Oleh: Moh Syamsul Arifin
Alumnus Pondok Pesantren Miftahul Ulum Kaliwates Jember Jawa Timur.
Aktif di Centre of Bureaucracy Studies (CBS) Jakarta.
Pergolakan sosial yang meletup paruh kedua abad ke-19 hingga abad ke-20 di tanah air, seperti disinggung sejarawan Jepang Takashi Shiraishi, ternyata tak lepas dari peran kaum tarekat di dalamnya. Hal itu dikonfirmasi buku ”Gerakan Politik Kaum Tarekat” besutan Ajid Thohir yang diterbitkan oleh Pustaka Hidayah Bandung. Melalui kajian sejarah, Ajid Thohari, sekarang staf pengajar di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, membeber peran kaum tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah dalam ikut memicu terjadinya perlawanan rakyat terhadap kolonial Belanda.
Alumnus Pondok Pesantren Miftahul Ulum Kaliwates Jember Jawa Timur.
Aktif di Centre of Bureaucracy Studies (CBS) Jakarta.
Pergolakan sosial yang meletup paruh kedua abad ke-19 hingga abad ke-20 di tanah air, seperti disinggung sejarawan Jepang Takashi Shiraishi, ternyata tak lepas dari peran kaum tarekat di dalamnya. Hal itu dikonfirmasi buku ”Gerakan Politik Kaum Tarekat” besutan Ajid Thohir yang diterbitkan oleh Pustaka Hidayah Bandung. Melalui kajian sejarah, Ajid Thohari, sekarang staf pengajar di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, membeber peran kaum tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah dalam ikut memicu terjadinya perlawanan rakyat terhadap kolonial Belanda.
Sekilas tampak sulit mencari alasan kenapa kaum tarekat (penganut tasawuf) dapat berurusan dengan politik yang sepenuhnya urusan duniawi. Tapi, kalau kita membuka sejarah Islam, kemunculan gerakan tarekat tak dapat dilepaskan dengan mozaik sosial dan politik yang melingkupi masyarakat di suatu zaman. Di satu sisi tasawuf, merupakan respons terhadap kebobrokan masyarakat di suatu zaman pada saat bersamaan, bentuk keberagamaan seperti ini dapat memberi ketenteraman jiwa kepada penganutnya.
Sufisme puitik Rumi misalnya, mampu memberi ”daya hidup” kepada kaum Muslim yang tergoncang jiwanya akibat Perang Salib II (abad ke-13/14). Di zaman modern
pun (sepanjang abad ke-19 hingga abad ke-20), gerakan tasawuf, melalui tarekat, tercatat sebagai gerakan protes yang menantang dominasi kekuasaan otoriter. Tak heran apabila mereka terlibat jauh dalam gerakan politik, seperti kebangkitan di Maroko dan Aljazair melawan Prancis, dan pembangunan kembali masyarakat dan pemerintahan di Libya yang dilakukan oleh para anggota tareKat Sanusiyah. Ahmad al Mahdi (w.1885), anggota tarekat Samaniyah, berhasil menentang pemerintahan kolonial Inggris di Sudan. Demikian pula, kaum tarekat Naqsyabandiyah dan Syah Waliyullah menentang kekuasaan kolonial Inggris di India.
Di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, gerakan politik kaum tarekat terhadap kekuasaan kolonial dapat dijumpai pada tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Tarekat ini didirikan oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambasi, putra Kalimantan pada sekitar tahun 1850-an di tanah suci Makkah. Secara genealogis, tarekat ini berhulu pada tarekat Qadiriyah di Baghdad pimpinan Syaikh Muhyiddin Abdul Qadir al-Jailani (w.1166 M) serta tarekat Naqsyabandiyah di Asia Tengah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Bahauddin an-Naqsyabandi (w.1317 M). Di pulau Jawa tarekat ini dikembangkan oleh muridnya, yakni Kyai Haji Abdul Karim al-Bantani. Jaringan tarekat ini tersebar luas sepanjang Banten (ujung Jawa Barat) hingga Sidoarjo (Jawa Timur).
Seperti umumnya lembaga keagamaan, tarekat ini mengajak anggota jamaahnya untuk menenggelamkan diri (berkhalwat) kepada Sang Khalik agar diperoleh ketenteraman jiwa. Zikir, manakiban, khataman adalah aktivitas rutin mereka sehari-hari, baik dilakukan sendiri maupun berjamaah. Namun, seiring dengan kebijakan-kebijakan kolonial Belanda yang makin membuat rakyat kecil sengsara, seperti perbudakan (sejak 1908), kerja paksa (1856), pemberlakuan pajak tanaman dan pencabutan hak atas tanah bagi petani yang tak sanggup membayar pajaknya (1830-1870-an).
