Sebagai makhluk ciptaan Allah, kita telah diberi nikmat kekayaan harta seperti rumah, kendaraan bermotor dan harta benda lainnya. Yang harus kita yakini, apa yang ada pada kita saat ini hakikatnya adalah pinjaman-pinjaman yang telah Allah Swt pinjamkan pada kita. Malah diri kita ini (seperti yang dikatakan Ibnu Mas’ud r.a.) merupakan tamu Allah yang hanya sebentar saja mampir kedunia untuk kemudian meninggalkannya. Sebuah sya’ir mengungkapkan:
Dengan demikian, oleh agama, kita dilarang untuk dipengaruhi (terpengaruh) oleh harta dan benda-benda yang saat ini ada ditangan kita. Boleh saja kita mencintai keluarga, anak dan harta, akan tetapi kecintaan kita kepada itu semua harus ada dalam koridor yang telah diatur oleh agama (syari’at) dan ada dijalan yang diridhai-Nya. Kecintaan kita kepada Allah harus melebihi kecintaan kita kepada yang bukan Allah. Jangan sampai terjadi, kecintaan kita pada keluarga, anak dan harta mengalahkan kecintaan kita kepada Allah ‘Azza Wajalla. Na’udzubillah !
Jika kecintaan kita kepada yang bukan Allah itu menghambat kita kepada jalan Allah atau mengurangi pegangan kita kepada-Nya, maka ini bentuk kecintaan yang tercela dan tidak diridhai oleh Allah Swt, oleh sebab itu kita harus dapat membatasi diri agar kecintaan kita kepada makhluk dan dunia jangan sampai mempengaruhi sehingga kita lupa pada Allah, lalai pada ajaran-Nya.
Perintah-perintah agama dan anjuran-anjuran Nya hendak kita songsong dengan penuh keyakinan, gembira, kita patuhi dan kita jalankan penuh ikhlas. Keyakinan itulah yang mengahantarkan kita dapat naik kepada kesadaran ruhani yang lebih tinggi. Hati kita akan lebih terikat kepada Allah dan kebergantungan kita pada-Nya akan semakin kuat. Sehingga kita dapat terselamatkan (merdeka) dari musuh-musuh (nafsu dan setan; red) yang ingin memperbudak kita pada diri, harta dan dunia.
Penjelasan diatas jangan disalah pahami bahwa kita tidak boleh mencari kekayaan, harta atau kedudukan. Juga jangan disalah pahami bahwa kita tidak boleh menjadi orang yang melimpah secara materi atau menduduki jabatan tinggi. Tidak ! Jangan disalah pahami!
Dalam perspektif sufistik terdapat dua cara orang dalam mengatur dunianya. Yaitu, mengatur dunia untuk dunia semata dan mengatur dunia untuk akhirat. Yang pertama, adalah merancang cara mengumpulkan dunia dengan rasa bangga dan cinta kepadanya. Setiap kali dunianya bertambah, bertambah pula kelalaiannya terhadap akhirat, bertambah juga keterbuaiannya dan keterperosokannya dalam maksiat.
Dalam kitab At-Tanwiyr fii isqaathittadbiyr, Imam Ibnu ‘Atha’illah berujar: “Orang yang merisaukan urusan dunia dan lupa berbekal untuk akhiratnya adalah seperti orang yang diserang seekor singa. Singa buas itu nyaris memangsanya, namun ketika lalat hinggap ditubuhnya, ia sibuk mengurusi lalat itu dan lupa melindungi dirinya dari singa. Ia layak disebut orang yang dungu tak berakal. Jika punya akal, pasti ia berusaha agar terhindar dari terkaman singa dan tidak akan memikirkan seekor lalat yang menghinggapinya.”
Sementara yang kedua (mengatur dunia untuk akhirat) seperti orang yang mengelola dagangannya agar dapat makan dari hasil yang halal dan baik, agar bisa berinfak kepada fakir miskin, agar bisa menyambung tali silaturrahim, agar bisa menjaga diri untuk tidak mengemis kepada orang. Tandanya, ia tidak sibuk memperkaya diri, tidak menomorsatukan dunia, selalu membantu penderitaan sesama dan perjuangan umat Islam, serta memudahkan orang-orang yang tengah terhimpit penderitaan. Begitulah gambaraan keadaan seorang yang bersama Allah.
