Kita khawatir modernisasi telah membawa kita kepada situasi yang jauhlebih terpuruk dari keterpurukan yang kita alami selama ini. Betapa tidak. Ekonomi kita tegakkan diatas dasar keuntungan semata. Kita tidak lagi tersentuh oleh derita rakyat kecil yang tanahnya kita gusur. Kita pura-pura tidak tahu ketika ribuan orang kehilangan mata pencaharian karena ulah kita. Kita menjadi buta dan tuli menyaksikan anak-anak miskin putus sekolah. Politik kita bangun hanya untuk kekuasaan. Kita tusuk kawan seiring; kita kecoh lawan; kita singkirkan pesaing, semua tanpa belas kasihan. System sosial kita bertopang pada popularitas semata. Sebagai pengganti kasih sayang, kita dewakan kemasyhuran; seperti laron mengejar-ngejar cahaya, lalu mati sebelum, atau sesudah, menyentuhnya.
Lalu, keberagamaan kita juga menjadi sejumlah doktrin kering untuk memenggal kepala orang atau keberagamaan kita juga sudah menjadi seperangkat kosmetik untuk menutup borok kita. Kita menjadi malaikat Zabaniyyah yang berwajah masam _ siap memasukkan siapa saja, selain kita, ke neraka. Atau, kita termasuk orang yang menjadikan agama permainan dan hiburan. Upacara-upacara agama kita selenggarakan seperti menggelar festival, tanpa ruh dan kehangatan didalamnya.
Allah mengingatkan kita:
"Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai mainan dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Peringatkanlah (mereka) dengan Al-Quran itu agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke dalam neraka, karena perbuatannya sendiri. Tidak akan ada baginya pelindung dan tidak (pula) pemberi syafa'at selain dari pada Allah. Dan jika ia menebus dengan segala macam tebusanpun, niscaya tidak akan diterima dari padanya. Mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka disebabkan perbuatan mereka sendiri. Bagi mereka (disediakan) minuman dari air yang sedang mendidih dan adzab yang pedih disebabkan kekafiran mereka dahulu." (Q.S. Al-An'am (6):70).
Islam berarti pasrah, berserah diri. Karena apa kita pasrah kepada Dia? Seseorang bisa pasrah kepada-Nya dapat disebabkan karena tuntutan sosial, keuntungan ekonomi atau melarikan diri dari frustasi. Bila kita agak "maju," kita pasrah kepada Dia karena mengharapkan pahala, ganjaran, atau pamrih. Lalu Tuhan pun menjadi sosok yang kita "suruh" untuk memuaskan egoisme kita. Lebih maju lagi, kita berserah diri karena takut siksaan, hukuman, dan kekuasaannya. Di atas kita, para filosof pasrah kepada Dia karena tuntunan akalnya. "Agama itu akal. Tidak ada agama buat orang yang tidak berakal," kata para filosof. Tapi masyarakat kita kini tengah merindukan keberagamaan yang lain. Bukan hanya akal. Kita ingin seperti para sufi yang pasrah kepada Dia melalui jalan cinta.
Jalan cinta kaum sufi bukan jalan meninggalkan realitas dunia sebab jalan cinta para sufi adalah menyongsong dunia untuk merahmahkannya. Jalan cinta para sufi bukan untuk mengobati penderitaan sebab jalan cinta para sufi mengubah penderitaan menjadi kehormatan. Jalan cinta para sufi bukan untuk membenci rasio, malah jalan cinta para sufi dapat meningkatkan dan memperluas kemampuan rasio. Yang penting dari itu semua, jalan cinta para sufi tidak menafikan syariat sebab jalan cinta para sufi berpijak pada syariat untuk menjalani tarekat agar mencapai hakekat.
Banyak jalan menuju Dia. Salah satu di antara jalan itu adalah jalan kesucian yang ditempuh para sufi. Mereka yang dikirim percik kasih Tuhan untuk menyirami hatinya.
Inilah keberagamaan yang membuat Anda, professional, artist, businismen, bankers, entrepreneur, insurance, propherty agent, networkers menjadi tulus dan perkasa.
Lalu, keberagamaan kita juga menjadi sejumlah doktrin kering untuk memenggal kepala orang atau keberagamaan kita juga sudah menjadi seperangkat kosmetik untuk menutup borok kita. Kita menjadi malaikat Zabaniyyah yang berwajah masam _ siap memasukkan siapa saja, selain kita, ke neraka. Atau, kita termasuk orang yang menjadikan agama permainan dan hiburan. Upacara-upacara agama kita selenggarakan seperti menggelar festival, tanpa ruh dan kehangatan didalamnya.
Allah mengingatkan kita:
"Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai mainan dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Peringatkanlah (mereka) dengan Al-Quran itu agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke dalam neraka, karena perbuatannya sendiri. Tidak akan ada baginya pelindung dan tidak (pula) pemberi syafa'at selain dari pada Allah. Dan jika ia menebus dengan segala macam tebusanpun, niscaya tidak akan diterima dari padanya. Mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka disebabkan perbuatan mereka sendiri. Bagi mereka (disediakan) minuman dari air yang sedang mendidih dan adzab yang pedih disebabkan kekafiran mereka dahulu." (Q.S. Al-An'am (6):70).
Islam berarti pasrah, berserah diri. Karena apa kita pasrah kepada Dia? Seseorang bisa pasrah kepada-Nya dapat disebabkan karena tuntutan sosial, keuntungan ekonomi atau melarikan diri dari frustasi. Bila kita agak "maju," kita pasrah kepada Dia karena mengharapkan pahala, ganjaran, atau pamrih. Lalu Tuhan pun menjadi sosok yang kita "suruh" untuk memuaskan egoisme kita. Lebih maju lagi, kita berserah diri karena takut siksaan, hukuman, dan kekuasaannya. Di atas kita, para filosof pasrah kepada Dia karena tuntunan akalnya. "Agama itu akal. Tidak ada agama buat orang yang tidak berakal," kata para filosof. Tapi masyarakat kita kini tengah merindukan keberagamaan yang lain. Bukan hanya akal. Kita ingin seperti para sufi yang pasrah kepada Dia melalui jalan cinta.
Jalan cinta kaum sufi bukan jalan meninggalkan realitas dunia sebab jalan cinta para sufi adalah menyongsong dunia untuk merahmahkannya. Jalan cinta para sufi bukan untuk mengobati penderitaan sebab jalan cinta para sufi mengubah penderitaan menjadi kehormatan. Jalan cinta para sufi bukan untuk membenci rasio, malah jalan cinta para sufi dapat meningkatkan dan memperluas kemampuan rasio. Yang penting dari itu semua, jalan cinta para sufi tidak menafikan syariat sebab jalan cinta para sufi berpijak pada syariat untuk menjalani tarekat agar mencapai hakekat.
Banyak jalan menuju Dia. Salah satu di antara jalan itu adalah jalan kesucian yang ditempuh para sufi. Mereka yang dikirim percik kasih Tuhan untuk menyirami hatinya.
Inilah keberagamaan yang membuat Anda, professional, artist, businismen, bankers, entrepreneur, insurance, propherty agent, networkers menjadi tulus dan perkasa.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.