Konsentrasi gerakan tarekat menjadi terusik. Maklumlah, sebagian dari rakyat itu merupakan jamaah tarekat, sehingga tak mungkin mereka berpangku tangan. Apalagi disadari kebijakan Belanda berpeluang memorak-porandakan tatanan sosial (tradisi) masyarakat serta nilai-nilai keagamaan yang dipelihara oleh para ulama. Kondisi di atas, menurut Ajid Thohari, pada gilirannya membenarkan tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah untuk memakzulkan diri sebagai sistem religio-politik.
Sejak itu, aktivitas mereka bukan sekadar ”akhirat sentris”, tapi mengubah diri ke ”politik sentris”. Mereka berbenah diri untuk menjadi kekuatan penggerak kegiatan sosial politik dalam upaya menentang kolonialisme, dengan tetap mengacu pada pola-pola struktur (norma-norma Islam) yang ada dalam ajarannya serta pola-pola tradisional setempat.
Pada 1875, lembaga ini, lalu, dimanfaatkan oleh para haji dan kyai fanatik untuk mempropagandakan jihad dan semangat militanisme menentang kolonial Belanda. Dalam membangun ideologi perjuangan, tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah memanfaatkan ideologi-idelogi perjuangan lokal, seperti nativisme (ajaran yang mendamba masa lalu dapat kembali), milleniarisme (ajaran yang mengharapkan masa depan yang lebih baik segera datang), dan ratu adil (mahdiisme). Selanjutnya, ideologi lokal itu dibungkus dan dikemas kembali dengan muatan transendental, jihad fi sabilillah yang dilengkapi dengan magico mysticism sebagai pengikat picu psikologis.
Di dataran empiris, peran tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah dalam gerakan politik melawan kolonial Belanda terlihat di tiga kota. Pertama, di Banten pada 1888, Kyai Abdul Karim al-Bantani, mursyid tertinggi tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah saat itu, berhasil mengobarkan semangat para petani (anggota tarekat) untuk melawan kolonial Belanda. Secara detil pergolakan ini dipotret secara lengkap oleh Sartono Kartodirdjo dalam bukunya ”Peberontakan Petani Banten 1888” (Pustaka Jaya, 1984).
Pada 1875, lembaga ini, lalu, dimanfaatkan oleh para haji dan kyai fanatik untuk mempropagandakan jihad dan semangat militanisme menentang kolonial Belanda. Dalam membangun ideologi perjuangan, tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah memanfaatkan ideologi-idelogi perjuangan lokal, seperti nativisme (ajaran yang mendamba masa lalu dapat kembali), milleniarisme (ajaran yang mengharapkan masa depan yang lebih baik segera datang), dan ratu adil (mahdiisme). Selanjutnya, ideologi lokal itu dibungkus dan dikemas kembali dengan muatan transendental, jihad fi sabilillah yang dilengkapi dengan magico mysticism sebagai pengikat picu psikologis.
Di dataran empiris, peran tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah dalam gerakan politik melawan kolonial Belanda terlihat di tiga kota. Pertama, di Banten pada 1888, Kyai Abdul Karim al-Bantani, mursyid tertinggi tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah saat itu, berhasil mengobarkan semangat para petani (anggota tarekat) untuk melawan kolonial Belanda. Secara detil pergolakan ini dipotret secara lengkap oleh Sartono Kartodirdjo dalam bukunya ”Peberontakan Petani Banten 1888” (Pustaka Jaya, 1984).
Kedua, pada pertengahan tahun 1888, gerakan Milleniari pimpinan KH. Mukhiar dan Jasmani, anggota tarekat, melakukan pemberontakan di Kediri. Ketiga, pada akhir 1903, gerakan Mahdiisme Kyai Mukmin, penganut tarekat di Sidoarjo, mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda. Kendatipun pemberontakan itu dapat diredam, di kemudian perlawanan heroik kaum tarekat itu telah menjadi hantu bagi kolonial Belanda. Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah membuktikan bahwa jika tuntutan zaman mengharuskan, mereka dapat pula terjun di medan politik demi menegakkan tatanan sosial masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.