Jika diibaratkan sama seperti majikan yang memiliki sebuah kebun. Ia memerintahkan budaknya untuk bercocok tanam, bertani dan menjaganya. Jika budak itu menuruti perintahnya, tentu sang majikan tidak akan mencelanya dan tidak akan melarangnya memakan buah dari kebun itu. Ia dibolehkan makan di sana karena ia bekerja di sana. Sama halnya, seorang hamba pun dibolehkan untuk mengambil dari, dengan tujuan agar ia kuat mengabdi. Ia tidak boleh makan hanya untuk bersenang-senang dan memuaskan seleranya semata.
Imam Abul ‘Abbas Al-Mursi r.a.mengatakan: “Orang yang mengenal Allah tidak memiliki dunia ataupun akhirat. Sebab dunianya ia persembahkan untuk akhirat dan akhiratnya adalah untuk Tuhannya.”
Tentang gambaran bagaimana orang yang mengenal Allah mengelola kehidupan dunianya, Allah Swt berfirman: “(Mereka) bertasbih di masjid-masjid, tempat yang Allah perintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, baik di waktu pagi maupun petang. Mereka adalah sosok yang tidak dilalaikan oleh penjagaan dan jual beli dari mengingat Allah, mereka menegakkan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada suatu hari saat hati dan penglihatan mereka berguncang. (mereka melakukan itu semua) supaya Allah memberi balasan yang lebih baik dari apa yang mereka lakukan dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Allah memberi rizki kepada yang Dia kehendaki tanpa batas.” (Q.S. An-Nur (24): 36-38).
Allah tidak melarang hamba-hamba Nya berusaha, berdagang, atau melakukan jual beli. Walaupun kaya raya, mereka tetap mendapat pujian-Nya sebab mereka tetap menunaikan hak-hak Tuhan.
Menurut ‘Abdullah bin ‘Uthbah, ketika Utsman bin ‘Affan ra. wafat, ia meninggalkan kekayaan sebanyak seratus ribu limat ratus dinar, satu juta dirham, seribu kuda, seribu budak, sumur Aris dan Khaybar, dan lembah senilai dua ratus ribu dinar. Amr bin ‘Ash juga meninggalkan tiga ratus dinar. Sementara, harta Zubayr bin ‘Awwam senilai lima puluh ribu dinar, seribu kuda, dan seribu budak. Lebih-lebih harta peninggalan ‘Abdur Rahman bin ‘Auf, sungguh sangat sulit dihitung.
Dunia ada ditangan mereka, tapi tidak dikalbu mereka. Mereka bersabar ketika harta tersebut lepas, serta bersyukur kepada Allah ketika harta itu didapat. Memang di awal-awal, Allah menguji mereka dengan kefakiran agar cahaya mereka sempurna, batin mereka suci. Kemudian barulah mereka diberi. Seandainya mereka diberi sebelum diuji, barangkali harta tersebut akan menjadi fokus perhatian dan kesibukan mereka. Namun ketika harta tersebut diberikan setelah keyakinan terpatri dalam hati, mereka bisa mempergunakannya secara cerdas dan amanah. Mereka sangat konsisten dalam menjalankan firman Allah: “Infakkanlah sebagian dari harta yang Allah titipkan pada kalian.” (Q.S. al-Hadiid) (57): 7).
Sebuah kisah singkat tapi dahsyat pernah diceritakan Amatullah Amstrong, seorang wanita Australia yang kemudian menjadi muslimah. Dalam bukunya The Sky is No Limit: Spiritual Journey of an Australian Muslimah, ia menuturkan cerita gurunya tentang seorang sufi besar bernama Abu Bein Azem.
Abu Bein Azem terbangun tengah malam. Kamarnya bermandikan cahaya. Di tengah-tengah cahaya ia melihat sesosok makhluk, seorang malaikat sedang memegang buku. Abu Bein bertanya, “Apa yang sedang Anda kerjakan ?” “Aku sedang mancatat daftar semua pecinta Tuhan.” Abu Bein ingin sekali namanya tercantum. Dengan harap cemas ia coba melongok daftar itu. Tapi ia gigit jari, namanya tak ada di situ. Ia pun bergumam, “mungkin aku terlalu kotor untuk bisa mencintai Tuhan, tapi sejak malam ini aku berniat untuk mencintai sesama.”
Esok harinya Abu Bein terbangun lagi. Kamarnya terang benderang. Malaikat yang sama pun telah hadir. Abu Bein terkejut bukan main, sekarang namanya tercantum paling atas. Ia pun protes, “Aku bukan pecinta Tuhan, aku hanya pecinta manusia.” Kata malaikat, ”Baru saja Tuhan berkata kepadaku, engkau tidak akan pernah bisa mencintai Tuhan sebelum engkau mencintai sesama.”
