Nabi Muhammad saw. berkhutbah di padang 'Arafah. Khutbah terakhir pada haji terakhir. Pada akhir khutbahnya itu beliau bersabda, "Rubba mubalighin aw'a min sami'in, Orang yang menyampaikan lebih sering dapat memelihara dari pada yang hanya mendengarkan." Begitulah lahir kata Mubaligh. Sejak itu, sepanjang sejarah Islam, ada sekelompok umat yang bekerja untuk menyampaikan pesan Nabi. Ia bukan saja dihormati Nabi karena memelihara khazanah ilmu Islam, tapi juga disegani umat karena dialah yang sebenarnya memelihara eksistensi Islam. Dialah pewaris para Nabi.
Mubaligh datang dalam berbagai sosok. Ia dapat muncul dalam sosok faqih. Ia mendalami syariat Islam. Kepadanya orang bertanya tentang halal dan haram. Ia menjadi narasumber untuk mengetahui cara yang benar dalam beragama: salat, puasa, haji, waris, nikah, atau jual-beli. Untuk menjadi faqih, ia telah menghabiskan sebagian besar usianya di pesantren. Umat harus taklid kepadanya.
Mubaligh juga bisa tampil sebagai sufi. Ia dikenal karena kesungguhannya dalam beribadat dan kesederhanaannya dalam kehidupan. Ia menjadi rujukan untuk perkembangan spiritual. Ia dianggap memiliki keramat karena kesucian batinnya. Pada wajahnya ada aurat sacral. Orang datang hanya untuk sekadar melihat wajahnya, meneguk sisa air minumannya, atau mengambil berkah dari doanya. Namanya disebut dalam wirid para pengikutnya. Jika membantahnya, itu bisa mendatangkan laknat atau kualat. Orang jawa memanggil mubaligh dengan sebutan "kiai," sebuah istilah yang juga mereka pergunakan untuk merujuk benda-benda yang mempunyai kekuatan supranatural. Sedangkan di zaman dahulu mereka menyebutnya "wali."
Dalam sejarah Indonesia, mubaligh seperti inilah yang pertama kali datang. Kemudian perlahan-lahan wajah faqih muncul. Hubungan antara ulama dan umatnya sangat formal, seperti hubungan guru dengan murid-muridnya disekolah. Ulama tidak boleh di kritik atau dikecam. Pada awal abad ke-20, lahir kelompok modernis. Mereka mengkritik ulama tradisional sebagai penyebab kemunduran Islam. Mereka membuang institusi taklid. Penghormatan kepada ulama dianggap sebagai feodalisme. Mengambil berkat kepada mereka dipandang musyrik. Ulama tidak dipanggil lagi dengan sebutan "kiai," Ia cukup disapa dengan "ustadz" saja. Lagi pula, setiap orang bisa menjadi mubaligh. Dengan alasan hadis "Sampaikan dari aku walaupun satu ayat," setiap orang bisa jadi mubaligh. Ulama sebagai faqih dan sufi tersingkir. Yang diperlukan sekarang hanyalah keterampilan berbicara. Berkembanglah fatwa yang keluar dari keawaman. Tidak jarang dari sinilah bersumber konflik sosial.
Ketika globalisasi datang, orang berhadapan dengan benturan nilai. Agama, yang bercabik-cabik dalam berbagai paham, tidak dapat memberikan kepastian. Orang merindukan kembali agama yang keluar dari pemegang otoritas. Mulai akhir paruh kedua abad ke-20, terjadilah kerinduan kembali kepada Islam yang tradisional. Sekaligus juga ada dambaan akan hadirnya ulama yang bersosok sufi. Agama kaum modernis dirasakan gersang, kering, dan tidak bermakna. Umat merindukan sosok sufi. Tetapi yang dilahirkan zaman adalah mubaligh dalam sosok baru: bukan sufi, bukan pula faqih. Teknologi modern dan media massa telah melahirkan mubaligh pop.
