Orang pandai adalah orang yang merasa tidak pernah pandai, orang bodoh adalah orang yang tak pernah merasa bodoh. Orang pandai akan menjadi bodoh ketika kejernihan pikirannya diracuni ide-ide bodoh.
Dan orang bodoh manakah yang disebut bodoh ketika orang ini tidak pernah mengikuti hawa nafsunya.? Seorang Sufi besar Ibnu Athaillah mengatakan; “Mana ada orang pandai kalau ia mengikuti hawa nafsunya dan mana ada orang bodoh kalau ia mengekang hawa nafsunya”.
Hari ini kebodohan tampak dimana-mana. Bahkan diketiak orang yang mengaku dirinya cendikia hanya karena ada satu virus hawa nafsu ketika menyelinap diurat nadi mereka. Lalu rakyat semakin bodoh ketika mereka terhempas dalam kepiluan putus asanya. Karena lapisan-lapisan kekecewaan telah menghimpit mereka.
Apalagi mereka trauma dengan senjata. Bahkan apa yang disebut dengan pendidikan bangsa kita, ternyata mundur sekian puluh tahun dibanding pendidikan tetangga. Tetapi betapa sombongnya mereka yang di atas pundak-pundak mereka itu ada kewajiban yang harus dipenuhi. Kesombongan yang membuat telinga dalam dada dan mata yang ada di balik dada, bahkan sentuhan dari kedalaman dada tersumpal semua oleh perasaan sombongnya. Kesombongan yang menuding orang lain bodoh dengan kacamata kebodohannya.
Tentu kita tidak ingin ada limbah kebodohan nasional membanjiri generasi berikutnya. Kalau kita jujur, mari kita akui saja kebodohan itu. Kita akui pula kezaliman itu. Kita akui juga kelemahan itu. Semuanya agar bisa memasuki sebuah proses “pabrikan kecerdasan” bangsa. Yaitu tazkiyatun nafs atau pembersihan jiwa agar bisa meraih taththhiirul quluub (penyucian hati).
Mereka yang melakukan pembersihan jiwa berarti telah menyiapkan diri untuk menerima cahaya-Nya. Mereka yang membeningkan hati berarti akan setiap menerima anugerah-anugerah-Nya. Mereka yang mengakui ketololan dan kebodohannya berarti siap menerima pencerahan-Nya. Mereka yang mengakui kezaliman dirinya berarti akan meraih ampunan-Nya.
Tapi siapakah yang mau mengakui semua ini ditengah-tengah arogansi psikologis yang membebal seperti saat ini..? Siapakah yang mau mengakui kesalahannya ditengah-tengah tabir tebal dosa-dosanya yang menyelimuti ampunan-ampunan Tuhan ? Siapakah yang mau mengakui kekotoran hatinya di saat kotoran menjadi makanan sehari-harinya ? Wallaahua'lamu bish showaab !
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.