Kisah ini sungguh mengejutkan. Sebab selama ini ada kecenderungan umum terutama di kalangan peminat tasawuf perkotaan untuk terlalu asyik mengejar cinta Tuhan di dalam kegiatan-kegiatan rohani yang mewah dan bergengsi, sehingga besar kemungkinan mereka kurang peduli terhadap nasib sesama yang ada di sekitar. Dan kebanyakan pihak penyelenggara kegiatan rohani itu lebih senang menjajakan tema-tema tentang cinta Tuhan ketimbang tema-tema cinta kemanusiaan. Padahal, kata Abu Bein, bagaimana mungkin kita bisa menjadi kekasih Allah sebelum kita mencinta sesama, bagaimana mungkin kita di kasihi Allah sebelum kita mengasihi manusia yang malang.
Mungkin kita masih bertanya-tanya tentang keabsahan sebuah pesan moral yang dipetik tak lebih dari, sekadar cerita, kok bisa-bisanya seorang manusia ketemu malaikat? Barangkali cerita itu tetaplah cerita, tapi pesan moralnya justru senapas dengan tuntunan rohani sufi paling agung Muhammad Saw. Suatu kali para sahabat bertanya tentang kekasih Allah (waliyyullah). Jawab beliau: “Mereka adalah kaum yang saling mencintai karena Allah, dengan roh Allah, bukan atas dasar pertalian keluarga antara sesama mereka dan tidak pula karena harta yang mereka saling beri.”
Lebih terang lagi disebutkan dalam sebuah hadis qudsi, “Aku tidak menjadikan Ibrahim sebagai kekasih (khalil), melainkan karena ia memberi makan fakir miskin dan salat ketika orang-orang terlelap tidur.”
Kalau toh pesan itu kemudian disampaikan lewat sebuah cerita yang agak janggal, barangkali para sufi mempunyai pertimbangan lain. Cerita, sebagaimana disebutkan Robert Col, Chidren: How to Raise a Moral Child, adalah metode didaktif yang jauh lebih efektif ketimbang diskusi abstrak tentang moral. Orang akan lebih mudah terpanggil dengan cerita “konkret” pergumulan moral seseorang ketimbang dengan diskusi abstrak misalnya: apakah kebenaran itu, apakah keburukan itu, bisakah kita memperoleh cinta Tuhan, dan seterusnya dan sebagainya.
Lebih dari itu, para sufi juga telah menerjemahkan cinta kemanusiaan itu ke dalam tema-tema konkret, yang diantaranya adalah kedermawanan. Mereka memandang kedermawanan sebagai salah satu anak tangga (maqam) latihan spiritual. Mereka sangat menekankan para penempuh jalan rohani (saalikiin) untuk melewati maqam ini semaksimal mungkin. Karena bagi mereka, mengorbankan materi untuk tujuan nonmaterial adalah kunci keberhasilan rohani: Bagaimana mungkin seseorang rela mengorbankan jiwanya demi kebenaran jika menyangkut hartanya saja masih keberatan.
Mereka membagi maqam ini ke dalam tiga tingkatan lagi. Pertama adalah sakha’ (dermawan), kemudian jud (murah hati), dan puncaknya adalah itsar. Sakha’ berarti memberikan sebagian harta dan menyimpan sebagian untuk diri sendiri. Jud berarti memberikan sebagian besar dan menyisakan sedikit. Sedangkan itsar adalah memberikan semua yang dimiliki tanpa memperhitungkan diri sendiri, yang dalam sejarah diteladani oleh Abu Bakr, Abdur Rahman bin ‘Auf dan sebagainya.
Para Sufi percaya bahwa memberi adalah bagian dari hukum alam (sunnatullah). Semua makhluk memberi dengan caranya masing-masing. Sapi memberikan susunya supaya dia bisa memproduksi lebih banyak lagi; domba memberikan bulunya supaya lebih banyak wol bisa diproduksi; hal yang sama berlaku untuk manusia yang butuh memberi supaya mencapai arti dan tujuan dalam hidupnya.
Dimanapun posisi kita, apapun profesi kita; professional, artis, businismen, bankers, entrepreneur, insurance, propherty agent, networkers; Akhirnya, kualitas kegiatan-kegiatan rohani dan ibadah-ibadah ritual kita akan mulai teruji adakah semuanya telah memperlihatkan kepedulian sosial secara menggairahkan.