Ketika globalisasi datang, orang berhadapan dengan benturan nilai. Agama, yang bercabik-cabik dalam berbagai paham, tidak dapat memberikan kepastian. Orang merindukan kembali agama yang keluar dari pemegang otoritas. Mulai akhir paruh kedua abad ke-20, terjadilah kerinduan kembali kepada Islam yang tradisional. Sekaligus juga ada dambaan akan hadirnya ulama yang bersosok sufi. Agama kaum modernis dirasakan gersang, kering, dan tidak bermakna. Umat merindukan sosok sufi. Tetapi yang dilahirkan zaman adalah mubaligh dalam sosok baru: bukan sufi, bukan pula faqih. Teknologi modern dan media massa telah melahirkan mubaligh pop.
Tidak ada yang keliru dari setiap kemunculan cabang kebudayaan. Begitu pula dengan kemunculan Budaya Pop, budaya paling besar menyedot massa karenanya paling besar implikasi sosialnya, baik sosial politik, sosial ekonomi hingga sosial budaya itu sendiri. Itulah kenapa partai-partai butuh penyanyi pop untuk menarik massa. Itulah kenapa gaji seorang pegawai negeri yang ditabung hingga pensiun tiba, cuma setara dengan honor pemanggungan seorang bintang pop yang tengah ada dipuncak tangga.
Dunia Pop adalah dunia yang paling melibatkan jumlah massa. Karenanya sangat mendesak menelisik kenapa pemassa-an itu terjadi dan jangan-jangan kita berada didalamnya. Seni pop memang adalah cabang seni yang paling dekat dengan selera massa. Jika ia lagu adalah lagu yang paling mudah dihafal dan dinyanyikan oleh kaum hawa. Jika ia senirupa adalah seni yang mudah dilihat dan dicerna para awam. Makin tinggi tingkat hasutannya kepada awam, Seni Pop semacam itu akan semakin banyak menarik massa.
Dunia Pop adalah dunia yang paling melibatkan jumlah massa. Karenanya sangat mendesak menelisik kenapa pemassa-an itu terjadi dan jangan-jangan kita berada didalamnya. Seni pop memang adalah cabang seni yang paling dekat dengan selera massa. Jika ia lagu adalah lagu yang paling mudah dihafal dan dinyanyikan oleh kaum hawa. Jika ia senirupa adalah seni yang mudah dilihat dan dicerna para awam. Makin tinggi tingkat hasutannya kepada awam, Seni Pop semacam itu akan semakin banyak menarik massa.
Dari Ranah Pop pulalah lahir sebutan “Mega” dan “Maha Bintang”, “Pertunjukan Akbar” dan sebagainya yang keseluruhan sebutan itu sebetulnya lebih mengacu pada besaran massa yang mengikutinya. Disetiap keadaan, Budaya Pop semacam itu selalu ada. Malah semakin maju sebuah negara, Budaya Pop itu semakin mengalami pencanggihan. Tetapi bedanya ialah kemajuan pendidikan dinegara maju itu berhasil pula melanjutkan study budayanya sehingga sanggup mengagumi bentuk-bentuk artistic diluar kesenian massa. Sementara negara berkembang Budaya Pop itu cenderung mendominasi selera masyarakat.
Tanpa sebuah proses pendidikan yang memadai selera massa itu akan lama tertahan dalam satu keadaan dan akhirnya publik akan sulit di ajak menjadi dewasa. Publik yang belum dewasa itu kemudian akan mudah terprovokasi oleh iklan dan realitas semu yang dibangun media. Publik akan mudah mempercayai seseorang yang ditampilkan sempurna oleh media sebagai benar-benar idola yang sempurna.
Begitu pula apa yang dikabarkan “jahat” oleh media, jahat pula dimata publiknya. Bahaya pertama dari Kebudayaan Pop ini ialah kepatuhannya yang tinggi kepada kata-kata media. Jika media massa yang dipercayai itu adalah juga media massa pengabdi budaya pop, maka persoalannya menjadi ganda. Jika budaya semacam itu melanda masyarakat dalam komposisi yang begitu besarnya maka selera publik di negara itu sungguh ada dalam bahaya. Masyarakat itu akan mudah sekali terhasut oleh propaganda dengan kedok artistic.
