"Tak ada orang yang melemparkan batu ke pohon yang tak berbuah," Syeikh Sa'idi Sirasi. Tengah malam sudah lama lewat. Dalam kesunyian yang mencekik itu baginda masih sibuk menyelesaikan tugasnya. Alam hampa, suasana sunyi, bunyi terhapus dari kamus. Tapi bau darah kutu busukmenyengat hidungnya. Memang tidak lazim singgasana dirubung kutu busuk. Dari mana datangnya ? Tak seorang pun tahu. Seekor beliau pites, darah muncrat dan bau khas kutu busuk menyengat hidung. Seekor dibunuh ribuan berdatangan.
Tiap hari baginda kehilangan waktu untuk bekerja. Urusan negara terlantar.Kutu busuk merongrong kewibawaan pribadi sekaligus pertumbuhan ekonomi negara. Baginda pun dikecam dan para pengecam tak peduli akan alasan kutu busuk yang sangat mengganggu itu. Ini tidak lazim, untung beliau memiliki pendamping seorang yang nujum, yang waskita dalam memberi nasehat.
Apa bunyi nasehatnya ?
Baginda tersipu-sipu. Empuknya singgasana membuat jiwanya tumpul dan nalarnya cupet, hingga terlalu mudah terpukau pada makna sahabat dankesetiaan. Diluar urusan itu isinya cuma kutu busuk dan musuh. Baginda lupa,suatu saat kutu busuk bisa menjadi bukan lawan meskipun sudah pasti juga bukan kawan.
Lurah memiliki singgasana kecil. Camat agak lain, meskipun singgasananya tergolong kecil pula. Dan Bupati jelas lain lagi, sebab ia sesembahan paralurah dan para camat. Apa lagi sang Gubernur. Dihadapannya para Bupati membungkuk ta'dzim. Para camat tak berani memandang wajahnya dan semua lurah bagaikan sujud hingga kalau perlu mereka cium telapak kaki sang gubernur. Telapak kaki ini pernah membawa sang gubernur kekampung-kampung mereka yang becek. Dan orang ini pula yang memikul beras danmembagikannya pada penduduk yang terserang wabah kelaparan.
Betapa besar wibawa orang berpangkat yang sudi mengunjungi dan bertanya tentang peri kehidupan para kawulanya. Apalagi sang pemimpin rela merogoh pundi-pundinya sendiri disaat para kawula terjepit kesulitan. Kunjungan mereka membuat para kawula merasa hidup ini masih ada yang memimpin dibawah hujan kesulitan sehari-hari setidaknyas tetap terasa bahwa bagi kawula masih ada payung yang melindungi nasib mereka. Pendeknya kawula bukan bebek liar. Mereka boleh bebas dan harus dibikin berjiwa bebassupaya para pemimpin tidak merasa bahwa singgasana itu warisan nenek moyang mereka sendiri. Tapi bebas dan liar tidak sama bahkan bagi kehidupan rimba sekalipun.
Di rimba raya ada pohon kecil, ada pohon besar, ada pohon rendah, ada pula pohon tinggi. Mereka selalu berebut sinar matahari. Pohon tinggi selalu menang dan lebih dulu menangkap sinar matahari yang memancar. Tapi kemurahan alam yang melimpah-limpah, yang tak pernah bersikap pilih kasih, membuat pohon kecil dan rendah pun mendapat bagian sinar matahari yang mereka perlukan untuk hidup.
Semua yang hidup secara naluriah ingin mempertahankan hidupnya. Kawan atau lawan, kesetiaan atau pengkhianatan bagi alam sama belaka. Kodok dicipta sering jadi makanan ular. Tapi kodok pun memanggul darma hidup dan bukan sekedar menjadi santapan ular.
Kutu busuk pernah pula menggigit lurah, camat dan bupati maupun gubernur. Mereka yang punya singgasana pernah digigit kutu busuk. Tapi kita tahu,hampir pasti kutu busuk menggigit bukan karena dengki melihat merekapunya singgasana. Kutu busuk menggigit bukan karena musuh mereka.
Kitapun tahu, Syeikh Sa'adi Sirasi mungkin benar ketika berkata dalam Gulistan, Taman Kearifan Dari Timur, yang diterbitkan penerbit Nafila,April 2002, bahwa tidak ada orang yang melemparkan batu pada pohon yang tak berbuah, seperti yang dikutip diatas. Melempar dengan batu kita tahu karena pamrih sebab di dahan-dahan pohon itu ada buah. Tapi orang dan batunya bukan musuh pohon dan buahnya.
Pamrih, kepentingan, maksud-maksud terselubung, kedengkian, iri hati dan kejengkelan, atau niat terbuka untuk merampas hak kita, selalu saja ada. Singgasana memang, kata penyair Rendra, bukan tempat duduk biasa, ia bisa menimbulkan perang dan pertumpahan darah. Juga singgasana lurah, camat, bupati atau sang gubernur. Kalau kepada lurah pun orang merasa iri, betapa pula kepada gubernur.
Tapi iri hati dan kedengkian yang bisa menimbulkan perang itu bukan tugas utama orang-orang itu. Tugas mereka selebihnya juga untuk menebar rasa cinta dan kedamaian, persahabatan dan gotongroyong dengan sesama. Karena itu buat apa mereka digolongkan lawan berbahaya. Mengapa bukan sebaliknya, "kawan" ?.