"Dan tidaklah harta dan keluarga melainkan merupakan pinjaman-pinjaman belaka.
Dan suatu hari, kelak semua pinjaman-pinjaman itu harus dikembalikan."
Dan suatu hari, kelak semua pinjaman-pinjaman itu harus dikembalikan."
Dengan demikian, oleh agama, kita dilarang untuk dipengaruhi (terpengaruh) oleh harta dan benda-benda yang saat ini ada ditangan kita. Boleh saja kita mencintai keluarga, anak dan harta, akan tetapi kecintaan kita kepada itu semua harus ada dalam koridor yang telah diatur oleh agama (syari’at) dan ada dijalan yang diridhai-Nya. Kecintaan kita kepada Allah harus melebihi kecintaan kita kepada yang bukan Allah. Jangan sampai terjadi, kecintaan kita pada keluarga, anak dan harta mengalahkan kecintaan kita kepada Allah ‘Azza Wajalla. Na’udzubillah !
Jika kecintaan kita kepada yang bukan Allah itu menghambat kita kepada jalan Allah atau mengurangi pegangan kita kepada-Nya, maka ini bentuk kecintaan yang tercela dan tidak diridhai oleh Allah Swt, oleh sebab itu kita harus dapat membatasi diri agar kecintaan kita kepada makhluk dan dunia jangan sampai mempengaruhi sehingga kita lupa pada Allah, lalai pada ajaran-Nya.
Perintah-perintah agama dan anjuran-anjuran Nya hendak kita songsong dengan penuh keyakinan, gembira, kita patuhi dan kita jalankan penuh ikhlas. Keyakinan itulah yang mengahantarkan kita dapat naik kepada kesadaran ruhani yang lebih tinggi. Hati kita akan lebih terikat kepada Allah dan kebergantungan kita pada-Nya akan semakin kuat. Sehingga kita dapat terselamatkan (merdeka) dari musuh-musuh (nafsu dan setan; red) yang ingin memperbudak kita pada diri, harta dan dunia.
Penjelasan diatas jangan disalah pahami bahwa kita tidak boleh mencari kekayaan, harta atau kedudukan. Juga jangan disalah pahami bahwa kita tidak boleh menjadi orang yang melimpah secara materi atau menduduki jabatan tinggi. Tidak ! Jangan disalah pahami!
Dalam perspektif sufistik terdapat dua cara orang dalam mengatur dunianya. Yaitu, mengatur dunia untuk dunia semata dan mengatur dunia untuk akhirat. Yang pertama, adalah merancang cara mengumpulkan dunia dengan rasa bangga dan cinta kepadanya. Setiap kali dunianya bertambah, bertambah pula kelalaiannya terhadap akhirat, bertambah juga keterbuaiannya dan keterperosokannya dalam maksiat.
Dalam kitab At-Tanwiyr fii isqaathittadbiyr, Imam Ibnu ‘Atha’illah berujar: “Orang yang merisaukan urusan dunia dan lupa berbekal untuk akhiratnya adalah seperti orang yang diserang seekor singa. Singa buas itu nyaris memangsanya, namun ketika lalat hinggap ditubuhnya, ia sibuk mengurusi lalat itu dan lupa melindungi dirinya dari singa. Ia layak disebut orang yang dungu tak berakal. Jika punya akal, pasti ia berusaha agar terhindar dari terkaman singa dan tidak akan memikirkan seekor lalat yang menghinggapinya.”
Sementara yang kedua (mengatur dunia untuk akhirat) seperti orang yang mengelola dagangannya agar dapat makan dari hasil yang halal dan baik, agar bisa berinfak kepada fakir miskin, agar bisa menyambung tali silaturrahim, agar bisa menjaga diri untuk tidak mengemis kepada orang. Tandanya, ia tidak sibuk memperkaya diri, tidak menomorsatukan dunia, selalu membantu penderitaan sesama dan perjuangan umat Islam, serta memudahkan orang-orang yang tengah terhimpit penderitaan. Begitulah gambaraan keadaan seorang yang bersama Allah.