Dalam Budaya Pop media massa pun mengemas dakwah dan mubaligh. Dakwah yang disajikan media massa adalah realitas kedua. Di dalamnya sudah masuk perilaku media, termasuk efek suara, efek tata-letak, dan efek visual. Yang menemukan kualifikasi mubaligh bukan lagi masalah keilmuan, bukan pula integritas moral, apalagi kualitas ruhaniah. Yang menentukan adalah selera para pengelola media massa. Dakwah sekarang menjadi bagian dari budaya pop.
Karena dakwah menjadi budaya pop, mubaligh sekarang tampil sebagai selebriti. Hubungan mubaligh dengan pengikutnya sama seperti hubungan artis dengan "fans." Di wajahnya tidak ada lagi aura sacral. Yang ada adalah sinar yang berasal dari lampu sorot kamera. Bahkan, sebelum ia tampil di depan massa, petugas tata-rias sudah memoles mukanya.
Karena " time slots" atau ruang dalam media sangat terbatas, tidak mungkin mubaligh menyampaikan informasi yang lengkap. Ia harus menyederhanakan pembicaraan. Ia juga harus membuatnya menarik. Perlahan-lahan unsur "entertainment" menggeser informasi. Tujuan utamanya ialah bagaimana menghibur pendengar. Dengan demikian, kemampuan acting menggantikan kemampuan mengucapkan Alquran dan hadis dengan fasih.
Sebagai selebriti, mubaligh sekarang bergaul dengan kelompok yang eksklusif. Untuk itu, sebagaimana anggota kelompok eksklusif mana pun, ia memerlukan aksesoris. Ia harus tampil dalam suasana glamour. Ia harus mempunyai mobil mewah, rumah megah, kartu kredit, telepon genggam, dan agen. Lalu kita saksikan mubaligh sekarang penuh buar-buar akhirat tetapi sangat duniawi, penuh dengan teriakan takbir tetapi tak berdaya dengan kesombongan hati, penuh dengan pengakuan-pengakuan paling Islami tetapi membangun gedung kemunafikan untuk menimbun kebodohan demi kebodohannya. Mubaligh pop tidak sama dengan kebanyakan kita. Mereka hidup dalam dunia mimpi kita. Mereka terkenal, kaya-raya, dan berdiri di tengah orang-orang yang cantik jelita.
Buat media massa, mubaligh pop adalah pembuat berita. Kehidupan pribadinya menjadi sorotan. Hidung media masuk sampai ke dapur dan kamar tidurnya. Dengan semangat, media menyebarkan dan membesar-besarkan gossip di sekitar kehidupannya sehari-hari.
Buat media massa, mubaligh pop adalah pembuat berita. Kehidupan pribadinya menjadi sorotan. Hidung media masuk sampai ke dapur dan kamar tidurnya. Dengan semangat, media menyebarkan dan membesar-besarkan gossip di sekitar kehidupannya sehari-hari.
Semua itu terjadi justru ketika umat merindukan mubaligh dalam sosok pemimpin ruhaniah, dimasa lalu, dimasa keemasan Ulama Billah (Ulamanya Allah), bintang-bintang ilmu pengetahuan bertaburan, purnama para kekasih Allah memendar Cahaya Robbul ‘Izzah, pedang-pedang pena menghunus kebatilan. Betapa kecewanya umat ketika mendengar berbagai gossip media. "Idola" mereka dibangun dan diruntuhkan media. Tetapi itulah risikonya menjadi bagian dari budaya pop. Anda bisa melejit dalam waktu singkat dan memudar dalam waktu yang lebih cepat lagi.
Dimanapun posisi kita, apapun profesi kita; professional, artis, businismen, bankers, entrepreneur, insurance, propherty agent, networkers; Meski begitu, di luar panggung, mungkin jauh dari hiruk-pikuk media, Anda masih akan menemukan mubaligh dalam sosok sufi. Ia menghindari media. Ia memilih ketenangan batin. Ia lah yang sebenarnya istiqamah terus mengupayakan dan mendewasakan selera publik. Ia memilih malam yang gelap untuk merintih mengadukan derita umatnya. Umat yang merupakan pilar penting bagi kemajuan sebuah bangsa yang makin lama makin dewasa akan mendekati mereka. Dan kafilah ruhani yang panjang ini akan terus bergerak mendekati Allah SWT.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.