Tiap hari baginda kehilangan waktu untuk bekerja. Urusan negara terlantar.Kutu busuk merongrong kewibawaan pribadi sekaligus pertumbuhan ekonomi negara. Baginda pun dikecam dan para pengecam tak peduli akan alasan kutu busuk yang sangat mengganggu itu. Ini tidak lazim, untung beliau memiliki pendamping seorang yang nujum, yang waskita dalam memberi nasehat.
Apa bunyi nasehatnya ?
"Baginda, jangan hiraukan kutu busuk. Hiraukan para kawula dan negara. Kutu busuk cuma menggigit, tapi tidak mematikan. Jangan seekor pun baginda bunuh agar tak mengotori kuku baginda. Lagi pulapembunuhan itulah yang mereka cari, agar orang bisa menyebut baginda seorang pembunuh dan menobatkan mereka menjadi syuhada. Waspadalahbaginda akan taktik busuk mereka. Jangan bikin anak kucing menjadi seekor harimau ganas sebesar kerbau."
Baginda tersipu-sipu. Empuknya singgasana membuat jiwanya tumpul dan nalarnya cupet, hingga terlalu mudah terpukau pada makna sahabat dankesetiaan. Diluar urusan itu isinya cuma kutu busuk dan musuh. Baginda lupa,suatu saat kutu busuk bisa menjadi bukan lawan meskipun sudah pasti juga bukan kawan.
Lurah memiliki singgasana kecil. Camat agak lain, meskipun singgasananya tergolong kecil pula. Dan Bupati jelas lain lagi, sebab ia sesembahan paralurah dan para camat. Apa lagi sang Gubernur. Dihadapannya para Bupati membungkuk ta'dzim. Para camat tak berani memandang wajahnya dan semua lurah bagaikan sujud hingga kalau perlu mereka cium telapak kaki sang gubernur. Telapak kaki ini pernah membawa sang gubernur kekampung-kampung mereka yang becek. Dan orang ini pula yang memikul beras danmembagikannya pada penduduk yang terserang wabah kelaparan.
Betapa besar wibawa orang berpangkat yang sudi mengunjungi dan bertanya tentang peri kehidupan para kawulanya. Apalagi sang pemimpin rela merogoh pundi-pundinya sendiri disaat para kawula terjepit kesulitan. Kunjungan mereka membuat para kawula merasa hidup ini masih ada yang memimpin dibawah hujan kesulitan sehari-hari setidaknyas tetap terasa bahwa bagi kawula masih ada payung yang melindungi nasib mereka. Pendeknya kawula bukan bebek liar. Mereka boleh bebas dan harus dibikin berjiwa bebassupaya para pemimpin tidak merasa bahwa singgasana itu warisan nenek moyang mereka sendiri. Tapi bebas dan liar tidak sama bahkan bagi kehidupan rimba sekalipun.
Di rimba raya ada pohon kecil, ada pohon besar, ada pohon rendah, ada pula pohon tinggi. Mereka selalu berebut sinar matahari. Pohon tinggi selalu menang dan lebih dulu menangkap sinar matahari yang memancar. Tapi kemurahan alam yang melimpah-limpah, yang tak pernah bersikap pilih kasih, membuat pohon kecil dan rendah pun mendapat bagian sinar matahari yang mereka perlukan untuk hidup.
Semua yang hidup secara naluriah ingin mempertahankan hidupnya. Kawan atau lawan, kesetiaan atau pengkhianatan bagi alam sama belaka. Kodok dicipta sering jadi makanan ular. Tapi kodok pun memanggul darma hidup dan bukan sekedar menjadi santapan ular.
Kutu busuk pernah pula menggigit lurah, camat dan bupati maupun gubernur. Mereka yang punya singgasana pernah digigit kutu busuk. Tapi kita tahu,hampir pasti kutu busuk menggigit bukan karena dengki melihat merekapunya singgasana. Kutu busuk menggigit bukan karena musuh mereka.
Kitapun tahu, Syeikh Sa'adi Sirasi mungkin benar ketika berkata dalam Gulistan, Taman Kearifan Dari Timur, yang diterbitkan penerbit Nafila,April 2002, bahwa tidak ada orang yang melemparkan batu pada pohon yang tak berbuah, seperti yang dikutip diatas. Melempar dengan batu kita tahu karena pamrih sebab di dahan-dahan pohon itu ada buah. Tapi orang dan batunya bukan musuh pohon dan buahnya.
Pamrih, kepentingan, maksud-maksud terselubung, kedengkian, iri hati dan kejengkelan, atau niat terbuka untuk merampas hak kita, selalu saja ada. Singgasana memang, kata penyair Rendra, bukan tempat duduk biasa, ia bisa menimbulkan perang dan pertumpahan darah. Juga singgasana lurah, camat, bupati atau sang gubernur. Kalau kepada lurah pun orang merasa iri, betapa pula kepada gubernur.
Tapi iri hati dan kedengkian yang bisa menimbulkan perang itu bukan tugas utama orang-orang itu. Tugas mereka selebihnya juga untuk menebar rasa cinta dan kedamaian, persahabatan dan gotongroyong dengan sesama. Karena itu buat apa mereka digolongkan lawan berbahaya. Mengapa bukan sebaliknya, "kawan" ?.
Bukankah kita tahu kutu busuk disinggasana menggigit raja bukan lantaran ia dengki terhadap paduka.
Oleh: Muhammad Shobari
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.