Jika diibaratkan sama seperti majikan yang memiliki sebuah kebun. Ia memerintahkan budaknya untuk bercocok tanam, bertani dan menjaganya. Jika budak itu menuruti perintahnya, tentu sang majikan tidak akan mencelanya dan tidak akan melarangnya memakan buah dari kebun itu. Ia dibolehkan makan di sana karena ia bekerja di sana. Sama halnya, seorang hamba pun dibolehkan untuk mengambil dari, dengan tujuan agar ia kuat mengabdi. Ia tidak boleh makan hanya untuk bersenang-senang dan memuaskan seleranya semata.
Imam Abul ‘Abbas Al-Mursi r.a.mengatakan: “Orang yang mengenal Allah tidak memiliki dunia ataupun akhirat. Sebab dunianya ia persembahkan untuk akhirat dan akhiratnya adalah untuk Tuhannya.”
Tentang gambaran bagaimana orang yang mengenal Allah mengelola kehidupan dunianya, Allah Swt berfirman: “(Mereka) bertasbih di masjid-masjid, tempat yang Allah perintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, baik di waktu pagi maupun petang. Mereka adalah sosok yang tidak dilalaikan oleh penjagaan dan jual beli dari mengingat Allah, mereka menegakkan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada suatu hari saat hati dan penglihatan mereka berguncang. (mereka melakukan itu semua) supaya Allah memberi balasan yang lebih baik dari apa yang mereka lakukan dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Allah memberi rizki kepada yang Dia kehendaki tanpa batas.” (Q.S. An-Nur (24): 36-38).
Allah tidak melarang hamba-hamba Nya berusaha, berdagang, atau melakukan jual beli. Walaupun kaya raya, mereka tetap mendapat pujian-Nya sebab mereka tetap menunaikan hak-hak Tuhan.
Menurut ‘Abdullah bin ‘Uthbah, ketika Utsman bin ‘Affan ra. wafat, ia meninggalkan kekayaan sebanyak seratus ribu limat ratus dinar, satu juta dirham, seribu kuda, seribu budak, sumur Aris dan Khaybar, dan lembah senilai dua ratus ribu dinar. Amr bin ‘Ash juga meninggalkan tiga ratus dinar. Sementara, harta Zubayr bin ‘Awwam senilai lima puluh ribu dinar, seribu kuda, dan seribu budak. Lebih-lebih harta peninggalan ‘Abdur Rahman bin ‘Auf, sungguh sangat sulit dihitung.
Dunia ada ditangan mereka, tapi tidak dikalbu mereka. Mereka bersabar ketika harta tersebut lepas, serta bersyukur kepada Allah ketika harta itu didapat. Memang di awal-awal, Allah menguji mereka dengan kefakiran agar cahaya mereka sempurna, batin mereka suci. Kemudian barulah mereka diberi. Seandainya mereka diberi sebelum diuji, barangkali harta tersebut akan menjadi fokus perhatian dan kesibukan mereka. Namun ketika harta tersebut diberikan setelah keyakinan terpatri dalam hati, mereka bisa mempergunakannya secara cerdas dan amanah. Mereka sangat konsisten dalam menjalankan firman Allah: “Infakkanlah sebagian dari harta yang Allah titipkan pada kalian.” (Q.S. al-Hadiid) (57): 7).
Sebuah kisah singkat tapi dahsyat pernah diceritakan Amatullah Amstrong, seorang wanita Australia yang kemudian menjadi muslimah. Dalam bukunya The Sky is No Limit: Spiritual Journey of an Australian Muslimah, ia menuturkan cerita gurunya tentang seorang sufi besar bernama Abu Bein Azem.
Abu Bein Azem terbangun tengah malam. Kamarnya bermandikan cahaya. Di tengah-tengah cahaya ia melihat sesosok makhluk, seorang malaikat sedang memegang buku. Abu Bein bertanya, “Apa yang sedang Anda kerjakan ?” “Aku sedang mancatat daftar semua pecinta Tuhan.” Abu Bein ingin sekali namanya tercantum. Dengan harap cemas ia coba melongok daftar itu. Tapi ia gigit jari, namanya tak ada di situ. Ia pun bergumam, “mungkin aku terlalu kotor untuk bisa mencintai Tuhan, tapi sejak malam ini aku berniat untuk mencintai sesama.”
Esok harinya Abu Bein terbangun lagi. Kamarnya terang benderang. Malaikat yang sama pun telah hadir. Abu Bein terkejut bukan main, sekarang namanya tercantum paling atas. Ia pun protes, “Aku bukan pecinta Tuhan, aku hanya pecinta manusia.” Kata malaikat, ”Baru saja Tuhan berkata kepadaku, engkau tidak akan pernah bisa mencintai Tuhan sebelum engkau mencintai sesama.”
