.:. Kata-Kata Mutiara Hari Ini: "Pergilah keluh, ku tak mau berteman dengamu... Silahkan kesah, kau bukan takdirku... Mujahadah adalah temanku, dakwah adalah nafasku dan Allah adalah kasihku... Maafkan segala kesalahan...Bila Allah mengampuni dosa-dosamu, kamu pasti bertobat...Bila Allah menerimamu, kamu pasti bertaqarrub dengan ikhlas kepada-Nya...Bila Allah mengingatmu, kamu pasti berdzikir kepada-Nya...Bila Allah menunjukkan kemuliaan-Nya padamu, kamu pasti merasa hina-dina dihadapan-Nya...Bila Allah hendak mencukupimu, pasti kamu merasa faqir kepada-Nya...Bila Allah menunjukkan kekuatan-Nya padamu, pasti engkau lemah tidak berdaya...Bila Allah menunjukkan kekuasaan-Nya, pasti engkau tak memiliki kemampuan apa-apa...Bila Allah mencintaimu, kamu pasti mencintai-Nya...Bila Allah meridhoimu, engkau pasti ridho terhadap apapun ketentuan-Nya...Bila Allah mengangkat derajatmu, engkau selalu memasuki pintu-pintu taatmu...Bila Allah menghinamu, kamu pasti bermaksiat dan menuruti hawa nafsumu...Taat itu lebih utama dibanding pahalanya...Doa itu lebih utama dibanding ijabahnya...Istiqomah itu lebih utama dibanding karomahnya...Berjuang itu lebih utama dibanding suksesnya...Sholat dua rekaat itu lebih utama ketimbang syurga seisinya...Bertobat itu lebih utama ketimbang ampunan...Berikhtiar itu lebih utama ketimbang hasilnya...Bersabar itu lebih utama ketimbang hilangnya cobaan...Dzikrullah itu lebih utama dibanding ketentraman hati...Wirid itu lebih utama ketimbang waridnya...Jangan menunggu bahagia baru tersenyum, tapi tersenyumlah, maka kamu kian bahagia " .:. ~~

Get Updates Via Email

Dapatkan update terbaru

dari Blog SufiUnderground langsung ke
Email anda!

Saleh dan Malu



Oleh : Muhammad Shobary
Beruntung saya pernah mengenal tiga orang saleh. Ketiganya tinggal di daerah yang berbeda. Sikap dan pandangan agamis mereka berbeda dan jenis kesalehan merekapun berbeda.

Saleh pertama di Kelender, orang Betawi campuran Arab. Dia saleh semata karena namanya. Orang menyukainya karena ia aktif siskamling meskipun itu malam bukan malam gilirannya.

Orang kedua, Haji Saleh, Habib Farisi, Orang Jawa. Agak aneh memang habib Farisi, sebuah nama Jawa. Tapi ia saleh dalam arti sebenarnya, minimal kata para anggota jamaah masjid kampung itu. Jenggotnya panjang, pici putihnya tak pernah lepas, begitu juga sarung berekat abu-abu itu. Tutur katanya lembut seperti Mas Danarto. Dia cekatan memberi senyum kepada orang lain, alasannya senyum itu sedekah. Kepada anak kecil dia sayang, hobinya mengusap kepala bocah-bocah, yang selalu berisik pada saat salat jamaah berlangsung.

Usapan itu dimaksudkan agar anak-anak tak lagi bikin gaduh. Tapi bocah tetap bocah. Biar seribu kali kepala diusap, ribut tetap jalan seolah mereka khusus diciptakan Tuhan buat bikin ribut di masjid. “Ramai itu baik saja…”, katanya sabar ketika orang-orang lain pada marah. “Karena ramai tanda kehidupan !,”  katanya lagi. “Disamping itu kita harus bisa salat khsuyu’ biar dalam suasana keramaian seperti itu !” Mungkin dia benar, buktinya dia betah berjam-jam dzikir di masjid atau dirumahnya sendiri.


Sering salatnya sambung bersambung tanpa terputus oleh kegiatan lain. Selesai Magrib, ia tetap berdzikir sambil kepalanya terangguk-angguk, hingga tiba salat Isya’. Jauh malam ketika semua orang masih lelap dalam mimpi masing-masing, dia sudah mulai salat malam. Kemudian dzikir panjang sampai Subuh tiba. Selesai subuh ia dzikir lagi, mengulang-ngulang asmaa-ul husna dan beberapa ayat pilihan, sampai terbit matahari. Ketika shalat Dluha kemudian dia lakukan. Pendeknya dia penghuni masjid.   

