dan jasad. Hanya jiwa yang lebur kedalam dunia, namun secara batin terbuka bagi Yang Tak terbatas.Terbukanya jiwa pada Yang Tak Terbatas akan menumbuhkan sebuah kesadaran spiritual.
Kesadaran inilah yang menjadikan manusia mempunyai sikap bijaksana, tidak dengki, kesadaran kemanusiaan dan berorientasi pada yang kekal dan ruhani. Dengan kesadaran seperti ini maka kita seharusnya menyadari bahwa di alam ini tidak ada yang kekal. Janganlah seperti orang yang disodori wewangian yang langka untuk dihirup baunya dan dinikmati keharumannya, tetapi dia mendambakannya dan mengira bahwa wewangian itu diberikan padanya untuk selamanya, sehingga ketika wewangian itu diambil darinya, dia bersedih hati, kecewa dan marah.
Inilah kondisi orang yang mendambakan hal yang mustahil dan orang yang kehilangan akal sehat. Inilah kondisi orang yang dengki, sebab dia ingin menguasai barang-barang dan tak membaginya kepada orang lain dan dengki adalah penyakit terburuk dan kejahatan paling busuk. Oleh sebab itu, para filosof berkata, “Barangsiapa ingin supaya musuhnya ditimpa keburukan, berarti dia penjahat!” yang lebih jahat dari ini adalah orang yang ingin agar kebaikan yang dimiliki teman-temannya sirna, berarti dia menghendaki agar temannya ditimpa keburukan.”
Konsekuensi dari keburukan-keburukan ini adalah orang bersedih hati di saat orang lain memperoleh kebaikan, laludengki pada mereka karena mereka mendapat kebaikan. Tak soal apakah kebaikan–kebaikan itu berupa milik kita atau bukan milik kita.
Konsekuensi dari keburukan-keburukan ini adalah orang bersedih hati di saat orang lain memperoleh kebaikan, laludengki pada mereka karena mereka mendapat kebaikan. Tak soal apakah kebaikan–kebaikan itu berupa milik kita atau bukan milik kita.
Dalam hal ini dibutuhkan sebuah kesadaran akan makna hidup yang melepaskan diri darijerat-jerat kedengkian dan rasa memiliki kedunian yang terlalu berlebihan. Sebuah kesadaran untuk membangun orientasi hidup yang lebih mengharmonisasikan hubungan antara Allah dan sesama manusia, berupa tujuan-tujuan yang berjiwa kesucian.
Oleh: Rudhy Suharto
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.