Kisah ini sungguh mengejutkan. Sebab selama ini ada kecenderungan umum terutama di kalangan peminat tasawuf perkotaan untuk terlalu asyik mengejar cinta Tuhan di dalam kegiatan-kegiatan rohani yang mewah dan bergengsi, sehingga besar kemungkinan mereka kurang peduli terhadap nasib sesama yang ada di sekitar. Dan kebanyakan pihak penyelenggara kegiatan rohani itu lebih senang menjajakan tema-tema tentang cinta Tuhan ketimbang tema-tema cinta kemanusiaan. Padahal, kata Abu Bein, bagaimana mungkin kita bisa menjadi kekasih Allah sebelum kita mencinta sesama, bagaimana mungkin kita di kasihi Allah sebelum kita mengasihi manusia yang malang.
Mungkin kita masih bertanya-tanya tentang keabsahan sebuah pesan moral yang dipetik tak lebih dari, sekadar cerita, kok bisa-bisanya seorang manusia ketemu malaikat? Barangkali cerita itu tetaplah cerita, tapi pesan moralnya justru senapas dengan tuntunan rohani sufi paling agung Muhammad Saw. Suatu kali para sahabat bertanya tentang kekasih Allah (waliyyullah). Jawab beliau: “Mereka adalah kaum yang saling mencintai karena Allah, dengan roh Allah, bukan atas dasar pertalian keluarga antara sesama mereka dan tidak pula karena harta yang mereka saling beri.”
Lebih terang lagi disebutkan dalam sebuah hadis qudsi, “Aku tidak menjadikan Ibrahim sebagai kekasih (khalil), melainkan karena ia memberi makan fakir miskin dan salat ketika orang-orang terlelap tidur.”
Kalau toh pesan itu kemudian disampaikan lewat sebuah cerita yang agak janggal, barangkali para sufi mempunyai pertimbangan lain. Cerita, sebagaimana disebutkan Robert Col, Chidren: How to Raise a Moral Child, adalah metode didaktif yang jauh lebih efektif ketimbang diskusi abstrak tentang moral. Orang akan lebih mudah terpanggil dengan cerita “konkret” pergumulan moral seseorang ketimbang dengan diskusi abstrak misalnya: apakah kebenaran itu, apakah keburukan itu, bisakah kita memperoleh cinta Tuhan, dan seterusnya dan sebagainya.
Lebih dari itu, para sufi juga telah menerjemahkan cinta kemanusiaan itu ke dalam tema-tema konkret, yang diantaranya adalah kedermawanan. Mereka memandang kedermawanan sebagai salah satu anak tangga (maqam) latihan spiritual. Mereka sangat menekankan para penempuh jalan rohani (saalikiin) untuk melewati maqam ini semaksimal mungkin. Karena bagi mereka, mengorbankan materi untuk tujuan nonmaterial adalah kunci keberhasilan rohani: Bagaimana mungkin seseorang rela mengorbankan jiwanya demi kebenaran jika menyangkut hartanya saja masih keberatan.
Mereka membagi maqam ini ke dalam tiga tingkatan lagi. Pertama adalah sakha’ (dermawan), kemudian jud (murah hati), dan puncaknya adalah itsar. Sakha’ berarti memberikan sebagian harta dan menyimpan sebagian untuk diri sendiri. Jud berarti memberikan sebagian besar dan menyisakan sedikit. Sedangkan itsar adalah memberikan semua yang dimiliki tanpa memperhitungkan diri sendiri, yang dalam sejarah diteladani oleh Abu Bakr, Abdur Rahman bin ‘Auf dan sebagainya.
Para Sufi percaya bahwa memberi adalah bagian dari hukum alam (sunnatullah). Semua makhluk memberi dengan caranya masing-masing. Sapi memberikan susunya supaya dia bisa memproduksi lebih banyak lagi; domba memberikan bulunya supaya lebih banyak wol bisa diproduksi; hal yang sama berlaku untuk manusia yang butuh memberi supaya mencapai arti dan tujuan dalam hidupnya.
Dimanapun posisi kita, apapun profesi kita; professional, artis, businismen, bankers, entrepreneur, insurance, propherty agent, networkers; Akhirnya, kualitas kegiatan-kegiatan rohani dan ibadah-ibadah ritual kita akan mulai teruji adakah semuanya telah memperlihatkan kepedulian sosial secara menggairahkan.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar dan komentarnya jangan bernada spam ya.