Tidurnya cuma sedikit sekali. Sehabis Isya’ dia tidur sekitar dua jam. Kemudian selesai salat dluha tidur satu jam lagi. Selebihnya dzikir, dzikir dan dzikir. Pas betul dengan nama-nama yang disandangnya. Dasar sudah saleh, plus habib, nama sufi besar, ditambah Farisi, seorang sahabat nabi. Kalau kita sulit menemukan pejabat karena banyak acara, kita akan sulit menemui orang Jawa ini karena ibadahnya di masjid begitu padat. Para tetangga menaruh hormat kepadanya. Banyak pula yang menjadikannya semacam idola. 

Namun ia pun punya kekurangan. Ada dua macam cacat utamanya: Pertama, kalau dalam salat jamaah tak ditunjuk menjadi imam, ia agak tersinggung. Kedua, kalau orang tidak sering sowan kerumahnya, dia tidak suka karena ia menganggap orang itu telah mengingkari eskistensinya sebagai orang yang ada didepan. Apakah ia dengan demikian aktif dimasjid karena ingin menjadi tokoh ? hanya Tuhan yang tahu dan dia sendiri.

Pernah saya berdialog dengannya, setelah begitu gigih menanti dzikirnya yang panjang itu selesai. Saya katakan bahwa bila punya waktu banyak saya ingin selalu dzikir di masjid seperti dia. Saya tahu, kalau sudah pensiun saya akan punya waktu macam itu. “Ya, kalau sampean sempat pensiun,” komentarnya. “Maksud pak haji ?” “Memangnya kita tahu berapa panjang usia kita?, memangnya kita tahu kita sampai usia pensiun ?”  Ya. Ya, benar pak haji, saya merasa terpojok.

Untuk mendapat sedikit bagian dunia kita rela menghabiskan seluruh waktu kita. Mengapa kita keberatan menggunakan beberapa jam sehari buat hidup kekal abadi, di sorga. Benar Pak Haji, orang memang sering sibuk mengejar dunia. Itulah cari neraka saja mereka, maka tak bosan-bosan saya ulang nasehat bahwa orang harus salat sebelum disalatkan.

Mungkin tak ada yang salah dalam sikap Pak Haji Saleh. Tapi kalau saya takut sebabnya kira-kira karena ia terlalu menggarisbawahi ancaman. Saya membandingkannya dengan orang saleh ketiga. Ia juga haji. Pedagang kecil. Petani kecil dan imam disebuah masjid kecil. Namanya bukan saleh, melainkan Sanip. Haji sanip orang betawi asli.

Meskipun ibadahnya dimasjid tak seperti haji saleh, kita bisa merasakan kehangatan imannya. Waktu saya tanya mengapa salatnya sebentar dan doanya begitu pendek, cuma melulu istigfar, yaitu mohon ampunan kepada Allah. Dia bialang bahwa dia tidak ingin minta yang aneh-aneh. Dia malu kepada Allah.”Bukankah Allah sendiri menyuruh kita meminta ? dan bukankah Ia berjanji akan mengabulkannya ?”

“Itu betul ! tapi minta atau tidak kondisi kita sudah dengan sendirinya memalukan. Kita ini cuma sekeping jiwa telanjang.  Dari hari kehari “nyadong” berkah-Nya tanpa pernah memberi. Allah memang Maha Pemberi termasuk memberi kita rasa malu. Kalau rizki-Nya kita makan, mengapa rasa malunya tak kita kita gunakan ?!,” katanya lagi. Bergetar saya. Untuk pertamakalinya saya merasa malu pada hari itu. Seribu malaikat, nabi-nabi, para wali dan orang-orang suci langsung dibawah komando Allah seperti serentak mengamini ucapan orang Betawi ini.           

Perhatikan dimasjid-masjid. Jemaah yang minta Allah kekayaan, tambahan rizki, naik gaji, naik pangkat, memang mereka pikir Allah itu kepala bagian kepegawaian dikantor kita ? Allah kita puji-puji karena akan kita mintai sesuatu. Ini bukan ibadah tapi dagang namanya ! Mungkin bahkan pemerasan yang tak tahu malu. Allah kita sembah lalu kita perah rizki dan berkah-Nya. Bukannya kita sembah karena kita memang harus menyembah, seperti tekad Al-Adawiyah, sufi besar itu.

Nafas saya sesak. Saya tatap wajah orang ini baik-baik. Selain keluhuran batin, di wajah yang sudah mulai menampakkan tanda-tanda ketuaan itu terpancar pula ketulusan iman. Kepada saya, Kong Haji itu jadinya menyodorkan sebuah cermin. Tampak disana, wajah saya bopeng dan retak-retak. Saya malu melihat diri saya sendiri. Betapa banyak saya telah meminta selama ini, tapi betapa sedikit saya memberi ? Mental korup dalam ibadah itu, ternyata bagian hangat dari hidup pribadi saya juga. 


comment 0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.

 
© 2010 SUFI UNDERGROUND powered by Blogger
Template by Fresh Blogger Templates | Blogger Tutorial | Re-Designed by: X-Lab Project